Assalamu’alaikum wr wb. Semoga kita selalu diberi perlindungan dan petunjuk oleh Allah dalam setiap kegiatan kita. Salam dan sholawat kita haturkan kepada Guru Sejati kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya.
Saya menyambut baik pertemuan para aktivis Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam. Sayang sekali saya tidak bisa terlibat aktif dalam kegiatan ini karena saya ada kegiatan lain pada hari ini di kelenteng Gudo dan besok di Bandung.
Sejarah pengerukan SDA kita di bidang pertambangan dimulai pada 1967 saat kita menyetujui UU PMA dan memberi izin kepada Freeport untuk mengelola tambang di Papua yang merupakan kompensasi bagi AS yang mendukung RI dalam perebutan Irian melawan klaim Belanda.
Nahdliyyin yang pernah menjadi anggota DPR -di beberapa partai- juga harus ikut bertanggungjawab terhadap hilangnya kedaulatan kita terhadap SDA kita termasuk dalam pengelolaan air. Kita sudah paham bahwa kini air sudah kehilangan fungsi sosialnya dan hanya menjadi komoditas bisnis.
Saat ini PDB kita sedikit diatas Belanda, tetapi APBN Belanda sekitar 3 kali APBN RI. Padahal luas daratan RI hampir 50 kali luas daratan Belanda, luas lautan RI lebih dari 100 kali luas lautan sekeliling Belanda. Hal itu terjadi karena pajak yang kita kumpulkan hanya 1/3 dari pajak di negeri Belanda. Juga karena PNBP pendapatan negara bukan pajak, yang diperoleh melalui pungutan terhadap pemanfaatan SDA amat kecil. Kondisi timpang ini harus kita perbaiki.
Dalam Kerangka Acuan yang saya terima saya baca kata nasionalisasi. Ada dua catatan saya terhadap kata nasionalisasi itu. Pertama, nasionalisasi itu diambil alih oleh BUMN atau swasta nasional? Kalau BUMN, dari mana dananya berasal? Kalau pengelolaan BUMN seperti sekarang belum tentu akan memberi manfaat. Kalau diambil alih swasta nasional, perilaku mereka juga tidak banyak beda dengan pengusaha LN. Kedua, kita pernah melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda pada 1957. Ternyata nasionalisasi yang dilakukan oleh pemerintah tidak banyak manfaatnya akibat korupsi para pejabat yang mengelola.
Jadi langkah positif yang akan dilakukan dalam mengembalikan kedaulatan negara terhadap SDA kita juga menuntut pra syarat atau conditio sine qua non. Yaitu pertama, penegakan hukum dengan penekanan pada pemberantasan korupsi. Kedua, perbaikan birokrasi pemerintah, termasuk petugas Ditjen Pajak. Ketiga, menghilangkan benalu di DPR termasuk warga Nahdliyyin. Keempat, peningkatan profesionalisme dan transparansi pengelola perusahaan nasional terutama yang diberi hak mengelola SDA. Kelima, melibatkan sebanyak mungkin rakyat dalam kegiatan ekonomi memanfaatkan SDA RI yang sebetulnya adalah milik rakyat.
Selamat berjuang. Semoga kita tetap konsisten dalam perjuangan ini. Semoga tindakan kita sejalan dengan ucapan kita.
Salahuddin Wahid