Oleh: Moch. Vicky Shahrul H*
Dalam catatan sejarah, pernikahan menjadi salah satu ritual agama Islam yang sudah dimulai sejak turunnya Nabi Adam dan Siti Hawa di dunia. Pernikahan sendiri memiliki banyak manfaat. Pernikahan juga memiliki banyak tujuan. Salah satunya adalah menjaga kelestarian keturunan.
Legalitas, bahkan anjuran untuk menikah tertuang jelas di dalam al-Quran;
فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi!” (QS. al-Nisa {4}: 3)
Tidak hanya itu, catatan tindak lampah Nabi (red: hadis) juga pernah menyinggung seputar anjuran pernikahan.
مَنْ تَرَكَ التَّزْوِيْجَ مَخَافَةَ العِيْلَةَ فَلَيْسَ مِنِّيْ
“Siapapun dia yang tidak menikah dengan alasan takut miskin, maka dia bukan termasuk dari golongan kami.” (HR. Imam Dailami).
Berbicara seputar pernikahan, ada sekian kisah menarik dari ulama salaf dalam mengarungi kehidupan mereka. Khususnya ketika mereka menghadapi masa-masa pernikahan.
Salah satunya adalah kisah yang diusung Imam al-Ghazali di dalam kitab Ihya Ulumiddin. Mengisahkan salah seorang ulama salaf yang gelisah dan resah mengenai pernikahan. Kegelisahan untuk memutuskan fokus belajar, beribadah, atau menikah dengan perempuan pujaan.
Namun, sebelum itu, Imam al-Ghazali memberikan satu statement berikut,
فَمَهْمَا عَجُزَ المُرِيْدُ عَنْ غَضِّ بَصَرِهِ وَضَبْطِ فِكْرِهِ فَالصَّوَابُ لَهُ أَنْ يُكْسِرَ شَهْوَتَهُ بِالنِّكَاحِ فَرُبَّ نَفْسٍ لَا يَسْكُنُ توُقَانُهَا باِلجُوْعِ
“Tatkala seorang tidak mampu untuk menjaga pandangan, mengelola mindset, maka solusi yang benar adalah mengontrol syahwatnya dengan cara menikah. Sering kali nafsu itu tidak bisa tenang hanya dengan menahan lapar (puasa).”
Suatu hari, ada dua ulama yang sedang berdiskusi. Sebut saja keduanya Imam Ahmad dan Imam Ahmed (keduanya bukan nama asli). Tiba-tiba, Imam Ahmed bercerita mengenai masa lalunya dalam mengarungi ritual ibadah.
“Tatkala aku memutuskan beribadah dan berguru kepada ulama besar, tiba-tiba syahwatku memuncak. Aku tidak mampu untuk mengontrolnya.”
Sambil menggumam, Imam Ahmad berkata,
“Lalu apa yang kamu lakukan?”
“Akhirnya aku mengeluh kepada Allah. Aku tidak mampu dengan keadaan yang ada. Setelah itu, aku putuskan untuk tidur. Di tengah terlelapnya tidur, aku bermimpi bertemu sosok lelaki yang tiba-tiba memegang dadaku. Tangannya dingin, terasa ke sekujur tubuhku.” Jelas Imam Ahmad.
Sambil membenahi cara duduknya, Imam Ahmad melanjutkan ceritanya, “Setelah terbangun dari tidur, keresahan (mengenai gejolak nafsu) yang sedang aku rasakan, tiba-tiba hilang. Ketenangan ini berlanjut hingga satu tahun selanjutnya.”
Sambil menyodorkan kopi hangat, Imam Ahmad berkata, “Lanjutkan ceritamu!” Pinta Imam Ahmad.
“Selang beberapa waktu, keresahan yang sempat hilang, datang kembali. Aku putuskan untuk melaksanakan salat, seraya meminta pertolongan kepada Allah. Tanpa aku sadari, aku tertidur lelap. Mimpi yang hampir sama tahun lalu, mampir lagi di dalam tidurku.”
Sambil tersenyum-senyum, Imam Ahmad menyeruput kopi yang mulai terasa dingin. Tampak semangat, beliau berkata kepada Imam Ahmed,
“Ayo lanjutkan ceritamu! Aku senang mendengarnya.”
Setelah itu, Imam Ahmed melanjutkan,
“Di dalam mimpi, ada sosok lelaki yang mendatangiku. Dia menyuruhku untuk menjulurkan leher. Lalu, dia mengeluarkan pedang dari cahaya, seraya memukulkannya ke leherku. Dan di saat terbangun, keresahan yang sempat melandaku hilang seketika. Dan ini berlanjut hingga setahun lamannya.”
Imam Ahmad meneruskan, “Setelah setahun lamanya, keresahan dan kegundahan seputar gejolak syahwat kembali mendatangiku. Bahkan, keresahan kali ini begitu kuat, menyerang hatiku. Setelah merenung beberapa saat, tiba-tiba, bagaikan fatamorgana, ada sosok lelaki yang berkata kepadaku.
وَيْحَكَ كَمْ تَسْاَلُ اللهَ رَفْعَ مَا لَا يُحِبُّ رَفْعَهُ؟
“Celakalah kamu! Berapa kali kamu meminta kepada Allah untuk menghilangkan sesuatu (kegelisahan/ gejolak nafsu) yang Allah sendiri tidak suka kalau hal itu hilang?”
Dengan kepala yang sempat menunduk, Imam Ahmed berkata,
“Akhirnya aku tersadar. Kegelisahan dan kegundahan yang selama ini aku rasakan adalah tanda dari perintah Allah supaya aku cepat menikah. Aku meminta ampun kepada-Nya. Setelah itu, aku putuskan untuk mencari wanita pujaan dan menikahinya. Dari wanita itu, aku mendapat keberkahan dari Allah berupa anak yang salih salihah.”
Statement Imam al-Ghazali sebelum mengisahkan pergulatan ulama salaf di atas memang begitu bijak. Kisah di atas adalah gambaran menarik dari statement tersebut. Dari kisah itu pula, kita bisa mengambil satu pelajaran bahwa keberanian dalam mengambil suatu keputusan memang sangat diperlukan. Termasuk keputusan untuk menikah.
*Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang.