Seorang kakek dan cucu sedang membaca buku di ruang keluarga.

21 tahun yang lalu, aku lahir di rumah yang penuh kehangatan. Ketika aku lahir, kakekku, Mansur, yang sudah cukup tua, memelukku dengan penuh kasih dan memilihkan namaku. Nama itu, Bulan, sebuah harapan dan doa darinya, untuk menjadi anak yang sukses dan menjunjung tinggi derajat keluarga kami. Aku tak mengerti sepenuhnya saat itu, namun setiap kali kakek menyebut namaku, aku merasakannya sebagai sebuah janji besar yang harus kutunaikan.

Pagi itu 21 tahun kemudian, dunia seakan runtuh ketika ibuku menelepon. “Bulan, kakek… kakek sudah tiada…” Suaranya terisak. Aku tak bisa menyangka apa yang baru saja didengarku. Dengan tergesa, aku meninggalkan kantor dan bergegas ke rumah kakek.

Sesampainya di sana, rumah kakek terasa lebih sepi dari sebelumnya. Di ruang tamu, ibu dan nenek duduk dengan wajah penuh kesedihan. Semua saudara tertunduk, dan di sana, aku merasa kesepian yang sangat dalam. Namun yang paling menggetarkan hatiku adalah melihat kakekku yang terbaring kaku.

Aku berjalan pelan menuju kamar, menatap wajah kakek yang dulu penuh semangat dan kebijaksanaan. Kini hanya ada ketenangan, tetapi ketenangan yang terasa sangat hampa. Aku duduk di sampingnya, menyentuh tangan kakek yang sudah dingin.

“Maafkan aku, Kek…” bisikku pelan, suara hampir tak terdengar. “Aku sudah terlalu lama tidak datang.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tiba-tiba nenekku, yang sudah duduk di dekatku, mengusap bahuku dengan lembut. “Kakek… kakek sudah lama merindukanmu, Bulan. Dia sering bercerita tentangmu, tentang apa yang kamu lakukan, meskipun jarang sekali kamu datang. Tapi dia selalu sabar. Dia bahkan sudah mempersiapkan diri untuk berpuasa di bulan Rajab ini.”

Aku menatap nenek dengan penuh tanya. “Berpuasa Rajab? Jadi… kakek sudah mempersiapkan semuanya?”

Nenek mengangguk perlahan. “Iya, aku sudah menyiapkan lauk sahur untuk kakekmu. Kakek bilang ingin melaksanakan puasa Rajab tahun ini. Meski usianya sudah tua, dia masih ingin beribadah sebaik mungkin. Dia juga berharap bisa merayakan bulan Rajab dengan penuh keberkahan.”

Aku terdiam mendengar cerita nenek. Di dalam hatiku, rasa penyesalan semakin mendalam. Ternyata, kakek sudah merencanakan puasa Rajab seperti biasanya, meski tubuhnya sudah sangat lemah. Aku tak sempat berbicara dengannya atau merasakan kebersamaannya di bulan penuh berkah ini.

Setelah itu, aku berdiri dan berjalan kembali ke samping tempat tidur kakek, memandang wajahnya sekali lagi. “Kek, kenapa kamu tak beri aku kesempatan untuk berbicara lebih lama?” pikirku. Di balik duka yang mendalam, ada perasaan yang tak terucapkan betapa aku sangat kehilangan sosok yang selama ini selalu memberikan arah dan doa.

Malam ini, aku merenung sendirian. Bulan Rajab yang cerah bersinar di langit, namun terasa hampa tanpa kakek. Tahun ini, puasa Rajab ini… terasa sangat berbeda. Kakek yang selalu duduk di meja makan, mengajak kami sahur bersama, kini telah tiada. Nenek akan makan sahur tanpa kakek di sampingnya. Aku sendiri pun merasa kehilangan, terutama karena aku tak sempat melakukan hal-hal kecil yang kakek sukai, seperti membawa makanan kesukaannya, pecel, rawon, onde-onde, atau sekadar duduk berbincang dengannya.

Tahun ini, puasa Rajab tanpa kakek adalah sebuah perpisahan yang tak terduga. Tanpa kakek yang selalu mengingatkan kami tentang pentingnya beribadah, tanpa nasihat yang selalu menuntun jalan hidupku, semua terasa berbeda. Rasanya puasa ini akan lebih berat, tanpa kakek di sini. Tetapi, aku tahu… meski kakek telah pergi, doa-doanya dan harapannya akan selalu hidup dalam setiap langkahku. Nama yang ia berikan padaku adalah tanggung jawab yang harus aku pegang. Tahun ini, aku akan berpuasa Rajab dengan penuh rasa syukur, dan mendoakan kakek di setiap doa yang aku panjatkan. Semoga kakek mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya.

Setelah kakek dimakamkan, setiap hari ada saja teman-teman kakek yang datang untuk takziah. Mereka datang dengan wajah penuh kesedihan, namun juga penuh penghormatan. Aku melihat betapa banyak orang yang merasa kehilangan sosok kakek.

Pada hari pertama, seorang lelaki tua yang aku kenal sebagai teman kakek sejak lama, datang dan duduk di sampingku. “Kakekmu, Bulan, adalah seorang qori yang luar biasa. Saya sudah bertahun-tahun mendengarnya mengaji, suara bacaan Qur’annya sangat merdu, mengalir dengan indah. Banyak yang belajar darinya, termasuk saya. Tapi kakek juga bukan hanya qori, dia seorang guru sejati. Mengajarkan kami tentang keikhlasan dalam hidup,” ujar pak Haji Mahmud, teman lama kakek, dengan suara penuh rasa hormat.

Hari kedua, seorang ustadz datang dari desa sebelah. “Mansur, itu kakekmu, dia tidak hanya mengajar di sekolah, tapi juga di masjid. Setiap malam, dia selalu menjadi imam, membawa orang-orang dekat dengan Allah. Dia tak pernah lelah memberi ilmu kepada siapa pun yang datang padanya. Ketika saya kesulitan menghafal, dia selalu sabar mengajari saya, memberikan semangat agar saya bisa menguasai ilmu dengan baik.”

Pada hari ketiga, datang seorang teman lama yang mengenal kakek dari masa kecil. “Mansur selalu menjadi teladan bagi kami semua. Ketika kami muda, dia selalu menjadi pemimpin di setiap kegiatan keagamaan. Dia mengajarkan kami untuk saling menghormati dan menjaga persaudaraan. Bahkan, ketika ada yang salah, dia menegur dengan lembut, penuh kasih. Dia tidak pernah menunjukkan kemarahan, hanya sabar dan bijaksana. Kakekmu benar-benar luar biasa, Bulan.”

Hari demi hari, lebih banyak cerita yang aku dengar. Setiap teman yang datang membawa kenangan indah mereka bersama kakek, yang semakin menambah rasa kagumku. Kakek yang tidak hanya dihormati karena ilmunya, tapi juga karena akhlaknya yang mulia, sifatnya yang sabar, dan kasih sayangnya yang tak terhingga kepada semua orang di sekitarnya.

Suatu hari, ketika seorang pria tua yang merupakan sahabat kakek sejak lama, menceritakan kisah yang membuatku terharu. “Mansur adalah seorang guru sejati. Bukan hanya mengajarkan ilmu agama, tapi juga tentang hidup. Dia selalu mengatakan, ‘Hidup itu untuk memberi, untuk berbagi, dan untuk membantu orang lain.’ Dan dia benar-benar menjalankan itu. Ketika ada yang kesulitan, dia selalu menjadi orang pertama yang datang, memberikan bantuan. Itulah yang membuatnya sangat dihormati oleh semua orang.”

Setiap cerita yang kudengar semakin menguatkan perasaanku. Kakekku bukan hanya seorang qori, seorang ustadz, atau seorang guru. Dia adalah teladan hidup, yang mengajarkan arti sejati dari kebijaksanaan, kasih sayang, dan ketulusan hati. Aku merasa begitu bangga bisa menjadi cucunya, meskipun aku tak pernah cukup banyak berada di sampingnya.

Namun, aku tahu satu hal kakek akan selalu hidup dalam setiap doa, dalam setiap langkah hidupku. Semangatnya untuk terus beribadah, untuk selalu memberi tanpa pamrih, itu akan terus hidup dalam diriku. Kakek mungkin tidak lagi ada di dunia ini, tetapi setiap kebaikan yang dia tanamkan akan terus berkembang. Tahun ini, meskipun tanpa kakek, aku akan berpuasa Rajab dengan penuh rasa syukur, dan mendoakan kakek yang telah memberi banyak pelajaran berharga dalam hidupku.



Penulis: Albii