Review buku Laut Pasang 1994 karya Lilpudu.

“Keluarga dengan tujuh anak laki-lakinya. Bagaimanapun takdirnya nanti, tujuh raga akan tetap satu jiwa.”

Banyuwangi, 1994. Di sebuah keluarga sederhana yang penuh kehangatan, hidup sepasang suami-istri dan ketujuh anak laki-lakinya. Mereka adalah keluarga Purnomo: Bapak, Ibu, Simbah (nenek), dan tujuh anak laki-laki: Mas Khalid, Mas Nadi, Mas Dewa, Mas Apta, Esa, Dipa, dan Windu. Tidak ketinggalan, si ayam kesayangan mereka yang diberi nama Hartono. Keluarga ini dikenal dengan ikatan kekeluargaan yang sangat erat. Mereka saling mendukung, berbagi kebahagiaan dan kesedihan, serta menjaga kebersamaan dalam setiap langkah hidup mereka. Kehangatan dan cinta dari Bapak, Ibu, dan Simbah membuat dunia anak-anak terasa begitu sempurna.

Namun, kebahagiaan itu harus terguncang oleh takdir yang tak terduga. Pada suatu malam yang kelam, keluarga ini harus menerima kenyataan pahit ketika Ibu berpulang terlebih dahulu menghadap Sang Pencipta. Kehilangan yang mendalam itu mengubah Bapak, yang seketika mengalami perubahan drastis dalam dirinya.

Pada tanggal 2 Juni 1994, peristiwa memilukan terjadi. Suasana malam itu begitu mencekam. Suara gemuruh air yang semakin tinggi terdengar kencang, disertai dengan teriakan dan jeritan. Banjir besar melanda dan menghancurkan hampir seluruh kota. Keluarga Purnomo menjadi salah satu korban. Rumah mereka yang sederhana hancur dilumat banjir, bersama dengan reruntuhan bangunan yang turut mengubur harapan mereka.

Namun, dalam kegelapan dan kehancuran itu, sebuah keajaiban terjadi. Bapak, sang kepala keluarga, selamat dari bencana tersebut. Sebuah tiang besar yang ambruk menjadi penopang bagi dirinya, menahan tubuhnya dari derasnya arus air yang mengalir begitu kuat. Meski kehilangan segalanya, Bapak masih bisa bertahan hidup.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Peristiwa malam itu, yang mengguncang kota dalam sekejap, menyisakan luka mendalam. Tujuh raga yang dulu bersatu dalam kebahagiaan kini menjadi saksi bisu bagaimana ganasnya gelombang pasang yang merenggut banyak nyawa. Di tengah kekacauan tersebut, terdengar teriakan terakhir dari Mas Khalid: “Apta, Esa, pegang tangan Mas yang kencang!” Kalimat itu keluar dengan penuh harapan, namun semuanya terasa sia-sia. Arus banjir yang sangat kuat membuat genggaman mereka satu sama lain terlepas.

Akhir dari cerita ini bukanlah akhir dari kehidupan Bapak dan dua anaknya yang selamat. Sebaliknya, ini adalah awal perjalanan hidup baru bagi mereka. Kehilangan yang begitu besar telah mengubah segalanya, namun hidup harus tetap berjalan.

Buku ini membawa pembaca ke dalam perjalanan emosional yang mendalam tentang arti sebuah keluarga, kehilangan, dan ketabahan. Dalam Laut Pasang 1994, Lilpudu menggambarkan perasaan yang sangat manusiawi dan universal dengan narasi yang penuh dengan detail yang menyentuh hati. Kita dapat merasakan betapa pentingnya ikatan kekeluargaan dan bagaimana takdir yang tak terduga bisa mengubah hidup seseorang dalam sekejap mata. Melalui peristiwa tragis ini, penulis ingin mengingatkan kita akan ketahanan jiwa manusia dalam menghadapi cobaan hidup.


Judul: Laut Pasang 1994
Penulis: Lilpudu
Penerbit: Akad X Tekad
ISBN: 978-623-5953-36-6
Tebal Halaman: 320 halaman
Peresensi: Wan Nurlaila Putri