KH. Maimun Zubair (Foto : Nurul F)

Joe Biden, Presiden Amerika Serikat yang menggantikan posisi Donald Trump sejak tahun 2020 lalu. Ternyata, ia merupakan salah satu politisi terkuat di dunia. Kebijakan-kebijakannya dalam memimpin negara terbukti dengan dua hari pertamanya menjabat sebagai presiden. Biden menandatangani 17 perintah eksekutif yang sebagian besar terkait dengan pembalikan sebagian besar kebijakan luar negeri Trump, terutama berkaitan dengan imigrasi.

Nah, berbicara mengenai dunia politik tak akan lepas dari pemodifikasian negara dengan upaya-upaya yang dibawa. Ambil contoh, Gus Dur. Presiden keempat Republik Indonesia yang memiliki peran untuk menjalin kerja sama dengan negara lain, menarik investasi, sekaligus mengenalkan Negara Indonesia di kanca Internasional.

Hal ini menarik. Bagaimana bisa seorang santri berhasil memimpin negara, sekaligus lolos untuk tampil eksis di hadapan berbagai pemuka dunia. Tak ayal, jika beliau mendapat berbagai julukan istimewa dari berbagai kalangan, terkhususnya etnis Tionghoa yang menyebut Gus Dur sebagai “Bapak Pluralisme.” karena sorotan beliau kepada minoritas. Beliau berhasil memadukan berbagai perbedaan. Sehingga, persatuan masih tetap utuh dan terpertahankan.

Namun, jika meninjau pada masa sekarang. Di tengah-tengah gencarnya kampanya capres, berbagai upaya dan program mulai ditawarkan. Hal tersebut membuat dunia politik semakin membara untuk meraih tahta kepemimpinan. Sehingga, dengan peristiwa demikian teringat Almagfurlah KH. Maimoen Zubair dalam dunia politik yang pernah ia singgahi.

Siapa yang tak mengenal beliau (KH. Maimoen Zubair). Ulama’ terkemuka yang dihormati dari berbagai kalangan, entah itu dari golongan tua maupun muda. Ketokohan Beliau menjadi pemimpin juga diakui dari berbagai pihak. Tidak hanya umat Islam, melainkan komunitas agama-agama lainnya pun mengakui akan kepiawaian beliau menjadi seorang pionir.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Terbukti dengan ungkapan KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), “Mbah Moen memiliki karier perpolitikan yang cemerlang. Sikap yang selalu ditunjukkan oleh Beliau adalah mengutamakan islah dan perjuangan yang luhur. Oleh karenanya, di tengah berbagai konflik politik yang pernah terjadi, Mbah Moen kerap tampil sebagai tokoh penyejuk.

Maka dari itu, lanjutnya, tokoh yang pernah menjadi anggota MPR mewakili Jawa Tengah itu layak dijuluki jangkar politik kebangsaan. Karena di lain sisi, beliau menerapkan politik yang beretika. Bandingkan sekarang, banyak politikus yang tidak beretika. Kiai Maimoen saat jadi anggota MPR dulu, identitas santrinya tidak hilang. Orang-orang tetap menghormatinya bukan hanya sebagai politisi, tetapi juga Kiai.”

Mengutip perkataan yang pernah disampaikan kepada putra beliau (Taj Yasin Maimoen), “Politik adalah salah satu jalan perjuangan amar ma’ruf nahi munkar. Baginya, politik bukanlah kepentingan sesaat, tetapi sumbangsih untuk mendialogkan Islam dan kebangsaan.”

Dalam berkiprah di dunia politik, Mbah Moen selalu mengedepankan islah dan nasionalisme. Fokusnya adalah politik kebangsaan, bukannya transaksional apalagi uang. Di samping itu, Beliau kerap menyampaikan agar selalu menghargai kemajemukan di tengah masyarakat dan menerapkan kebhinekaan di tengah peradaban. Dengan slogan khas beliau, “Bedo yo bedo, neng ojo bedo.”

Mbah Moen selama hidupnya selalu istiqomah berjuang dalam partai PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Sejak partai Islam itu terbentuk, kiprahnya di ranah politik memang identik dengan partai yang berbendera dominan warna hijau. Ketika PPP sempat dilanda konflik internal, para tokoh partai tersebut dapat berdialog dengan perantaraan Mbah Moen.

Ketika para tokoh berbicara tentang politik, tentu ada keberagaman, dan perbedaan. Akan tetapi, ketika Mbah Moen berbicara, orang-orang yang berbeda pun akan selalu segan. Karena, peran Mbah Moen sebagai penengah dilandasi pada prinsip dan sikapnya yang selalu berarah pada kepentingan umat dan bangsa, bukan sekadar egoisme golongan, apalagi pribadi. Kecenderungannya yang non pamrih merupakan teladan yang tampaknya langka dijumpai di kalangan politikus nasional.


Ditulis oleh Moehammad Nurjani, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo