KH. Said Aqil Siroj, MA. dalam mauidhoh hasanahnya pada puncak Haul ke-15 KH. Abdurrahman  Wahid (Gus Dur) membuka dengan penyampaian salah satu pengalaman berkesannya ketika bersama Gus Dur, Ahad (23/12/2024). Foto: tebuireng.online
KH. Said Aqil Siroj, MA. dalam mauidhoh hasanahnya pada puncak Haul ke-15 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membuka dengan penyampaian salah satu pengalaman berkesannya ketika bersama Gus Dur, Ahad (23/12/2024). Foto: tebuireng.online

Tebuireng.online- KH. Said Aqil Siroj, MA. dalam mauidhoh hasanahnya pada puncak Haul ke-15 KH. Abdurrahman  Wahid (Gus Dur) membuka dengan penyampaian salah satu pengalaman berkesannya ketika bersama Gus Dur, Ahad (23/12/2024).

Ia bercerita, suatu ketika, saat Gus Dur umroh dengan rombongan kiai Nur Muhammad Iskandar pada bulan Ramadan, sedang Said Aqil juga masih di Madinah. Setelah tarawih, Gus Dur mengajak Said Aqil berkeliling untuk mencarikan ulama khawas. Saat ditunjukkan pada ulama pertama yang mengenakan sorban, berjenggot, memiliki kitab bertumpuk, dan murid yang banyak, namun Gus Dur mengajak berpindah tempat.

Kemudian berjalan kembali ditunjukkan pada ulama yang mengenakan gamis, berjenggot, membawa tasbih dengan hadirin yang banyak, lagi-lagi Gus Dur meminta mencari yang lain. Kemudian ketika berjalan, Gus Dur meminta berhenti untuk menjumpai orang Mesir yang saat itu sendirian dengan memakai sorban kecil, Gus Dur meminta Said Aqil yang berbicara, dan orang Mesir tersebut melontarkan pertanyaan dengan nada kurang menyenangkan “Ada apa?,” kata Said Aqil mengutip perkataan orang Mesir tersebut.

Kemudian, Saiq Aqil menanyakan pada Gus Dur tujuan ingin menjumpai orang Mesir tersebut, Gus Dur pun menjawab.  “Ya minta doa”.

Pertanyaan kembali dilontarkan oleh orang Mesir itu, doa apa yang diinginkan. Kemudian doa berlangsung kurang lebih 10 menit, orang Mesir tersebut berjalan cepat dengan menyeret sajadahnya. Tidak sengaja, Said Aqil mendengarkan dengan jelas apa yang diucapkan oleh orang Mesir saat berjalan. Yang mana orang tersebut sebenarnya adalah wali yang wilayahnya diketahui oleh Gus Dur.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Dosa saya apa ya Allah, sampai saya ketahuan orang ini,”  ucapnya Said Aqil menyampaikan ucapan orang Mesir itu.

Di hadapan puluhan ribu hadirin, Said Aqil menerangkan bahwa hadirin adalah orang kaya karena beberapa hal.

Pertama, social capital, bahwa hadirin yang hadir mewarisi dari para ulama. “Kita mewarisi dari Mbah Hasyim, Gus Dur mewarisi dari para ulama-ulama, mewarisi siapa? Pengikut yang banyak,” terangnya.

Selanjutnya, ia menjelaskan pentingnya manusia untuk tidak meninggal dengan meninggalkan keturunan yang lemah, ia mengajak hadirin untuk mengusahakan meninggal dengan keadaan anak, cucu, murid, pengikut yang lebih kuat, kuat dalam harta, posisi, dan syahwat.

“Jangan sampai kamu meninggal dunia, meninggalkan keturunan yang lemah,” tegasnya.

Kemudian dijelaskan pula sebaik-baik orang adalah yang keturunan orang besar dia juga dapat membangun kebesarannya. Sebaliknya, sejelek-jeleknya orang adalah orang yang membangga banggakan keturunannya.

“Gus Dur keturunannya orang besar, beliau pun membangun kebesarannya. Sejelek-jelek orang kalau hanya bisa membanggakan kakeknya siapa, keturunannya siapa, saya bani siapa,” ucap Said.

Mantan ketua PBNU itu juga mengartikan sebuah syair jika ada kiai besar tetapi keturunannya kecil tidak sebesar kakeknya ibarat monyet.

“Itu berarti macannya sudah jadi monyet, nuwun sewu, itu kata syair,” jelasnya.

Warisan kedua adalah culture capital, ilmu pengetahuan, khususnya di pesantren kutub al-turats, kutubus salaf, dan kitab kuning.

“Pesantren, walau modern kaya apa, harus ada ngaji kitab kuning, kalau tidak ada bukan pesantren, kos-kosan itu namanya,” katanya.

Mustasyar Pengurus Besar NU itu juga menerangkan bahwa terdapat kitab kuning yang membahas ilmiah seperti kitab Jaa Zaidun, kemudian kitab Mantik.

Lebih lanjut, ia membahas bahwa leluhur Nabi  Muhammad hingga Nabi Adam tidak ada yang berbuat zina, karena leluhur nabi Muhammad dijaga untuk membawa Nur Muhammad SAW.

“Oleh karena itu, pesantren jangan lupa malam Jum’at membaca barzanji atau diba’, syukur-syukur Burdah,” tambahnya.

Ketiga, symbolic capital, warisan ini seperti salat memakai sarung, kopyah, yang sebenarnya bukan syarat salat, masjid pakai beduk, padahal masjid tidak pakai beduk tidak apa-apa. Dan terakhir, para ulama’ kiai tidak mewarisi financial capital dan politic.

“Para kiai tidak ada yang ambisi dengan jabatan, oleh karena itu kalo kita ingin membangun kehormatan kebesaran atas itu, mari kita bangun dengan niat baik,” pesannya.

Baca Juga: Tokoh Nasional hingga Ribuan Masyarakat Padati Lokasi Haul

Pewarta: Ilvi Mariana