Problematika dunia kesehatan di tanah air menjadi diskursus utama dalam pembangunan nasional. Maju tidaknya suatu bangsa salah satunya bergantung pada sektor kesehatan publik. Tujuan meraih Indonesia Emas 2045 bisa jadi hanyalah utopia belaka apabila generasi mudanya dalam kondisi sakit-sakitan. Mempersiapkan ekosistem kesehatan nasional yang berkeadilan menjadi syarat mutlak untuk menjemput Indonesia Emas 2045 dengan gemilang.
Sudah jadi rahasia umum kita ketahui masalah di sektor kesehatan memang begitu kompleks. Semua itu memerlukan waktu, tenaga, biaya dan upaya kolaboratif untuk menyelesaikannya. Mulai dari masalah biaya pendidikan kedokteran yang sangat mahal, pelayanan sistem jaminan kesehatan nasional yang dirasa belum maksimal hingga persoalan rasio dokter yang masih jauh dari kata normal.
Pemerintah beberapa waktu lalu meresmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis berbasis Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (PPDS RSP-PU/Hospital Based). Berbeda dengan sistem pendidikan di kampus (university based), PPDS hospital based ini merupakan pembelajaran langsung dengan sistem studi kasus (case study).
Artinya dokter PPDS yang akrab disebut dokter residen akan dibimbing pengajar khusus yang sudah ditunjuk sesuai dengan program spesialis yang ada. Tujuan dari program ini untuk meningkatkan produksi dokter spesialis serta meningkatkan pemerataan distribusinya. Soal kualitas tak perlu khawatir sebab lulusannya dipastikan akan sama dengan PPDS university based, karena standarnya disusun oleh kolegium yang bersangkutan.
Pemerintah tahun 2024 ini membuka 38 kuota dengan menunjuk 6 rumah sakit pemerintah sebagai penyelenggara utama yaitu RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita: program studi jantung (6 kuota), RS Anak dan Bunda Harapan Kita: program studi anak (6 kuota), RS Ortopedi Soeharso: program studi orthopaedi dan traumatologi (10 kuota), RS Mata Cicendo: program studi mata (5 kuota), RS Pusat Otak Nasional: program studi saraf (5 kuota), RS Kanker Dharmais: program studi onkologi radiasi (6 kuota). Tahun 2025 nanti Kemenkes berencana menambah program studi dan kuota dengan melibatkan rumah sakit swasta. Pendaftaran dibuka sejak 12 Agustus – 8 September 2024 melalui laman https://ppds.kemkes.go.id/.
Namun syarat untuk lulus program ini tetap dengan melewati seleksi ketat dan diutamakan untuk calon residen yang berada di Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). Intinya lebih diperuntukkan bagi putra daerah yang berdomisili di luar pulau Jawa baik PNS maupun non PNS. Hal ini dikarenakan nantinya setelah selesai menempuh pendidikan, dokter spesialis tersebut harus mengabdi di rumah sakit daerah yang masih minim dokter spesialisnya.
Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam salah satu kesempatan menyebut bahwa Indonesia saat ini kekurangan 124 ribu dokter umum dan 29 ribu lebih dokter spesialis. Dilansir dari Kemenkes rasio dokter secara nasional saat ini 0,47:1000 jauh dari standar yang ditetapkan WHO yaitu 1:1000 atau 1 dokter untuk melayani 1000 penduduk. Hal ini menyebabkan Indonesia terjerembab pada posisi 139 dari 194 negara dunia dan posisi 9 dari 11 negara ASEAN sebagai negara dengan rasio dokter yang sangat rendah versi Katadata.
Salah satu cara mengejar rasio tersebut lewat PPDS Hospital based yang merupakan program best practice yang sudah diterapkan di beberapa negara maju seperti Amerika, Jerman dan Inggris. Melalui sistem ini Inggris bahkan mampu memproduksi 12 ribu dokter spesialis per tahun atau hampir 5 kali lipat dibandingkan dengan RI yang hanya mampu menghasilkan 2.700 dokter spesialis per tahun.
Tak Ada Bullying dan Senioritas, Yang Paling Penting Residen ‘Cuan’
Isu bullying dan senioritas di kalangan intelektual terutama dokter menjadi isu paling menyala untuk dibahas. Banyak cerita dari dokter residen yang megap-megap layaknya ikan yang sudah mendarat dari joran pancingan, tak sanggup bahkan hingga depresi ketika menempuh PPDS akibat bullying dan senioritas yang mengerikan.
Tragedi kelam ini tentunya tak akan berlaku di sektor hospital based karena aturan yang dibuat akan menegasikan itu semua. Tak ada lagi jam kerja gila-gilaan yang mengakibatkan residen depresi, tak ada lagi junior yang terzalimi apalagi menerima bullying fisik yang menyakitkan dari senior.
Poin yang terpenting adalah dokter residen nantinya akan menerima semacam gaji atau insentif selama menempuh pendidikan. Jadi, semacam calon dokter spesialis yang dikontrak dan bekerja untuk rumah sakit tersebut. Sudah pendidikannya gratis plus dapat ‘cuan’ pula, hal ini menjawab keluhan dokter residen university based yang tak menerima insentif selama menempuh pendidikan hingga akhirnya banyak yang mengalami depresi berat akibat beban kerja yang mengerikan. Selain itu calon residen hospital based akan mendapatkan jaminan kesehatan, jaminan hukum dan hak-hak lainnya. Masalah-masalah yang selama ini muncul pada dokter residen berpotensi terjawab dengan PPDS hospital based.
Secercah Cahaya Harapan
PPDS hospital based batch perdana ini memang masih dalam proses, namun ada secercah cahaya harapan bagi dunia kesehatan tanah air. Berbeda dengan university based yang siap ‘mengoyak’ kantong, PPDS hospital based ini lebih ramah kantong, ‘ramah lingkungan’ dalam artian no bullying dan senioritas hingga ramah status (tak peduli jika residen dari kaum menengah ke bawah).
Pemerintah menjamin para dokter residen tak akan mengalami penderitaan fisik selama menjalani pendidikan. Hal ini merupakan upaya pemerintah dalam menciptakan ekosistem dunia kedokteran yang lebih berkeadilan dan untuk itu wajib didukung oleh semua pihak demi mengejar defisit dokter yang sangat jomplang.
Semoga langkah ini menjadi awal pijakan kuat menuju Indonesia sehat dan Indonesia emas 2045. Aamiin…
Penulis: Muhammad Adib