Oleh: Musthofinal Akhyar*
Peristiwa yang dialami Rohingya sekarang ini, bagaikan De Javu rakyat Palestina, atau juga Suku Uighur di Xinjiang China. Tentu kita telah mampu menelaah kejadian pahit yang dialami oleh minoritas muslim. Diskriminasi, pemerkosaan hak, hingga Pembantaian adalah pemandangan yang wajar dilihat oleh penduduk minoritas muslim. Seperti yang dilansir BBC news (8/9), jumlah pengungsi Rohingya melonjak pesat, dari sekitar 164.000 orang, menjadi 270.000 orang.
Hal ini disulut oleh baku hantam antara Militan Rohingya yang tergabung dalam organisasi Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) dengan militer Myanmar, yang mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia yang mayoritas dari warga Rohingya. hal tersebut pula yang kemudian ditanggapi secara over oleh pemerintah Myanmar. Dalam beberapa minggu terakhir Militer Myanmar melakuakan ekspansi ke daerah Rakhine, membakar ribuan rumah penduduk Rohingya dan melakukan kekerasan fisik, hingga pembunuhan pada Penduduk Rohingya.
Sontak, hal ini menyulut kemarahan dunia Internasional. klaim dunia Internasional bahwa Pemerintah Myanmar telah melakuakn Genosida kepada Rohingya mengepul di permukaan. Kedutaan Besar Myanmar di berbagai Negara bagaikan ladang demonstrasi yang hampir tiap hari dibanjiri para pengunjuk rasa yang menuntut Pemerintah Myanmar menghentikan diskriminasi kepada Warga Rohingya.
Aung San Suu Kyi menjadi seorang yang paling banyak mendapat kritikan. Peraih Nobel Perdamaian pada tahun 1991 karena perannya dalam pembebasan Myanmar dari kediktatoran militer, dikritik habis dan banyak petitum bermunculan untuk mencabut Nobel Perdamaian yang telah ia peroleh. Para peraih Nobel perdamaian dan tokoh antiapartheid Afrika Selatan, Uskup Agung Desmond Tutu, dan juga Malal Yousafzai adalah yang termasuk yang mendesak pencabutan Nobel perdamaian yang disandang oleh Suu Kyi. Dalam wawancaranya kepada BBC News, Uskup Tutu mengatakan “Jika harga politik anda untuk naik ke kantor tertinggi di Myanmar adalah diam Anda, maka harga itu jelas amat tinggi”. Sindir Uskup Agung Tutu yang meraih Nobel Perdamaian pada tahun 1984 itu.
Banyak opini liar bermunculan menanggapi krisis kemanusiaan ini. Ada yang mengatakan jika konflik Rohingya adalah murni faktor Politik dan Ekonomi, ada pula yang mengatakan, sentiment ras dan Agama lah yang menyulut Pemerintah Myanmar melakukan hal yang diluar batas kemanusiaan. Namun bagaimanakah sejatinya muara dari konflik ini.
Memang tidak ada yang salah jika kita beropini bahwa konflik yang terjadi di Rakhine ini semata karena kepentingan Ekonomi dan Politik Pemerintah Myanmar. Apalagi setelah ditemukannya fakta bahwa daerah Rakhine memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Kurang lebih 7000 triliun kaki kubik gas dan 1,4 miliyar Barel minyak bumi berdiam di bawah semenanjung Rakhine. Sedangkan di daratan Arakhan terdapat sekitar 1700 triliyun kaki kubik gas dan 1,6 Miliyar barel minyak bumi. Tak hayal membuat perusahaan minyak dunia pada ngantri untuk mengeksploitasi. Sebut saja Total (Prancis), Chevron (AS), MOECO (Jepang), CNC (China) dan perusahaan minyak lain berebut menancapkan kukunya di kawasan Myanmar Barat. Apalagi hari-hari ini Myanmar menjadi Negara yang paling gencar mengeksploitasi kekayaan alamnya. Myanmar menempati posisi ke 3, Negara di Asia dengan tingkat eksploitasi alam yang tinggi setelah India dan China.
Namun dengan adanya fakta tersebut, kita tidak bisa mengambil kesimpulan sepihak jika krisis kemanusiaan Rohingya pemicunya hanyalah konflik Politik dan ekonomi. Pada tahun 1982 Pemerintah Myanmar mengeluarkan Undang-undang yang menyatakan bahwa rakyat Myanmar adalah warga yang telah menetap di Negara tersebut sebelum kemerdekaan tahun 1948. Dalam undang-undang tersebut tercatat hanya 135 Etnis yang diakui. Kelompok-kelompok minoritas yang ingin diakui kependudukannya harus menunjukkan bukti dokumen bahwa nenek moyang mereka hidup di Myanmar (Burma) sebelum tahun 1823. Warga Rohingya menghklaim bahwa leluhur mereka telah hidup dan menetap di daerah Rakhinine ratusan tahun yang lalu, namun tidak bisa menunjukkan dokumen yang membuktikannya.
Organisasi Nasional Rohingya Arakan (ARNO) menyatakan bahwa orang-orang Rohingya telah bermukim di Myanmar sejak abad ke 15 M. Hal tersebut diperkuat oleh tulisan Macan-Markar Marwaan dalam esainya yang berjudul “Ethnic Cleansing Of Muslim Minority in Myanmar” yang menyatakan jika penduduk Rohingya adalah Tentara pimpinan Jendral Wali Khan yang diutus oleh Sultan Nadir Shah dari Bangladesh pada tahun 1429 M untuk membantu Raja Naramiekhla dapat berkuasa lagi di Arakhan.
Karena keramahannya ketika berbaur dengan penduduk local, maka Raja membolehkan mereka tinggal di Arakhan dan menikah dengan penduduk lokal. Namun meskipun dermikian pemerintah Myanmar besikukuh tidak mau mengakui Rohingya sebagai warga Negara Myanmar. Akibat hal tersebut warga Rohingya tidak diakui kependudukannya, dikucilkan, tidak memiliki hak politik, tidak mendapat fasilitas pendidikan dari pemerintah Myanmar dan diasingkan dari kegiatan ekonomi Negara. Arakahan menjadi daerah termiskin di Myanmar.
Namun dalam beberapa aspek ketika kita membaca konflik Rohingya, kita menemukan peran perbedaan ras dan Agama sebagai sumbu utamanya. Pada 2014 yang lalu, pemerintah Myanmar membuat sebuah rencana kontroversi untuk mencari solusi masalah kependudukan Rohingya. Pemerintah akan memberikan kewarganegaraan bagi kaum Rohingya jika mereka mengubah etnis mereka sebagai Bangladeshi atau Warga Bangladesh. Ini berarti pengakuan bahwa kelompok Rohingya adalah illegal. Hal tersebut sontak ditolak oleh mayoritas komunitas Rohingya. Pemerintah Myanmar masih menuduh jika penduduk Rohingya adalah budak yang dibawa oleh Inggris ketika menjajah Myanmar pada abad ke 19 M.
Selain itu, faktor lain yang memperkeruh konflik Rohingya adalah kampanye Biksu Wirathu. Ia seakan menjadi trending topic ketika menyandarkan Konflik Rohingya dengan perbedaan Agama. Dalam wawancaranya dengan The New York Times pada 2013 lalu, Wirathu menyatakan “Anda bisa memberikan kebaikan dan rasa kasih, tapi anda tidak bias tidur disamping anjing gila”. Yang Wirathu maksud Anjing gila disini adalah Muslim Rohingya. Biksu pencetus gerakan 969 anti-Islam ini sudah pro aktif menyerukan kebencian terhadap Muslim sejak 2003 lalu. Namun meskipun gerakan 969 anti-Islam ini adalah bentuk radikalisasi beragama, nyatanya pemerintah Myanmar secara implisit meresmikan dan mengizinkan gerakan ini untuk melakukan kampanyenya. Bahkan pemerintah Myanmar menggunakan gerakan ini untuk berlindung di balik jubbah Agama Budha, membuat semacam pembenaran moral untuk menumpahkan darah Muslim Rohingya.
Sejatinya jika kita membaca kembali krisis kemanusiaan di daerah Arakhan Myanmar, merupakan konflik yang kompleks. Politik, Ekonomi menjadi kompor utama penyulut api pembakar kemanusiaan, sementara Agama dijadikan jubbah pelindung, legalitas dalam pelaksanaan agenda Geopolitik dan Geoekonomi. Namun bagaimanapun, martabat sebuah Negara salah satunya adalah kemanusiaan. Dengan alasan apapun, jika sebuah Negara telah kehilangan kemanusiaannya, maka hilanglah pula martabat dan kehormatannya.
*Alumnus Pesantren Sunan Drajat Paciran Lamongan, penulis novel “Surti, Derita Cinta dalam Takdir”, tinggal di Rembang.