Sumber ilustrasi: media-indonesia

Oleh : Dandy A.D*

Maha Suci الله yang telah memperjalankan hambaNya pada (sebagian) malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra: 1)

Ada kata kunci menarik “diperjalankan” yang mengandung makna bahwa apapun fungsi kita dalam pentas wayang dunia fana ini, siapapun peran kita pada hakikatnya adalah sedang diperjalankanNya sebagai wayang sang Maha Dalang.

Konstruksi paradigma peradaban ummat manusia abad 21 banyak memiliki ketidakwaspadaan pada tataran kesadaran mendasar tentang “diperjalankan”. Hal tersebut banyak mengakibatkan ketidaktepatan cara berfikir dalam muatan hati untuk menempatkan akurasi koordinat dalam menjalani hidup sehari-hari di tengah gelap gulita peradaban yang semakin gila.

Manusia moderen cenderung memposisikan Tuhan sebatas sebagaimana layaknya dukun-dukun pesugihan atau pelancar usaha-usaha yang dikonsep dan direncanakan oleh manusia.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Manusia modern tidak selalu melibatkan atau memposisikan Tuhan sebagai pemilik semua saham dalam setiap jengkal kehidupan, saat rapat-rapat ketika merancang proyek-proyek eksploitasi duniawi dengan penuh gairah, kecuali disebut namanya di akhir rapat untuk disuruh melancarkan rencananya.

Sebagaimana dukun-dukun yang kita memahaminya dengan ingkung dan picisan-picisan duniawi, bedanya maharnya kalau sama dukun bernama Tuhan adalah wirid-wirid yang rutin dibaca ribuan kali dengan niat atau nafsu keinginan duniawi.

Dalam dunia pendidikan moderen yang diadopsi dari barat, Tuhan hanya dikurung dalam kotak kecil bernama mata pelajaran agama yang hanya berisi tata ibadah serta dogma-dogma agitatif. Tuhan tidak pernah dihadirkan secara konsep filsafat dalam ilmu fisika, dalam ilmu biologi, ilmu matematika, ilmu astronomi dan semua yang mereka sebut dengan pembagian mata pelajaran.

Padahal Tuhan adalah pencipta ruang dan waktu, padahal Tuhan adalah hakikat dari titik nol bilangan biner itu sendiri, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat karena ditemukannya konsep angka nol yang menciptakan triliyunan koding dalam dunia IT.

Tuhan terus bekerja sampai detik ini mengendalikan siang dan malam, mengatur orchestrasi tata surya, memutar jutaan galaksi pada orbitnya hingga tidak terbatasnya ruang alam semesta sampai paling terkecil yang tidak bisa ditangkap mata manusia, mengatur kehidupan struktur sel, mengendalikan gerak inti atom dengan sungguh-sungguh.

Ilmu pengetahuan moderen tidak memasukkan bahkan tidak mengakui tauhid ke-esa an Tuhan, karena kedangkalan dan keterbatasan cakrawala materialisme yang disombongkan. Segala sesuatu yang tidak bisa dibuktikan secara materi dianggap tidak ada, pendidikan kita adalah pendidikan atheis.

Manusia menyangka dirinya bisa mengendalikan semuanya, padahal manusia sungguh sangat tidak mampu mengendalikan irama denyut otot-otot pada jantungnya, mengatur dan mengolah makanan yang telah dimakannya, manusia tidak mampu menciptakan tai-nya sendiri! menentukan kebelet pipisnya jam berapa, sedihnya kapan, bahagianya kapan dan seterusnya dan seterusnya.

Pada hakikatnya kita semua sedang diperjalankanNya. Dalam kesungguh-sungguhan dan kesetiaan Tuhan atas segala kesombongan dan ketidaktahuan diri ummat manusia.. Manusia moderen hobinya mengkhayalkan identitasnya, menyembah branding personalitasnya dalam takhayul-takhayul sosial, dengan penuh percaya diri menganggap itu semua adalah jati dirinya.

Dunia ini gelap, peradaban kita adalah peradaban gulita dimana banyak orang kehilangan cara jernih dalam memandang, akibat tidak hadirnya Tuhan dalam paradigma kesadaran peradaban. Hal tersebut menyebabkan manusia tidak bisa memandang manusia lainnya secara jelas, tidak punya arah dalam melangkah menyebabkan saling bertubrukan satu sama lain dalam sebuah malam yang gelap.

Melalui momentum peringatan Isra’ Mi’raj, kita dapat meluruskan kembali garis lurus tauhid dari dalam poros kesadaran kita untuk menyalakan kandil tilawah jiwa, sebagai bekal menapaki isra’ di gelap peradaban abad 21, sebuah perjalanan sunyi yang diperjalankanNya.

Menyelami kesunyian, mendengarkan isi dari dari keramaian untuk membaca tanda-tanda kebesaranNya.
Membaca terus menerus untuk menemukan hakikat dari kemauanNya untuk menemukan mi’raj kontekstual yang membentang lima puluh waktu di altar cakrawala.
Hayya alal falaaah..!

*(Rangga Darmayudha Pamungkas), di emper ruang guru Al-Chodidjah, 7 Februari 2024.