sumber ilustrasi: pxhere

Oleh: Uzair Assyaakir*

Kau tak ubahnya senja yang perlahan lindap, tenggelam di sisi laut bagian barat daya, ‘kukira’. Dari yang tadinya cerah hangat jingga bernuansa merah, kini biru dingin ditelan air asin nun jauh di sana. Barangkali laut membutuhkan senyummu, biar airnya bercampur gula-gula, biar aku sedikit betah lebih lama menyelonjorkan kaki di tepi dermaga tua. Duduk di atas batuan besar, termangu seorang diri sambil sesekali menatap lantang laut bebas.

Derap kaki para nelayan lalu-lalang di belakang punggungku, sayup kudengar seruan agar aku lekas pulang, laut segera pasang. Seruan itu tak juga kuhiraukan, agaknya sang bayu memuput lagi memupus suara dari nelayan itu. Bagaimana mungkin aku bisa pulang dengan tenang jika yang kutunggu tak pernah datang. Apa kau sedang menghindar melarikan diri ke pulau seberang?.

Bersama siapa kau dibawa hilang? Apa kapal itu? Kapal yang baru saja menaikkan sauhnya.

Azan maghrib berkumandang samar-samar, angin malam menerobos jaket yang kupakai, dingin. Apa keadaan hatimu seperti suasana petang ini?.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Meski begitu, angin malam takkan sanggup memecah tekadku untuk menuliskan satu dua bait puisi untukmu. Tapi di sini terlalu gelap, tak bisakah binar matamu kau nyalakan barang sejenak saja? Aku juga meminta agar angin menjelma sebagai hangat pelukmu.

Bila kau tak keberatan, aku ingin melihat wajahmu sekelebat saja, biar jelas tiap larik yang kurangkai. Andai saja aku masih punya uang yang tersisa di saku celana, pasti sudah kupesan secangkir kopi yang disadur dari senyummu, biarlah diabetes menyerangku lantaran saduran itu.

Tempat ini sunyi, nda. Memang aku sengaja melempar diri dari hiruk pikuk kenangan kita menuju tempat paling dekat dengan haribaan alam. Harap-harap bisa kurangkum hikayat muskil berbentuk puisi tentangmu, gadis kembang bumi dengan bola mata berpendar. Tapi, pena-ku tak kunjung menari di atas kertas. Konon katanya, kepergianmu t’lah membuatnya mogok kerja.

Merasa sedikit frustasi tersebab jemari yang tak juga menulis puisi, aku berdiri, frontal kutantang laut.

“Siapa yang paling luas!? Samudramu atau kasihku padanya?”

“Debur siapa yang paling dahsyat!? Ombakmu atau kejatuhan cintaku?”

Baru kusadari, agak jauh dari sudut kiri netraku terdapat satu bohlam kuning kecil yang berpijar dengan cahaya remang. Remang seperti harapanku tentang kisah kita. Sejurus dengan itu, muncul pula bohlam kecil dari otakku, serupa ide yang mendadak membuncah, aku mulai berhasrat menulis amat banyak-sebagaimana kenanganmu yang mengganggu memekakkan telingaku dari dalam.

Lama berkelindan dengan pena, secarik kertas dan lututku sebagai alas, aku terlampau bingung bagian mana yang harus kutulis lebih dulu. Hingga malam mulai melahap separuh tubuhku. Yang tergores hanya:

“Kau tak ubahnya senja yang perlahan lindap, tenggelam di sisi laut bagian barat daya

Melahap jiwa yang kini tandus lantaran datangmu yang tak kunjung tiba…”

Nyatanya aku tak pernah selesai, alih-alih menulis puisi untukmu, aku malah menulisnya untuk diriku sendiri. Mungkin benar bahwa cinta adalah persoalan belahan jiwa. Sebagaimana aku melihatmu adalah sama dengan aku melihat diriku sendiri dengan separuh jiwa yang lain.