Oleh: Ananda Prayogi*
Dewasa ini, childfree tampaknya cukup menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Terbukti, pembahasan itu muncul di berbagai platform media sosial termasuk instagram dengan jumlah pengunjung yang tinggi dan menuai berbagai komentar. Salah satunya dalam unggahan Instagram Gitasav yang mengungkapkan pernyataan terkait childfree dan menuai kontroversi pro kontra dari netizen. Sedikit banyak, tentu hal ini memiliki pengaruh terhadap kondisi sosial, budaya dan agama masyarakat. Dari adanya fenomena tersebut, bagaimana idealnya sebagai seorang muslim menyikapinya?
Childfree sendiri sebenarnya merupakan istilah yang dikenalkan oleh orang-orang Barat yang mulai digunakan pada akhir abad 20, salah satunya oleh Santi Agustinus, seorang pengikut kepercayaan Maniisme yang percaya bahwa membuat anak artinya menjebak jiwa-jiwa dalam tubuh yang tidak kekal. Istilah itu kemudian diartikan sebagai sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki anak, baik itu anak kandung, anak tiri, maupun anak angkat. Sebenarnya, istilah ini sebelumnya dikenal dengan sebutan childless, atau lebih tepatnya voluntarily childless, sebagaimana yang disebutkan oleh Kristin Park dalam artikel penelitiannya. Namun karena istilah itu dianggap memiliki makna negatif (ketidakmampuan untuk memiliki anak), maka childfree menjadi istilah yang lebih digunakan karena memiliki konotasi kebebasan dalam memilih, bukan selalu karena tidak mampu, seperti mandul.
Selanjutnya, istilah childfree menjadi populer khususnya di kalangan masyarakat Indonesia karena berbagai alasan yang ada di baliknya. Menurut pendapat pro, childfree merupakan pilihan setiap orang yang tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun karena itu merupakan hak asasi setiap manusia untuk memilih sebuah keputusan dalam hidupnya. Bahkan, childfree dapat menjadi solusi yang baik untuk memecahkan masalah personal maupun lingkungan secara luas. Beberapa contohnya, secara personal, proses mengandung, melahirkan, hingga menyusui dianggap dapat mengurangi potensi penuaan dini baik itu akibat dari proses itu sendiri maupun stres yang ditimbulkan darinya. Dalam lingkup yang lebih luas, childfree dapat menjadi solusi populasi yang overload di Indonesia bahkan dunia yang terkait juga solusi dari semakin tingginya emisi di bumi.
Pendapat yang setuju akan childfree juga memandang banyaknya homeless atau anak yang ditelantarkan orang tuanya dengan berbagai alasan di baliknya. Fenomena itu membuat pihak pro semakin membenarkan aksi ini karena dianggap dapat mengatasi resiko penelantaran anak khususnya bagi orang tua yang tidak sanggup membesarkan dan merawat anaknya dengan baik. Selain itu, masalah finansial dan mental juga sering menjadi dorongan pada seseorang untuk memilih childfree dengan anggapan bahwa pasangan yang memiliki anak – padahal mereka sendiri belum dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, merupakan orang tua yang kurang bertanggung jawab terhadap masa depan anaknya. Karena, itu artinya mereka akan menyiksa sang anak dengan penderitaan hidup yang juga sedang mereka alami.
Menurut pendapat kontra, childfree dianggap sebagai hal yang bertentangan dari kebiasaan yang dilakukan oleh manusia pada umumnya. Bahkan, sebagian pihak berpendapat bahwa pilihan itu merupakan pilihan yang melawan fitrah manusia sebagai makhluk hidup yang berkembang biak dan melanjutkan keturuan. Memiliki anak bagi sebagian orang juga menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri dan dianggap sebagai anugerah terindah dalam hidup yang tidak dapat dirasakan oleh orang-orang yang divonis mandul secara medis. Selain itu, di Indonesia khususnya, tradisi untuk segera memiliki keturunan setelah menikah dirasa cukup kuat dan bagi yang tidak mengikutinya dianggap aneh, bahkan dianggap sebagai hal negatif atau aib.
Jika dibandingkan, baik pendapat yang mendukung ataupun yang menolak childfree, keduanya memiliki sisi positif dan negatif masing-masing. Kita tidak dapat menyalahkan sepenuhnya orang-orang yang mendukung bahkan memilih opsi itu karena berbagai alasan dibaliknya yang mungkin dapat dipahami dan dibenarkan. Contohnya, sepasang suami istri memilih childfree karena mereka secara finansial belum memungkinkan untuk memiliki anak, atau karena mereka belum siap memberikan waktu dan dedikasinya untuk merawat seorang anak. Mereka juga merasa tidak tega mengorbankan masa depan anaknya dengan kurangnya kasih sayang yang diberikan dan lemahnya finansial untuk kebutuhannya sampai dia besar. Barangkali, mereka belum siap secara mental untuk menjadi orang tua, atau ingin mengurangi populasi di bumi yang sekarang ini dianggap sudah cukup padat, atau memang mereka merasa lebih bahagia dengan tidak memiliki anak yang dianggap beban. Sebaliknya, kita juga tidak bisa menyalahkan pihak kontra karena mungkin mereka memiliki alasan kuat di baliknya, seperti anggapan anak adalah sumber kebahagiaan dan bias meneruskan perjuangan orang tuanya.
Selanjutnya pembahasan yang lebih jauh, istilah childfree juga menjadi perdebatan tersendiri di kalangan pemeluk agama Islam yang notabene mayoritas di Indonesia. Pasalnya, secara sekilas banyak ditemukan dalil yang bersumber dari hadis dan pendapat ulama yang menganjurkan keluarga untuk memiliki anak. Namun sebenarnya, hal utama yang menjadi persoalan di sini adalah bagaimana batasan yang ditentukan dalam Islam terkait dengan keputusan keluarga untuk tidak memiliki anak (childfree).
Dalam Islam sendiri, sebenarnya tidak ada dalil yang melarang secara jelas seseorang untuk tidak memiliki anak. Sebaliknya, memiliki anak menjadi hal yang sangat dianjurkan oleh Nabi saw. Dalil hadis yang sering dikutip terkait adanya fenomena ini adalah hadis riwayat Anas bin Malik ra. tentang anjuran Rasulullah saw. untuk menikahi perempuan yang penuh kasih sayang dan subur agar meningkatkan kuantitas umat nabi yang dapat dibanggakan kelak. Redaksi tersebut diperkuat dengan riwayat lain yang memperingatkan untuk tidak menjadi seperti pendeta Nasrani yang tidak menikah.
Selanjutnya, ulama juga memberikan banyak komentar baik itu berdasarkan hadis, tujuan syariat (maqashid al-syari’ah), maupun dari berbagai pendapat ulama lainnya terkait pentingnya memiliki keturuan. Salah satunya, adanya poin penting dari tujuan syariat adalah menjaga keturuan (hifdz al-nasl) yang juga sebagai fitrah dasar manusia. Selain itu, al-Ghazali dalam kitabnya Ihyâ’ ‘Ulûmiddin menerangkan bahwa memiliki keturunan dengan menikah menjadi sebuah ibadah tersendiri yang juga memiliki empat manfaat penting. Pertama, mencari ridha Allah dengan menghasilkan keturunan. Kedua, mencari cinta Nabi saw. dengan memperbanyak populasi manusia yang dibanggakan. Ketiga, berharap berkah dari doa anak saleh setelah dirinya meninggal. Keempat, mengharap syafaat sebab meninggalnya anak kecil yang mendahuluinya.
Memang sejatinya, keputusan memiliki anak atau tidak merupakan hak masing-masing pasangan. Namun sebagai seorang muslim, sudah sepatutnya kita memutuskan sesuatu selain berdasarkan norma masyarakat dan aturan negara juga berdasarkan hukum yang sudah diatur dalam Islam. Jika ditinjau dari kuatnya anjuran dan keutamaan serta pentingnya eksistensi seorang anak, dan juga dalam kondisi normal tidak ada kepentingan urgen untuk childfree, maka opsi tidak memiliki anak itu hendaknya tidak dipilih (tidak dianjurkan/menyalahi yang lebih utama). Namun ketika ada pertimbangan kemashlahatan atau kepentingan yang dianggap darurat seperti tidak memungkinkan memiliki anak karena kondisi finansial yang belum siap atau karena penyakit yang dibuktikan secara medis, maka pemilihan childfree boleh menjadi alternatif.
*Santri Tebuireng.