Oleh: Abror Rosyidin
Hasyim muda sejak usia 15 tahun memang pengelana ilmu sejati. Setelah dari Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan, Pesantren KH. Saleh Darat di Semarang, ia labuhkan pengembaraan ilmunya yang terakhir di Pesantren Siwalan, Sidoarjo pada 1891/1892 M.
Ia pilih ke pesantren Siwalan Panji Sidoarjo asuhan Kiai Ya’qub karena pesantren tersebut merupakan pesantren yang cukup tua di Jawa Timur dan penghasil ulama-ulama terkemuka, seperti KH. Cholil Bangkalan. Di Pesantren itu Hasyim muda yang baru berusia 20 tahun menunjukkan etika dan perkambangan keilmuan yang cemerlang. Berbudi luhur juga berotak cemerlang dan mampu menerima pelajaran dengan baik. Bahkan ia sudah menjadi daya tarik di kalangan santri lain.
Hal itu membuat Kiai Ya’qub terkesan. Muncul rasa ingin dari hati Kiai Ya’qub untuk menikahkan Hasyim muda dengan putrinya, Ning Chodijah. Ia berharap Hasyim nantinya dapat menjadi penerusnya dan membantunya mengembangkan pondok.
Ada pergolakan di hati Hasyim, jiwa mudanya yang menggelora sedang cinta-cintanya dengan ilmu pengetahuan, diminta gurunya untuk menikah. Hatinya menolak dan memberontak, karena cita-citanya masih belum tercapai, mencari ilmu seluas-luasnya. Namun, ada perempuan di sini yang kadung (terlanjur) cinta dengan Hasyim dan seorang ayah yang ingin jodoh yang terbaik bagi putrinya.
Maka, bujuk membujuk pun dilakukan oleh Sang Guru kepada santrinya. Kiai Ya’qub benar-benar telah srek hatinya memilih Hasyim menjadi menantunya. Dalam satu kesempatan Kiai Ya’qub berbicara kepada Hasyim,
“Hasyim, saya mengerti dan tahu bahwa engkau seorang santri yang benar-benar rajin dan sungguh-sungguh dalam belajar. Aku juga tahu dan mengerti bahwa sebagian dari sifat-sifatmu ialah tidak mau membantah perintah guru. Hal itu sudah saya ketahui benar-benar. Oleh sebab itu, saya berkehendak menjodohkan kamu dengan anakku, bernama Chodijah. Bagaimana pendapatmu?”
Dengan nada gugup, kaget, dan agak sedikit tidak menduga, pemuda Hasyim menjawab,
“Pada hakikatnya, belumlah ada keinginan atau hasrat dalam hati kecilku untuk beristri sebelum tercapai pantai yang kutuju dalam mengarungi samudera raksasa pengetahuan agama yang maha luas, dan dalam itu. Akan tetapi bagaimana halnya perintah kiai itu nanti, sekiranya tidak dikerjakan olehku yang dhoif ini, durhakakah aku karenanya, atau termasukkah demikian itu seorang murid yang membantah perintah guru? Andia kata agaknya ada perintah lain yang lebih berat dari itu, asal bukan perintah yang satu ini, barangkali fa insyaallah akan aku kerjakan dengan tiada bertangguh lagi?”
Gurunya mengatakan lagi untuk terus meyakinkan santrinya:
“Hasyim, anakku, soal mencari ilmu sebenarnya memang betul sebagaimana kata imam al-Mawardi dalam kitabnya Minhajul Yaqin itu, bahwa orang yang memperdalam ilmu agama adalah laksana orang yang berenang dalam lautan, kian jauh ke tengah, orang beranang di laut, bukannya tambah sempit laut itu dalam pandanganya, bahkan sebaliknya, semakin luas dan dalam. Tidak tampak olehnya pantai, dan tidak dapat pula diketahui dengan pasti, berapa lebar dan dalamnya laut kala itu, di sekelilingnya. Lagi pula tidak ada alasan yang lebih tepat bagi seseorang untuk menganggap bahwasanya perkawinannya, bahkan mengemudikan rumah tangga sekalipun, guna dijadikan sebab berhenti dari menuntut pengetahuan, asal saja dalam dada orang tadi masih menyala-nyala api semangat ingin menjadi orang besar dan berarti pula dalam masyarakat ramai kelak di kemudian hari. Dan memang hanya di dalam rongga dada calon orang besar sajalah terdapat rasa kurang puas terhadap keadaan yang sudah dicapai.”
Mendengar nasihat gurunya, Hasyim muda semakin bingung menjawab lagi. Ia mulai menyerah dan akhirnya menjawab:
“Sekiranya diridhoi oleh Kiai, karena aku masih memiliki orangtua, maka sekali lagi apabila Kiai ridho soal ini, akan aku bawa dan serahkan saja kebijaksanaan keputusan orangtuaku, bagaimana saja nanti keputusannya, aku tunduk dan tidak akan membantah semua perintah orangtuaku”
Kiai Ya’qub menimpali:
“Soal menyampaikan hal ini kepada kedua orangtuamu, itu sudah barang tentu dan pasti, hanya saja lebih dahulu saya harus memberitahukan hal ini kepadamu, karena nanti yang akan mengerjakan bukannya orang lain, tetapi kamu. Dirimu sendiri. Nah, sekarang boleh kamu kembali ke pondok, dan belajarlah dengan rajin, mudah-mudahan Allah melaksanakan maksudmu, Amin”
Kiai Ya’qub pun meminta izin kepada Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah untuk merestui pernikahan Kiai Hasyim dan Nyai Chodijah binti Kiai Ya’qub. Pasangan pengasuh Pesantren Keras Jombang itu pun mengizinkan. Maka pada 1892, Kiai Hasyim menikah dengan Nyai Chodijah binti Kiai Ya’qub.
Setelah menikah, kiai Hasyim bersama istri dan kedua mertuanya, berangkat naik haji ke Haramain. Di Mekkah, Kiai Hasyim tidak hanya naik haji tetapi juga belajar kepada ulama-ulama di sana. Berselang di sana, kabar sedih menimpanya. Kebahagiaan bisa berhaji dan istri yang hamil dinanti-nanti melahirkan keturunan, harus berakhir berbeda. Memang sang istri, Nyai Chodijah sukses melahirkan putra. Namun, nyawanya tak dapat tertolong. Kemudian, 40 hari setelah wafatnya Nyai Chodijah, putranya bernama Abdullah menyusul ibundanya. Kiai Hasyim kalut dan sedih tidak kepalang.
Kiai Hasyim memutuskan pulang ke Indonesia, tepatnya di Sidoarjo, mengantar pulang kedua mertuanya. Lalu pulang ke Keras. Berselang beberapa bulan di Jombang, hatinya sudah beranjak tenang dan mantab. Kiai Hasyim berangkat ke Mekkah lagi bersama adiknya Anis. Belajar ke Mekkah periode kedua ini, ia menetap agak lama sekitar 6-7 tahun.
*Sumber:
Bapak Umat Islam Indonesia, karya Akarhanaf (KH. Karim Hasyim), Pustaka Tebuireng, 2018
Sejarah Hidup KH. Wahid Hasyim, H. Aboebakar Atjeh, 2015, Pustaka Tebuireng.