Nikah merupakan salah satu kesunahan Rasulullah Saw. Berdasarkan sejarah pensyariatannya, nikah adalah bentuk pendobrakan terhadap ke-jahiliyah-an masyarakat kaum Quraisy pada masa itu. Adat istiadat perkawinan sebelum Islam datang sangat mendiskriminasi kaum wanita. Menurut mereka wanita hanyalah sampah. Bahkan mereka rela mengubur hidup-hidup anak sendiri, jika berjenis kelamin perempuan.[1]
Terbentuknya ikatan lahir batin antara pria dan wanita dengan tujuan membentuk rumah tangga sakinah mawadah warahmah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi salah satu tujuan yang diusung dalam syariat nikah. Allah SWT berfirman:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir” (Q.S. Ar-Rum ayat 21)
Di antara tujuan lain dari eksistensi nikah adalah supaya terhindar dari zina. Seiring berkembangnya umur tepatnya setelah baligh, seseorang akan merasakan kebangkitan hasrat seksualnya. Sedangkan di sisi lain zina dilarang. Maka dari itu, Allah memberi solusi dengan mensyariatkan nikah.[2]
Dari keterangan di atas, nikah memiliki impak positif bagi manusia, khususnya umat muslim. Namun terkadang juga dapat menimbulkan permasalahan jika diterapkan di daerah dan orang yang memiliki latar belakang berbeda dengan zaman Nabi Muhammad Saw. Misal, adanya pernikahan di bawah umur yang akan berdampak negatif bagi rakyat Indonesia.
Memang dalam ajaran Islam tidak ada batas umur tertentu mengenai pernikahan. Dr. Wahbah Zuhaili mengatakan[3] :
ولم يشترط جمهور الفقهاء لانعقاد الزواج: البلوغ والعقل، وقالوا بصحة زواج الصغير والمجنون. الصغر: أما الصغر فقال الجمهور منهم أئمة المذاهب الأربعة، بل ادعى ابن المنذر الإجماع على جواز تزويج الصغيرة من كفء
“Mayoritas Ulama tidak mensyaratkan baligh dan aqil untuk berlakunya akad nikah. Mereka berpendapat keabsahan perkawinan anak di bawah umur dan orang dengan gangguan jiwa. Kondisi anak di bawah umur, menurut jumhur ulama termasuk ulama empat mazhab, bahkan Ibnul Mundzir mengklaim ijmak atau konsensus ulama perihal kebolehan perkawinan anak di bawah umur yang sekufu.”
Bahkan Nabi Muhammad saw. menikahi Sayyidah Aisyah di saat ia berusia 6 tahun, dan itu pun belum baligh.[4] Namun jika hal tersebut diterapkan di Indonesia akan menjadi masalah.
Maka tak heran pemerintah Indonesia membatasi pihak yang boleh menikah dengan usia 19 tahun. Sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, aturan terbaru tentang pernikahan. Tentunya keputusan tersebut memiliki beberapa pertimbangan.[5]
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Sudiro Asno mengatakan “Bagaimana Indonesia bisa maju kalau sumber daya manusianya yang masih berusia muda sudah pada menikah. Saya tidak menentang dan anti perkawinan, tetapi semestinya harus sudah layak secara pendidikan, ekonomi, psikologi, maupun layak secara sosiologis, di samping faktor tingginya persoalan kawin cerai yang terjadi”[6]
Dampak Negatif Nikah di Bawah Umur
Dari ucapan Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI dapat dipahami bahwasanya nikah di bawah umur memiliki dampak negatif sebagai berikut:
Mempertaruhkan Masa Depan
Ketika seseorang menikah di bawah umur yang telah ditentukan dalam undang-undang, masa depan bangsa akan dipertaruhkan. Anak pada usia demikian kemungkinan besar belum bisa berpikir dewasa, sehingga ketika menikah akan kesulitan membagi waktu untuk mengurus rumah tangga dan pendidikannya. Dan itu akan berpengaruh besar terhadap kemunduran bangsa. Apalagi jika ternyata kecenderungan mereka menghiraukan pendidikan.
Perekonomian Belum Stabil
Di Indonesia jarang sekali remaja yang berada di bawah umur 19 tahun sudah sukses dan menjadi miliarder, kecuali anak dari miliarder juga. Oleh sebab itu, ketika mereka menikah dengan bekal yang belum cukup akan membuat perekonomian mereka susah. Terlebih lagi, orang tua juga tidak akan selalu membantu.
Tingginya Potensi Perceraian
Pada umur tersebut, manusia mengalami kondisi psikologis yang masih labil. Oleh karena itu, dirasa kurang cukup siap untuk menghadapi permasalahan rumah tangga. Maka potensi perceraian besar terjadi pada pernikahan di bawah umur.
Dengan pertimbangan tersebut, pemerintah kiranya sudah tepat mengeluarkan kebijakan membatasi umur dalam pernikahan. Meskipun dalam Islam sendiri sebenarnya tidak ada batas umur yang pasti dalam pernikahan. Mengapa demikian?
Imam Jalaludin As-Syuyuti dalam kita Asbah Wa Nadhoir menyebutkan kaidah fikih yang berbunyi[7] :
دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ أَوْلىَ مِنْ جَلْبِ الْمَصَالحِ
“Menghindari kerusakan lebih baik daripada menarik kemaslahatan”
Hal itu sesuai hadis Nabi Muhammad saw [8]:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا بُدٌّ نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ» قَالُوا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ؟ قَالَ: غَضُّ الْبَصَرِ، وَكَفُّ الْأَذَى، وَرَدُّ السَّلَامِ، وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ (رواه البخاري و مسلم)
“Dari Abu Sa’id al-Khudri ra., Rasulullah SAW bersabda: “Hendaklah kalian menjauhi duduk-duduk di pinggir jalan. Para Sahabat berkata: “Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap”. Rasulullah SAW berkata: “Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan”. Sahabat bertanya: “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab: “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa meninggalkan duduk di pinggir jalan umum diutamakan lantaran menimbulkan mafsadat (permasalahan) berupa; mencegah lalu lintas orang yang lalu lalang. Meskipun dengan duduk di pinggir jalan terdapat sebuah manfaat seperti membicarakan ilmu dan semacamnya.[9]
Menikah memang memiliki kemaslahatan dan sesuai dengan maqasid syariah berupa hifdzun nasl (menjaga keturunan).[10] Namun itu tidak menutup kemungkinan adanya kerusakan akibat nikah. sebagaimana pertimbangan di atas. Yang kemudian menyebabkan wajib untuk dihindari atau haram.
Haram bukan berati tidak sah, keduanya adalah hal yang berbeda. Dalam kitab Al-Waraqat karya Imam Al-Haramain dijelaskan[11], adakalanya hukum haram sekaligus tidak sah. ini tatkala larangan langsung to the point ke suatu pekerjaan seperti salat bagi orang haid. Maka hukumnya juga tidak akan sah.
Ada juga haram namun tetap sah, lantaran larangan tersebut sebab hal lain yang tidak selalu berkaitan dengan suatu pekerjaan, seperti jual beli saat azan Jumat kedua, meskipun haram tapi tetap sah.
Sedangkan perihal nikah di bawah umur bagi masyarakat Indonesia hanya sekedar haram namun tetap sah. Menimbang hukum asal nikah adalah sunah dan keharamannya hanya karena faktor eksternal yang tidak selalu berkaitan dengan nikah. Salah satunya adalah melanggar aturan pemerintah yang notabene wajib kita taati.[12]
Baca Juga: 4 Hal yang Perlu Kamu Persiapkan Sebelum Menikah
[1] Ali Taha, Ar-Rayyan, Tarikh Tasyri’ Al-Islami (Beirutt: Dar Az-Zihni: 2010) hal. 12-15
[2] Asyatha, Abu Bakar, Hasyiyah ‘Ianatu Thalibin, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah: 2018) juz 3, hal. 431
[3] Az-Zuhayli, Wahbah, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Darul Fikr: 1985 M/1405 H) juz 7, hal. 179.
[4] Imam Muslim, Sahih Muslim (Beirut: Darul Fikr: 2011) juz 1, h. 650.
[5] https://kemenag.go.id/opini/mengurai-problematika-hukum perkawinan-di bawah-umur-di- indonesia-ora7t4
[6]https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/25914/t/19+Tahun+Jadi+Batas+Usia+Minimal+Lakukan+Pernikahan
[7] As-Syuyuti, Jalaludin, Asbah wa Nadzoir fil Furu’, (Jakarta: Al-Haramain) hal. 64
[8] Hadits di atas diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam kitab al-Isti’dzan bab Bad’u as-Salam no. 6229 dan Muslim dalam kitab as-Salam bab Min Haqq al-Julus ‘Ala ath-Thariq Radd as-Salam no. 2161.
[9] Al-‘Usaimin, Sarh Al-Mumta’ Ala Zadil Mustasfa’ (Sameela) hal. 255
[10] Ali Taha, Ar-Rayyan, Tarikh Tasyri’ Al-Islami (Beirutt: Dar Az-Zihni: 2010) hal. 44
[11] Imam Haramain, Sarh Al-Waraqat, (Jakarta: Dar Al-Kitab Al-Islamiyah: 2019) hal. 26
[12] Qs. An-Nisa’: 59
*Ditulis oleh: Achmad Bissri Fanani, Mahasantri.