Oleh: Iqbal Umam*
Akhir-akhir ini dunia sibuk mengembangkan diri guna menyambut era revolusi industri 4.0 termasuk Indonesia. Di era 4.0 masyarakat dituntut untuk menyiapkan kapasitas dan pengembangan teknologi guna turut andil dalam berjalannya era ini khususnya para generasi muda atau milenial. Indonesia yang akan mendapat bonus demografi, yakni kenaikan jumlah generasi usia produktif tentunya juga sedang bersaing untuk andil dalam revolusi industri 4.0 sekarang ini salah satunya dapat dilihat dari banyaknya startup yang lahir dari ide-ide kreatif para generasi muda.
Startup sendiri adalah perusahaan rintisan. Perusahaan-perusahaan ini sebagian besar merupakan perusahaan yang baru didirikan dan berada dalam fase pengembangan dan penelitian untuk menemukan pasar yang tepat. Startup juga memiliki tingkatan-tingkatan berdasarkan tingkat valuasinya. Dan Indonesia sudah memiliki total 4 unicorn (istilah untuk startup yang sudah memiliki valuasi sebesar USD 1 Miliar) yang berarti sudah memegang pangsa pasar terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Singapura. Tak menutup kemungkinan bahwa startup yang lain dibawahnya dapat menyusul tingakatan itu kedepannya. Munculnya startup-startup baru juga kiranya perlu disambut dengan baik karena diharapkan dapat memajukan ekonomi kreatif di Indonesia.
Melihat dari fenomena ini tentunya pesantren juga memiliki potensi yang sangat besar dalam perkembangan industri startup. Para Santri yang merupakan aset sumber daya manusia yang dimiliki pesantren juga merupakan generasi milenial dan tentunya sangat mungkin untuk dapat mengembangkan startup mereka sendiri
Diantara potensi berkembangnya industri startup di kalangan para santri yang dapat dilihat. Pertama, industri startup dapat lahir karena mereka dapat melihat sebuah masalah di lingkungan dan menawarkan solusi untuk masalah tersebut. Di dunia pesantren, tentunya memiliki problematika sehari-hari yang dialami oleh para santri. Masalah ini nantinya dapat dicari solusinya dan dapat dikembangankan menjadi sebuah bisnis startup. Yang dibutuhkan hanya kepekaan akan masalah tersebut dan cara berpikir solutif.
Kedua, banyak startup yang lahir tetapi pada akhirnya harus kandas di tengah jalan karena produk yang mereka tawarkan tidak memiliki pasar yang tepat. Tetapi di dunia pesantren ini masalah tersebut dapat diminimalisir karena jika ada startup yang lahir di kalangan santri, tentu pasarnya sudah jelas yakni kepada santri pula. Meskipun tak sesederhana itu dan tak menutup kemungkinan pula bahwa produknya dapat mencakup pasar umum.
Ketiga, ada satu hal yang dimiliki para santri di pesantren dan tak dimiliki oleh generasi muda diluar, yakni rasa solidaritas yang tinggi antar sesama. Industri startup tentunya akan berjalan baik dengan tim yang dapat bekerja sama dengan baik pula. Ini tentunya hal yang mudah bagi santri yang kesehariannya selalu bersama untuk dapat sekali lagi bersama-sama menjalankan sebuah startup.
Pemerintah juga nampaknya sudah mulai melihat potensi ini. Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (BEKRAF) melalui event Coding Mum Pesantren memberikan pelatihan coding untuk beberapa Pesantren di Indonesia, salah satunya Pesantren Tebuireng Jombang. Menurut Direktur Edukasi Ekonomi Kreatif Bekraf, Poppy Savitri menyampaikan bahwa kegiatan ini dapat menjadi trigger bagi ekosistem ekonomi kreatif khususnya pesantren untuk turut mengembangkan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan coding sehingga pesantren bisa memanfaatkan pengetahuan yang diberikan untuk meningkatkan penjualan usaha yang dimilikinya melalui pemanfaatan website atau online marketing.
Lalu apa yang bisa dilakukan pihak pesantren untuk membantu agar harapan ini terwujud? Tentunya dengan mendukung, memfasilitasi hal-hal yang diperlukan para santri untuk menuangkan ide kreatifnya. Dengan berkembangnya industri pesantren di pesantren, diharapkan tak hanya dapat membantu mengembangkan ekonomi nasional, tapi juga membantu terwujudnya industri ekonomi Islam ala pesantren di Indonesia.
*Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, alumni Pesantren Tebuireng Jombang.