Oleh: M. Abror Rosyidin*
Tepat setahun sudah sosok kharismatik KH. Salahuddin Wahid atau Gus Sholah telah kembali ke haribaan Allah. Berduka tentu, sebagai santri, pantas merasakannya. Namun, tugas yang tak pernah bisa terelakkan adalah mencermati, mengamati, meneliti, dan terus meneruskan pemikiran-pemikiran dan ide-ide gagasan yang dicetuskannya. Ide dan gagasan itu kadang memang dicermati sebagai sebuah kritikan. Padahal ketika kita cermati dengan saksama, apa yang disampaikan Gus Sholah selalu berupa pesan.
Item-item pesan yang sering sekali dalam jangkauan kita terhadap beliau, yaitu mengenai Integrasi Keislaman dan Keindonesiaan, ke-NU-an, dan persatuan umat. Pesan-pesan itu, seringkali dituliskan dalam kolom-kolom sederhana, tetapi sangat kaya akan data. Kadang-kadang, kita yang muda-muda ini, bingung, kapan sang kiai ini menyempatkan diri membaca, riset, dan mencari referensi, padahal usia sudah sepuh, dan waktu juga sangat padat. Begitulah kiranya kalau seseorang sudah punya wawasan luas, tak perlu lama menalar dan menganalisis sebuah pohon masalah.
Pesan ke-NU-an
NU adalah cintanya, dan itulah yang membuatnya selalu peduli memberikan pesan-pesan, walau terkesan lebih sering dicermati sebagai kritikan, atau bahkan diposisikan sebagai oposisi, yang gemar mengkritisi. Penulis malah memahami hal itu sebagai pesan-pesan seorang sesepuh NU untuk NU dan Nahdliyin.
Subitem ke-NU-an yang sering beliau jadikan diskursus utama adalah keterlibatan politik praktis, Khittah NU 1926, kesejahteraan warga NU, dan kontroversi istilah Islam Nusantara. Beberapa di antaranya penulis ikut terlibat dalam beberapa perjalanan Gus Sholah memperjuangkan apa yang harus ditegakkan dan diluruskan dalam NU.
“Banyak tokoh PBNU pada posisi strategis adalah politisi atau bersikap politis. Paradigma dan praktis organisasi menjadi seperti parpol: pragmatis dan menghalalkan segala cara. Muktamar ke-32 NU (Makassar) dan Muktamar ke-33 (Jombang) jadi contoh nyata.” Separuh paragraf dalam pesan terakhir Gus Sholah untuk NU yang ditulis di Harian Kompas pada 27 Januari 2020. Hal ini bukan berarti menunjukkan bahwa Gus Sholah apolitis, atau anti politik, tapi lebih kepada sikap proporsional. Gampangannya, ormas ya ormas saja lah, politik praktis biar diurus parpol. Ibarat mobil, NU ini butuh sopir yang pas, tapi para oknum elitnya banyak yang ingin menjadi penjual bensinnya. Masa semua ingin jadi pengasong bensin? Bensinnya dari mana saja?
Pesan ini terkait erat dengan perjuangan beliau dalam mengembalikan NU ke jalur relnya lagi, yaitu sebagai Jam’iyah yang fokus pada Jama’ahnya, bukan sebuah jam’iyah rasa partai politik atau lebih berat lagi, yang ditunggangi partai politik yang corak politiknya praktis yang kotor dan rendah serta berorientasi pada kekuasaan. Bukan corak politik, yang oleh KH. Sahal Mahfudz, disebut sebagai politik kebangsaan, sebagai politik tingkat tinggi.
Keterlibatan NU terhadap politik praktis telah lama membekas bagi tokoh-tokoh NU sejak menjadi partai politik antara 1952-1984. Selama 32 tahun itu, tidak mudah menghapus bekas-bekas pengaruh parpol dalam tubuh NU. Kehadiran PKB, menurut Gus Sholah juga menjadi salah satu penyebab pengkaburan Khittah NU, atau kembalinya NU menjadi organisasi masyarakat Islam. Ekstrim lagi, Gus Sholah menyebut NU hanya bertahan menjadi ormas Islam yang bebas parpol hanya dalam rentan waktu 1984-1998, 14 tahun saja.
Menyinggung soal Khittah NU, penulis sangat merasa beruntung mengikuti jejak beliau keliling berbagai daerah bersilaturahmi dan berhalaqah bersama para kiai-kiai dan ulama-ulama NU kultural yang memiliki keresahan yang sama. Di Jakarta, di Pekalongan, Surabaya, Pasuruan, Banten, Bandung, dan daerah-daerah lain, beliau hadir untuk berdiskusi bersama soal langkah-langkah mengembalikan NU pada khittahnya. Sampai-sampai harus mendirikan organisasi yang seringnya dipahami sebagai oposisi yang akan merebut PBNU 1 pada Muktamar 34 nanti, yaitu Komite Khittah NU 1926 (KKNU26).
Saat masih ada Gus Sholah, organisasi ini mejadi sorotan, karena memang gemar mengkritisi arah laju PBNU. Organisasi ini tidak manargetkan kekuasaan, apalagi sampai ingin membuat PBNU tandingan atau Muktamar tandingan. Maksudnya hanya untuk memberikan masukan, kritikan, dan pesan-pesan saran kepada PBNU terkait bersikap terhadap politik praktis, dan fokus pada pemberdayaan umat atau nahdliyin. Tidak sibuk bergumul pada jatah menteri dan menakar intensitas keberpihakan pemerintah terhadap NU, karena NU dari dulu adalah organisasi sipil yang biasa memberikan masukan pada pemerintah, bukan menjadi kawan erat yang selalu ngintil.
Namun, sayangnya, sepeninggal Gus Sholah, organisasi ini justru malah keluar rel sendiri. Mengkritisi PBNU yang keluar rel, malah dia sendiri keluar rel. Menjadi organisasi baru yang berbadan hukum dan mendekati partai oposisi, merapat ke KAHMI, dan tidak elegan lagi dalam menyampaikan gagasan, kritikan, dan pesan-pesan moral soal ke-NU-an. Rawan sekali kembali lagi ke term awal, melawan keterlibatan politik praktis di NU, dengan politik praktis pula. Ular menggigit ekor ular lain. Mencatut nama-nama yang tidak terkonfirmasi untuk dimasukkan struktur. Kalaulah Gus Sholah bisa melihat ini, tentu akan sedih dan kecewa.
Alih-alih menjadi ormas Islam terbesar di Indonesia dengan pengikut sekitar 90-95 juta jiwa, kadang membuat NU terlalu jumawa. Padahal kesejahteraan warga NU juga menjadi tanggungjawab PBNU dan organisasi-organisasi turunannya. Bukti bahwa adanya PKB, para politisi berlatarbelakang NU, dan keterjangkauan PBNU dari politik praktis tidak menjadi wasilah kesejateraan nahdliyin. Tetap saja yang miskin tetap miskin, yang kaya tetap kaya. Atau minimal layanan publik diperbaiki seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Nyatanya sama saja, begini-begini saja, tidak ada trobosan yang berarti. Sibuk megang raket listrik, mencari serangga yang siap digebuk. Bukan berpikir mana yang bisa dirangkul.
Tak heran jika Gus Sholah sering nyeletuk, “Muslimat NU jauh lebih baik daripada PBNU”. Muslimat NU memiliki Yayasan yang dikelola antara lain Yayasan Kesejateraan Muslimat NU (YKMNU), Yayasan Pendidikan Muslimat NU (YPMNU), Yayasan Haji Muslimat NU (YHMNU), serta Himpunan Daiyah dan Majelis Taklim Muslimat NU (Hidmat MNU).
Dalam memberikan berbagai layanan di masyarakat, saat ini Muslimat NU di seluruh wilayah mengelola aset pendidikan, kesehatan, maupun koperasi. Di bidang pendidikan, Muslimat NU memiliki lebih dari 16.000 Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), mengelola Raudatul Athfal (RA) dan Taman Kanak-kanak (TK) lebih 9.800, dan lebih 6.400 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Di bidang kesehatan, Muslimat NU mengelola satu-satunya Klinik Hemodialisis yang sudah mengantongi ISO, Rumah Sakit Ibu dan Anak di Jombang berstandar nasional serta rumah sakit umum yang dikelola secara profesional. Di bidang pemberdayaan ekonomi, Muslimat juga mengelola Induk Koperasi Annisa. Saat ini jumlahnya 143 koperasi yang berbadan hukum. Muslimat NU juga memperkuat layanan sosial melalui 144 panti asuhan yang dikelolanya untuk merawat anak-anak terlantar. Juga untuk merawat lansia dengan membuka panti lansia berbasis pesantren. Tentu ini sangat jauh dari kemajuan organisasi induknya sendiri.
Kemudian beliau juga mengkritisi gagasan Islam Nusantara. Selain Gus Sholah, gagasan ini juga dipandang lain oleh KH. Hasyim Muzadi dan Lukman Hakim Saifuddin. Mereka lebih setuju istilah Islam di Nusantara. Nusantara tidak hanya Indonesia, dia mencakup Thailand Selatan, Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, Timor Leste, sampai ke beberapa kepulauan jauh India. Maka kemudian beliau lebih setuju dengan istilah Islam Indonesia, atau Islam di Indonesia. Sampai-sampai museum yang beliau gagas, dirubah namanya dari Museum Islam Nusantara Hasyim Asy’ari menjadi Museum Islam Indonesia Hasyim Asy’ari.
Pesan Persatuan Umat dan Indonesia
Sangat terngiang dalam ingatan saat penulis ikut mendampingi beliau bersilaturahmi ke Pak Haedar Nashir dan Pak Syukrianto AR, dua tokoh Muhammadiyah. Seorang Kiai NU gemar sekali mengunjungi tokoh lintas ormas, bahkan lintas agama. Penulis juga pernah ditugaskan liputan di Ndalem Kasepuhan Tebuireng, yang datang adalah para pimpinan Jama’ah Tabligh. Pernah pula, HTI Jombang bersilaturahmi kepada beliau dan diterima diskusi dengan baik. Apakah beliau setuju gagasan mereka? Tidak. Titik temunya bukan pada persamaan gagasan, tapi cara beliau menerima orang lain, walau berbeda. Sering sekali beliau mengatakan, “Yang berbeda kan pemikirannya, pendapatnya, tapi kita kan sama-sama manusianya”.
Maka beliau kemudian mengkritisi adanya orang-orang yang berniat mengkritik golongan-golongan yang dianggap eksklusif, tapi malah dirinya sendiri eksklusif. Toleransi lintas agama banyak digalakkan, tapi sesama umat satu agama tidak digalakkan. Artinya beliau ingin dakwah yang merangkul bukan memukul benar-benar direalisasikan bukan hanya jargon. Beliau pernah mengatakan bahwa kita ini (NU) kalah dari Muhammadiyah, pendukung khilafah, golongan Salafi, dalam hal dakwah via teknologi informasi. Maka yang diperlukan adalah kolaborasi, bukan kompetisi, karena jelas-jelas kita telah tertinggal.
Itulah kemudian, beliau mau berkolaborasi dengan seorang ilmuan Muhammadiyah, Agus Purwanto, untuk membesarkan Trensains, pesantren yang fokus mengkaji perpaduan sains dan Islam. Gus Sholah menggagas film Jejak Langkah 2 Ulama, sebuah film yang menerangkan kisah dua ulama besar Nusantara, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan. Film ini diproduksi oleh Pesantren Tebuireng melalui Rumah Produksi Tebuirengnya, dan LSBO Muhammadiyah dengan MIXPRO. Keinginan beliau ini didasarkan pada fakta bahwa masih banyak umat dari dua ormas ini, yang bersitegang dan tidak mengedepankan persaudaraan. Padahal para pendiri ormas ini, merupakan sahabat dan kawan dekat, Mas Darwis dan Dik Hasyim.
Dalam satu kesempatan Gus Sholah pernah berkata, “Perbedaan pendapat sangatlah biasa. Apalagi perbedaan politik. Semua harus bisa menahan diri dan mementingkan persatuan Indonesia”. Dalam pandangan beliau tidak ada persatuan Indonesia tanpa persatuan umat Islam. Sebab bangunan utama bangsa ini adalah umat Islam yang memenuhi sebagian besar ruang populasi, selain dengan adanya fakta kontribusinya dalam sejarah bangsa ini. “Saya yakin, seyakin-yakinnya, persatuan Indonesia sangat tergantung kepada persatuan Islam. Kalau Islam tidak bersatu, tidak mungkin Indonesia bersatu. Oleh karena itu, perbedaan pendapat setajam apapun, kita bicarakan secara baik-baik di dalam musyawarah, dan pertemuan tertutup,” begitu kata beliau.
Memadukan Keislaman dan Keindonesiaan
Bagian pemikiran ini, merupakan yang pokok dalam bangunan pemikiran beliau. Kalau Nurcholis Majid punya gagasan Keislaman dan Kebangsaan, Syafi’ie Ma’arif dengan Islam, Keindonesiaan, dan Kemanusiaan, serta Gus Dur dengan Pribumisasi Islamnya. Gus Sholah lebih memilih memadukan Keislaman dan Keindonesiaan. Sebuah istilah yang sebelumnya tidak populer. Ilham pemikiran ini, tentunya pencapaian yang dilakukan kekeknya KH. Hasyim Asy’ari dan ayahnya, KH. A. Wahid Hasyim. Keduanya adalah pioner perpaduan antara keislaman dan keindonesiaan.
Ada pula perkataan Gus Mus dan Lukman Hakim Saifuddin yang mengatakan bahwa kita adalah bangsa Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia. Kemudian Gus Sholah merespon pernyataan itu dengan mengatakan bahwa perkataan itu tidaklah tepat, karena kita tak pernah memilih antara menjadi orang Islam atau orang Indonesia. Kita ya orang Islam, ya orang Indonesia. Keduanya tidak perlu dibenturkan dan dipertentangkan.
Bagi Gus Sholah, Kiai Hasyim merupakan tokoh pertama yang sukses memadukan keislaman dan keindonesiaan, baik melalui dirinya sendiri, putra-putranya, maupun para santrinya di Tebuireng. Seperti fatwa resolusi jihad sebagai bentuk cinta terhadap tanah air. Kemudian perjuangan di Masyumi dan Shumubu, sampai sang putra, Kiai Wahid Hasyim masuk dalam jajaran BPUPKI yang merumuskan dasar negara. Sang putra juga menyetujui penghapusan 7 kata dalam sila pertama Pancasila. Hal itu, menurut Gus Sholah, merupakan pertama kalinya Islam dan Indonesia dipadukan.
Setelah itu, Kementerian Agama didirikan. Dimunculkan madrasah-madrasah dan pendidikan Islam yang tersendiri dari pendidikan di bawah naungan Kementerian Pendidikan. Didirikan PTKIN, yaitu STAIN, yang berkembang menjadi IAIN dan UIN. Itu semua digawangi oleh Kiai Wahid. Lalu, penerimaan umat Islam terhadap Pancasila yang diawali oleh sikap NU pada 1984. Pionirnya lagi-lagi tidak jauh dari lingkaran Kiai Hasyim, yaitu Kiai Ahmad Shiddiq, salah satu santri kinasih Hadratussyaikh. Itulah yang menguatkan Gus Sholah untuk menggaungkan ulang, perpaduan indah itu, agar generasi selanjutnya tidak perlu lagi mempertentangkan keduanya.
Untuk itu, Gus Sholah mendirikan Museum Islam Indonesia Hasyim Asy’ari, agar generasi selanjutnya dapat memahami arti penting menjadi seorang muslim sekaligus orang Indonesia. Sebuah anugerah Allah yang patut disyukuri. Selain itu, Gus Sholah juga mendirikan Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari, agar dapat mentransformasikan pemikiran sang pencetus perpaduan keislaman dan keindonesiaan, Kiai Hasyim, dapat diilhami oleh banyak orang, tidak hanya santri Tebuireng, tapi juga seluruh umat Islam dan Bangsa Indonesia, agar ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah, yang rahmatan lil alamin dapat terjaga.
Satu tahun wafatnya Gus Sholah masih menyisakan duka tentunya. Tapi ada yang lebih penting dari sekadar meratapi, yaitu meneruskan, mengamati, meneliti, mengilhami, menghayati dan meneruskan ide, pemikiran, dan gagasan beliau agar tetap lestari. Gagasan yang sangat indah dan moderat untuk keberlangsungan umat dan bangsa Indonesia. Maka tugas kita sebagai santri beliau, para Gussholahian, untuk mengembangkan apa yang telah beliau mulai. Alfatihah untuk sang Guru Bangsa.
*Santri Tebuireng.