Ridwan benar-benar orang yang tidak tahu malu. Meski sudah menikah dan berstatus sebagai seorang kepala rumah tangga, Ridwan tidak pernah menjalankan kewajibannya dengan baik, terutama dalam hal mencari nafkah.
Pernah suatu hari, Ridwan memberikan Ratna uang karena istrinya itu terus merengek kepadanya untuk membeli beras. Namun, Ratna malah menolaknya mentah-mentah setelah mengetahui jika uang tersebut Ridwan dapatkan dari hasil mencopet.
“Mending aku tidak makan seharian ketimbang makan uang haram itu!” Kata Ratna waktu itu.
Semenjak hari itu, Ratna kemudian meminta izin kepada Ridwan untuk bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga di rumah Pak Asep. Karena Ridwan tidak tahu malu, dia jelas memperbolehkan Ratna untuk menggantikan tugasnya sebagai pencari nafkah. Terhitung sampai saat ini, Ratna masih menjadi tulang punggung keluarga.
Ridwan tahu jika tetangganya terus menggunjingnya dan menyebutnya sebagai seorang pengangguran. Hanya saja dia memilih untuk tetap diam dan masa bodoh karena dia adalah orang yang tak punya malu.
“Ayo bangun, ini sudah siang. Bapak-bapak yang lain sudah berangkat kerja, sementara kamu di sini masih tidur, malu sama tetangga.” Kata Ratna sambil melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh siang. Ratna kemudian menarik tubuh Ridwan dengan kedua tangannya.
Setiap hari, Ratna harus izin pulang sebentar pada Pak Asep hanya untuk membangunkan Ridwan. Kalau tidak, Ridwan bisa kebablasan tidur hingga sore nanti.
“Untuk apa malu? Ini kan hidupku!” Jawab Ridwan. Ia kemudian berjalan masuk ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, Ridwan pergi ke dapur untuk makan. Sementara, Ratna sudah kembali ke rumah Pak Asep.
Jadwal kegiatan Ridwan hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Dia akan pergi nongkrong di warung kopi Bu Ida. Di sana, dia akan bercengkrama sebentar dengan para tukang ojek yang sedang menunggu penumpang. Kalau di pikir-pikir, hanya Ridwan saja yang berstatus pengangguran di sana. Karena itu, Ridwan sering kali mendapatkan ledekan dari para tukang ojek yang lain. Namun, lagi-lagi Ridwan tidak merasa malu untuk itu.
“Ridwan, apa kamu tidak kasihan dengan Ratna yang sedang bekerja sementara kamu malah asik-asik disini? ” Tanya salah seorang tukang ojek di sana. Belum sempat menjawab, tukang ojek yang lain buka suara.
“Suami kok bergantung hidup sama istri…”
“HAHAHAHAHA….”
Semua orang tertawa, termasuk Ridwan. Meski diejek habis-habisan, Ridwan tidak pernah ambil hati. Justru, dia ikut menertawakan dirinya sendiri. Ridwan benar-benar tidak tahu malu.
Saking tidak tahu malunya, sampai sekarang Ridwan masih sering meminta uang kepada kedua orang tuanya untuk membeli rokok dan kopi. Karena Ratna hanya memberikannya jatah untuk merokok selama seminggu sekali.
Setelah pulang dari warung Bu Ida, Ridwan biasanya akan pergi untuk menjemput anaknya di sekolah. Setidaknya, Ridwan tidak melupakan kewajibannya yang satu ini.
Namun, ada yang aneh dari anaknya siang ini. Tidak seperti biasanya, anaknya terus diam selama perjalanan. Meskipun anaknya berjenis kelamin laki-laki, mulut anaknya itu cerewet layaknya seorang perempuan.
Setiap kali Ridwan pancing dengan sebuah pertanyaan agar mau berbicara, anaknya selalu menjawab pertanyaannya dengan jawaban seadanya.
Ridwan juga sempat melirik anaknya dari kaca spion motornya. Anaknya itu terlihat begitu murung dan cemberut. Aneh. Ini bukan sifat asli anaknya.
“Apakah sedang ada masalah di sekolah?” Tanya Ridwan ketika mereka telah sampai di rumah.
Anaknya menggelengkan kepalanya, seolah menyiratkan tidak terjadi apa-apa. Ridwan tahu, anaknya itu sedang berbohong saat ini.
“Jangan berbohong…”
Anaknya menarik nafasnya dalam-dalam. “Minggu depan ada ujian membaca Al-Qur’an. Sementara, Gibran belum lancar membaca Al-Qur’an.” Anaknya menunduk.
Tak lama setelah itu, Gibran menatap Ridwan dengan mata yang berbinar. Suasana hatinya tiba-tiba saja berubah.
“Bapak ajarin Gibran mengaji ya mulai nanti malam. Agar Gibran bisa lancar ketika ujiannya nanti?”
Ridwan menggaruk-garuk lehernya yang tidak gatal. “Sebenarnya, Bapak belum bisa mengaji sampai sekarang…” Kata Ridwan sambil cengengesan.
“Bapak payah. Sudah dewasa, tapi masih belum bisa membaca Al-Qur’an!” Gibran pergi masuk ke dalam kamarnya.
Sementara, Ridwan terus mematung di tempat. Wajahnya mendadak pucat pasi. Seumur hidupnya, dia belum pernah merasa semalu ini.
Penulis: Nadia Yasmin Dini