Ilustrasi guru. (sumber: ekspresionline.com)

“Loh kuliah? Udah lulus? Kok belum kerja? Kenapa tidak ngajar? Nggak jadi guru? Kok nggak kerja di sekolah?…”

Dan masih banyak lagi rentetan pertanyaan-pertanyaam yang muncul dari masyarakat mengenai lulusan perguruan tinggi di sekitar kita, dan ironisnya pertanyaan-pertanyaan itu datang dari orang-orang terdekat kita termasuk keluarga. Saya kira, hanya pertanyaan “kapan nikah?” yang akan dianggap momok oleh orang-orang beranjak dewasa, ternyata ratusan bahkan mencapai ribuan pertanyaan lain juga ada. Sepertinya hidup lebih banyak dipertanyakan dari pada diberi dukungan dan penghargaan.

Saya atau barangkali teman-teman melalui persoalan ini, mari kita bahas problema yang sudah umum berkembang di masyarakat, ketika ada anak yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, sampai ketika anak tersebut lulus, sebuah perjalana panjang yang rasanya kita seperti berjalan di atas keinginan orang lain, diantara espektasi orang-orang sekitar. Kita lihat bagaimana tahun 2024 adalah di mana banyak gen Z baru lulus dari perguruan tinggi, ya seperti yang saat ini sering menjadi konsumsi kita di media sosial banyak konten-konten yang dipertunjukkan oleh lulusan baru atau fresh graduate yang kebanyakan adalah Gen Z, menunjukkan aktivitas mengajar.

Saking banyaknya video-video mengajar atau metode mengajar yang mereka upload, rasanya menjadi lumrah banyak masyarakat mengira semua lulusan perguruan tinggi akan menjadi pengajar atau guru, setelah nanti lulus. Walau itu tidak semuanya, namnun mayoritas masyarakat terutama di desa, masih menganggap lulusan-lulusan lembaga pendidikan tinggi itu otomatis akan menjadi guru tanpa mau tahu jurusan apa yang mahasiswa itu ambil saat kuliah.

Di sini saya sedikit berbagi cerita mengenai pola pikir yang seperti itu di lingkungan masyarakat, seperti halnya yang terjadi pada teman saya, dia memang bukan sarjana pendidikan, tapi dia sudah berhasil mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusannya. Permasalahan ini dimulai saat kedua orangtuanya masih mempermasalahkan pekerjaan yang ia tekuni saat ini (walau inilah pekerjaan atau karir yang sesuai jurusan saat kuliah). Orang tua masih memaksakan keinginan pihaknya dengan mengusik si anak dengan kalimat, “habis lulus kuliah itu ya ngajar, jadi guru.” Kalimat yang cukup memukul baginya yang sudah berdarah-darah mendapatkan pekerjaan dan posisinya saat ini.

Persoalan ini tentunya tak hanya terjadi pada teman saya, barangkali mungkin saja terjadi ada banyak orang yang mengalami demikian. Ketertenakan atas usahanya yang tak dihargai, kekecewaan atas pencapaiannya yang dicibir, keputusasaannya sebab profesi yang begitu dia idamkan tak pernah bernilai di mata orang tuanya yang merasa telah memberikan seluruh materi dan tenaganya untuk menguliahkan si anak itu. Lantas, bagaimana kah sebenarnya semua harus berjalan baik-baik saja?

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Nah seperti itu kira-kira permasalahan yang dihadapi oleh gen Z saat ini, mari kita luruskan bahwasanya di dunia perkuliahan itu tidak hanya ada jurusan pendidikan saja, ada banyak jurusan yang dimiliki kampus yang bisa di pilih oleh para calon mahasiswa. Tapi apa? Orang-orang masih saja tetep beranggapan kuliah itu harus jadi pendidik, pengajar tak peduli ia lulusan sarjana pendidikan atau bukan.

Baca Juga: Semua Profesi Terhormat di Mata Orang yang Tepat

Padahal dalam praktiknya di lapangan, juga banyaklulusan sarjana pendidikan yang tidak jadi pengajar. Alih-alih bicara ke arah yang bukan urusan kita, di negara kita saja banyak sekali pengangguran, tidak memandang dari lulusan kuliah program studi apa, termasuk sarjana pendidikan yang gagal menjadi guru karena persaingan lembaga pendidikan yang ketat, atau di tengah jalan mereka menginginkan profesi lain dan alasan-alasan lainnya.

Ahh dunia ini memang tidak ada cukupnya, sarjana pendidikan yang terus menerus di teror supaya bisa masuk di sekolahan, sedangkan sarjana umum lainnya yang seharusnya bisa tidak terjun di dunia pendidikan malah dipaksa untuk hal itu. Ya saya tahu syarat menjadi pengajar tidak harus sarjana pendidikan, tapi di zaman sekarang banyak peraturan yang diterapkan pemerintah, dan itu tidak diketahui oleh masyarakat awam.

Bahkan seorang Ganjar Pranowo saja dalam acara bincang dengan Najwa Shihab bisa dengan entengnya meremehkan pekerjaan orang, “lulusan sarjana kok jadi MC”. Seorang mantan Gubernur pun bisa bilang seperti itu, apalagi masyarakat awam? Barangkali kita bisa memperbaiki anggapan salah kaprah ini, mulai dari diri kita sendiri. Dengan cara menghormati profesi apapun selama itu halal dan tak melanggar syariat dan hukum negara.

Kita ambil contoh anak media, jurnalis, yang itu juga merupakan pekerjaan yang mulia, tapi banyak orang memandang sebelah mata, mengapa demikian? Ah masa lulusan sarjana nulis berita doang, ah masa sarjana bisanya ngedit video, ah kerjaan macam apa itu masa nggak punya seragam kayak guru?. Padahal bisa jadi jurnalis itu memang lulusan Media, Ilmu Komunikasi dan hal-hal yang memang output keberhasilannya adalah dengan menjadi pengelola media, menjadi pegiat literasi dan hal-hal yang terkait dengan itu.

Sebagai masayarakat yang sarjana, memahami bangku sekolah dan harusnya memanusiakan manusia: harusnya persoalan profesi seseorang tak perlu dipermasalahkan, sebab yang jadi masalah adalah saat seseorang itu menganggur, pengguran dan tak punya pekerjaan. Bahkan kalau kita lihat bagaimana media sosial, banyak sekali pemuda-pemudi khusunya gen Z yang saat ini banyak memilih untuk bekerja secara freelance, pekerjaan yang bagi mereka memudahkan, mengasyikkan dan menguntungkan.

Hal itu terlepas dari bagaimana orang lain menilainya sebagai orang yang bukan pekerja kantoran atau apalah yang bagi orang lain sebuah nilai hanya diukur dari sebuah gedung dan seragam. Barangkali boleh saya mengajak refleksi sebentar, bagaimana kasus-kasus koreupsi, perselingkuhan, kekerasan, juga menimpa penggerak pendidikan dan mereka yang berjaz elegan> rasanya itu relevan sebagai contoh bahwa nilai kehormatan seseorang tak cukup diukur dengan pekerjaan dan seragam yang ia gunakan dalam beraktivitas keseharian.

Menjadi lulusan pendidikan tinggi yang bermanfaat dan bernilai tidak harus menjadi seorang guru, ada banyak profesi lain yang juga begitu memiliki peran penting dan kebermanfaatannya luas. Bukan kah akan menjadi lebih indah jika semua profesi saling mendukung, dan kita berjalan menapaki sebuah perjalanan sesuai jalan kita? Paling tidak itu cara kita tak mengambil jatah orang lain yang memang seharusnya ada di posisi sesuai keahlian mereka.

Walau nasibnya, dewasa ini, banyak sekali yang meremehkan beberapa profesi. Dan mengagungkan profesi guru, tanpa disadari bahkan mereka yang berprofesi guru juga mendapatkan ketidakadilan dalam banyak hal, termasuk kesejahteraan mereka. Mari biarkan anak-anak muda ini menemukan dan menjalani jalannya. Tidak perlu saling rebut jabatan, profesi atau kehormatan. Biarlah prilaku, karya, dan dedikasi pada masyarakat, keluarga dan bangsa menjadi bukti untuk menyatakan kebermanfaatan dan keberadaannya. 



Penulis: Albii