Oleh: Albii*
Di sebuah desa kecil di Kulon Progo, suasana menjelang bulan puasa selalu terasa sangat kental. Di tengah desa itu, tinggalah Ujang, seorang anak manja yang juga nakal. Ia seringkali menjadi bahan perdebatan di antara tetangga-tetangganya karena tingkahnya yang selalu menyenangkan namun kerap membuat kacau.
Ia tinggal bersama ibunya yang bernama Inem, seorang ibu rumah tangga yang sabar namun kadang kesal dengan ulah nakal Ujang. Ayahnya Somat, adalah seorang petani yang rajin bekerja di sawah, sementara adik perempuannya yang lucu dan manis bernama Ica selalu menjadi korban ulah Ujang.
Di tengah suasana pedesaan yang penuh dengan kegembiraan menyambut bulan puasa, Ujang tetap saja sibuk dengan kisah-kisah kocaknya. Dari menggembala kambing dengan caranya yang unik hingga mencoba menjebak burung pipit dengan perangkap handmade-nya yang selalu gagal.
Meskipun suasana bulan puasa begitu kental di desa itu, Ujang tetap bersikeras untuk tidak berpuasa. Ia merasa bahwa berpuasa adalah sesuatu yang membosankan dan menghalangi kesenangannya. Sebagai seorang anak yang nakal, Ujang lebih suka menjelajahi desa, mencari petualangan, dan mencoba hal-hal baru daripada duduk di rumah dan menahan lapar dan haus.
Setiap kali ibunya, Inem, mencoba memperingatkan Ujang tentang pentingnya berpuasa, ia hanya menggelengkan kepala dengan tegas. Bahkan, ia kadang-kadang membangkang dengan bertanya, “Kenapa harus puasa? Apakah itu benar-benar penting?” Sementara ayahnya, Somat, yang berusaha memberikan nasihat bijak, sering kali hanya bisa menggelengkan kepala dan berusaha menahan marahnya melihat ulah Ujang.
Namun, Ujang bukanlah pembangkang tanpa alasan. Di balik sikapnya yang keras kepala, ia juga memiliki keingintahuan yang besar tentang agama dan tradisi. Ia seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit kepada tokoh agama di desa tentang makna sebenarnya dari berpuasa dan ibadah lainnya.
Suatu hari, Ujang memutuskan untuk menghadap salah satu ustadz di desanya, Ustadz Ahmad, yang dikenal sebagai orang yang bijak dan penyabar. Dengan wajah polosnya dan sikapnya yang berani, Ujang mengajukan pertanyaan yang membuat beberapa orang terkejut.
Ujang: “Ustadz Ahmad, saya tidak mengerti mengapa kita harus berpuasa. Bukankah lebih baik jika kita menikmati makanan dan minuman setiap saat?”
Ustadz Ahmad, dengan senyum lembutnya, mencoba memberikan penjelasan yang bijak kepada Ujang.
Ustadz Ahmad: “Ujang, berpuasa adalah bentuk ibadah yang diperintahkan oleh Allah untuk mengajarkan kita kesabaran, pengendalian diri, dan empati terhadap orang-orang yang kurang beruntung. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan menyadari berkah yang kita miliki.”
Ujang: “Tapi mengapa harus menahan lapar dan haus, ustadz? Apakah Allah tidak menginginkan kita bahagia?”
Ustadz Ahmad: “Allah ingin kita bahagia, Ujang. Namun, kadang-kadang jalan menuju kebahagiaan membutuhkan pengorbanan dan usaha. Berpuasa adalah cara untuk membersihkan jiwa dan mendekatkan diri kepada-Nya. Bagaimana kita bisa merasakan kebahagiaan yang sejati jika kita tidak pernah merasakan kesulitan?”
Ujang terdiam sejenak, merenungkan kata-kata ustadz Ahmad. Meskipun masih sulit dipahami sepenuhnya, ia mulai melihat sudut pandang yang berbeda tentang arti berpuasa.
Ujang: “Terima kasih, ustadz. Saya akan memikirkannya.”
Dengan senyum ramah, Ustadz Ahmad mengangguk dan memberikan doa untuk Ujang agar dapat memahami makna sebenarnya dari berpuasa. Percakapan itu meninggalkan kesan yang dalam pada Ujang, dan meskipun ia masih bersikeras untuk tidak berpuasa, ia mulai membuka diri untuk memahami lebih banyak tentang agama dan tradisi.
Setelah mendengar penjelasan bijak dari Ustadz Ahmad, Ujang mulai merasa sedikit luluh. Melihat perubahan ini, Pak Somat merasa lega dan tidak jadi marah pada Ujang. Sebaliknya, ia merasa bangga melihat putranya mulai membuka pikirannya terhadap makna berpuasa.
Malam itu, sebelum waktu sahur tiba, suasana di rumah mereka terasa hangat dan penuh kebersamaan. Ujang dan Pak Somat duduk bersama di meja makan, menunggu waktu sahur dengan penuh kegembiraan. Ibunya, Inem, sibuk menyiapkan hidangan untuk sahur, sementara adik perempuannya, Ica, tertidur pulas di pangkuan ibunya.
mereka pun mulai bersiap-siap untuk sahur. Ujang dengan penuh semangat membantu ibunya menyiapkan hidangan sahur, sementara Pak Somat menatap putranya dengan tatapan penuh kasih. “Ujang, aku bangga melihatmu mulai membuka hatimu untuk memahami makna berpuasa,” ucap Pak Somat dengan suara lembut.
Ujang tersenyum dan menjawab, “terima kasih, Ayah. Aku akan mencoba untuk lebih memahami lagi.” Mereka pun duduk bersama di meja makan, memulai sahur mereka dengan penuh kebahagiaan dan rasa syukur. Meskipun masih banyak hal yang harus dipelajari oleh Ujang tentang agama dan tradisi, malam itu menjadi awal dari perubahan positif dalam dirinya.
Di tengah canda dan tawa mereka, Ujang merasa hangat dengan kebersamaan keluarganya. Ia mulai menyadari bahwa berpuasa bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang menguatkan hubungan dengan Allah dan keluarga.
*Mahasiswa Unhasy.