Dalam rangkaian acara menuju wisuda hafidz ke-35 di Madrasatul Qur’an (MQ) Tebuireng diawali dengan Diklat Qiro’ah Muwahhadah, berupa pendidikan dan latihan yang bertujuan membekali para hafidz bagaimana teknik pengajaran bacaan Al-Quran yang seragam khas MQ pada Sabtu (14/12/2024) pekan lalu.
Dalam rangkaian acara menuju wisuda hafidz ke-35 di Madrasatul Qur’an (MQ) Tebuireng diawali dengan Diklat Qiro’ah Muwahhadah, berupa pendidikan dan latihan yang bertujuan membekali para hafidz bagaimana teknik pengajaran bacaan Al-Quran yang seragam khas MQ pada Sabtu (14/12/2024) pekan lalu.

Tebuireng.online- Dalam rangkaian acara menuju wisuda hafidz ke-35 di Madrasatul Qur’an (MQ) Tebuireng diawali dengan Diklat Qiro’ah Muwahhadah, berupa pendidikan dan latihan yang bertujuan membekali para hafidz bagaimana teknik pengajaran bacaan Al-Quran yang seragam khas MQ pada Sabtu (14/12/2024) pekan lalu.

KH. Abdul Hadi Yusuf yang membuka acara ini menyampaikan, para calon wisudawan adalah produk jadi, dengan keseragaman bacaan Al-Quran gaya MQ Tebuireng. Diklat ini menjadi bekal bagi calon wisudawan.

“Diklat ini membekali cara mengajar bagi para wisudawan hafidz,” ungkap beliau.

Kemudian, pada sesi pembelajaran yang dipandu oleh Ustadz Muhibbudin Ikhwan, alumni MQ Tebuireng yang kini menjadi pengasuh Pesantren Manba’ul Qur’an Porong, Sidoarjo. Teknik pengajaran yang disampaikan telah terdokumentasi dalam modul “Al-Murottalu,” sebuah karya yang juga diakui sebagai tesis magister di Pascasarjana Unhasy Tebuireng.

Ustadz Muhibbin menerangkan bahwa Qiroah Muwahhadah, sebagai gaya membaca Al-Quran yang dipilih oleh pendiri Madrasatul Qur’an Tebuireng, Kiai Muhammad Yusuf Masyhar ini diajarkan berjenjang dari tingkat paling dasar hingga santri dinyatakan lulus dan diwisuda. Pengajaran utamanya berkaitan dengan cara pengucapan huruf-huruf Hijaiyah, pilihan cara membunyikan hukum bacaan dalam ilmu tajwid, dan irama bunyi bacaan. Qiro’ah Muwahhadah, penyeragaman bacaan, dipilih oleh Kiai Yusuf Masyhar, karena santri yang mengaji Al-Quran di Tebuireng berasal dari banyak dialek daerah dengan ciri khasnya masing-masing.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ia melanjutkan, termasuk gaya fashohah atas pengucapan huruf sangat dipengaruhi oleh jalur keguruan saat mengaji Al-Qur’an sebelum di Tebuireng dari santri yang mondok di Tebuireng sudah mempunyai hafalan dan gaya mengaji dari pesantren sebelumnya. Lahjah atau dialek kedaerahan, juga irama bacaan oleh Kiai Yusuf dibentuk menjadi bacaan tunggal.

“Bentuk hidup dari bacaan yang seragam pilihan kiai Yusuf Masyhar dipraktekkan oleh dua santri MQ generasi awal yang dibentuk oleh Kiai Yusuf. Terinspirasi dari kisah Rasulullah yang pernah merekomendasikan pada para sahabat ketika hendak belajar al-Qur’an kepada empat orang Ibn Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab dan Salim Mawla Abi Khudzayfah. Pada waktu itu santri-santri MQ menunjuk Kiai Muslihan Ahmad dan Kiai Abdullah Afif sebagai model bacaan Muwahhadah dari kiai Yusuf di MQ. Beliau berdua dipilih berdasarkan banyaknya interaksi dengan Kiai Yusuf, selain dalam pembelajaran murni di pesantren, juga dalam pembinaan dan pengalaman mengikuti lomba-lomba ke-Al-Qur’an-an selama menjadi santri di Tebuireng,” katanya.

Konsistensi pelafalan untuk huruf yang sama menjadi kunci dalam gaya bacaan Muwahhadah. “Misalnya pada as-Syu’aro ayat 19 yang berjejer fa’alta fa’latakal lati fa’alta, huruf fa’ ‘ayn lam ta dibunyikan dengan konsisten,” terangnya.

Dijelaskan pula, dibutuhkan kekonsistenan dalam pelafalan huruf fa’ dan ta’ terucap dengan desis (sifat hams) yang sama di semua tempat sesuai dengan porsi hams dan makhroj-nya. Huruf ‘ayn semua terucap dengan ‘ayn, tidak ada yang berubah menjadi bunyi hamzah. Pembunyian huruf Hijaiyah di MQ menggunakan cara yang tersusun dalam Al-Thoriqoh wat Tadribat li Fashohatil Qur’an yang disusun oleh Kiai Yusuf. Kefasihan pengucapan huruf sangat berpengaruh pada makna yang dibawa.

“Misalnya bunyi alim yang terucap dengan ‘ayn bermakna mengetahui dan yang terucap dengan hamzah bermakna sakit dan pedih,” tambahnya.

Pada Muwahhadah, perhatian pada huruf dengan syiddah atau tasydid, juga beberapa huruf seperti qof, jim, ta’, ‘ayn, dhod, termasuk bunyi qolqolah dan ikhfa’ sangat diperhatikan. Bagian terakhir ini disampaikan oleh dua narasumber dengan penjelasan yang sama di waktu yang berbeda. Bacaan yang diajarkan dalam rangkaian keguruan Muwahhadah MQ dipraktikkan berulang-ulang oleh dua nara sumber terakhir bersama para peserta diklat yang menerima sesi cara pembelajaran Qiro’ah Muwahhadah di sesi pertama. Konsistensi bacaannya sangat dirasakan, termasuk pada contoh pembelajaran guru murid dari santri yang hadir pada acara Diklat yang mana Ustadz Muhibudin menyetorkan hafalan kepada Ustadz Syamsul Anam, Ustadz Syamsul Anam menyetorkan hafalan kepada Ustadz Muslihan Ahmad, dan Ustadz Muslihan Ahmad yang dididik langsung oleh Kiai Yusuf Masyhar.

Diklat yang dimoderatori Masrokhin ini dimulai sekitar pukul 13.00-22.30 WIB. Dalam hal ini kiai Muslihan meneruskan pesan Kiai Yusuf yang selalu menekankan pada santri untuk kalau mengaji dengan pelan-pelan. Lebih dari itu, diharap apa yang dilantunkan para hafidz Qur’an MQ adalah hafalan yang secara spontan keluar dari bibir, tidak lagi berfikir. Ibarat membaca surat Al-Fatihah, tidak lagi berfikir, dan ini berlaku untuk seluruh ayat dalam 30 juz.

 “Bagi para penghafal Al-Qur’an nderes-nya harus sudah sampai mem-bibir, bukan meng-otak,” ungkap  beliau mengutip pesan Kiai Yusuf.

Pewarta: Ilvi