Oleh: Viki Junianto*

Sebagai pilar kedua penyangga agama Islam, tidak heran hadis mendapat perhatian yang cukup besar dari kalangan umat Islam. Di nusantara sendiri, kajian hadis dimulai pada abad ke-17 M, dengan ditandai oleh munculnya sebuah kitab yang ditulis oleh Nuruddin Ar-Raniri dengan judul Hidayah al-ḥabib fi Targib wa al-Tarhib. Munculnya kitab ini seolah menjadi pita start bagi munculnya kajian kitab hadis yang lain.

Kitab Wasiyatul Mustafa, satu satunya. Sebuah kitab ringkas yang berisikan wasiyat Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kitab ini cukup digandrungi oleh muslim Indonesia karena memuat hadis-hadis yang ringkas dengan bahasa yang mudah dipahami. Hal ini dapat dilihat dengan dijadikannya kitab Wasiyatul Mustafa menjadi mata pelajaran di pesantren-pesantren dan banyak bertebarannya pengajian virtual Wasiyatul Mustafa di media sosial.

Namun di balik ketenarannya, kitab Wasiyatul Mustafa menyimpan beberapa polemik. Tercata ada 109 hadis dalam kitab ini disajikan tanpa disertai dengan sanad. Dalam kajian ilmu hadis, sanad merupakan satu barometer penting untuk menentukan apakah suatu hadis dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Dengan tidak dicantumkannya sanad, bukanlah hal yang mudah untuk mengidentifikasi kebenaran hadis-hadis yang termuat dalam kitab tersebut.

Selain polemik sanad, sampai saat ini pengarang dari kitab Wasiyatul Mustafa juga belum diketahui secara pasti. Dalam beberapa cetakan Indonesia, seperti cetakan Haramain, kitab Wasiyatul Mustafa berada di catatan kaki kitab Minahus Saniyah yang merupakan karangan Imam Sya’rani. Dengan dicantumkannya kitab Wasiyatul Mustafa di catatan kaki Minahus Saniyah muncul anggapan bahwa kitab Wasiyatul Mustafa juga termasuk karangan dari Imam Sya’rani. Namun apakah benar demikian?

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Status Hadis-Hadis Wasiyatul Mustafa

Setelah mencari menggunakan Jawāmi’ al-Kalim versi 4,5, Maktabah Syamilah versi 2.11, penulis sama sekali tidak menemukan hadis Wasiyatul Mustafa di kitab-kitab induk hadis (al-kutub al-asliyah).  Imam al-Ajluni dalam Kasful Khafa mengatakan bahwa mayoritas hadis-hadis Rasulullah kepada Sayyidina Ali adalah palsu. Imam as-Saghani dan Imam Suyuthi juga turut mengamini hal tersebut. Orang yang tedeteksi memalsukan hadis-hadis tersebut adalah Hammad bin Amr an-Nasibi.[1]

Bahkan lebih jauh lagi, Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah secara ekplisit mengkritik keras kitab Wasiyatul Mustafa,

أما هذه الوصايا المنسوبة لسيدنا علي رضي الله عنه، والمكذوبة على رسول الله صلى الله عليه وسلم، فهي مطبوعة أكثر من مرة، ولا تزال تطبع وتباع، ويتداولها المغفلون، فكاذبها آثم ملعون، وطابعها آثم ملعون، وبائعها آثم ملعون، ومصدقها آثم ملعون، قبح الله من لا يغار على دينه وإسلامه وعقله.

“Adapun wasiyat-wasiyat yang dinisbatkan kepada Sayyidina Ali RA dan kebohongan kepada Rasulullah SAW telah dicetak lebih dari sekali, dan sampai sekarang masih dicetak, dijual dan diedarkan oleh orang-orang yang lalai. Yang berdusta berdosa dan dilaknat, yang mencetak berdosa dan dilaknat, yang menjual berdosa dan dilaknat, dan yang membenarkan berdosa dan dilaknat. Semoga Allah membuat buruk orang-orang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap agama, Islam, dan akalnya”.[2]

Kitab Wasiyatul Mustafa Gubahan Imam Sya’rani?

Telah penulis singgung bahwa kitab Wasiyatul Mustafa diklam oleh beberapa pihak merupakan karangan Imam Sya’rani. Klaim tersebut muncul dari beberapa percetakan Indonesia yang meletakkan kitab Wasiyatul Mustafa di Hamisy (catatan kaki) kitab Minahus Saniyah yang merupakan salah satu karangan Imam Sya’rani.

Muhammad Muhyiddin al-Maliji penulis biografi Imam Sya’rani menuturkan bahwa di samping dikenal dengan ilmu tasawufnya, Imam Sya’rani juga merupakan pakar dalam ilmu hadis. Lantas saat melihat fakta bahwa kitab Wasiyatul Mustafa merupakan hadis maudhu’ yang dibuat oleh Hammad bin Amr an-Nasibi, apakah klaim penisbatan kitab ini kepada Imam Sya’rani yang notabene adalah ahli hadis masih dapat diterima?

Dalam kitabnya, Muhammad Muhyiddin al-Maliji juga menyebutkan kurang lebih 100 judul kitab karangan Imam as-Sya’rani. Kitab Minahus Saniyah termasuk di dalamnya. Namun al-Maliji sama sekali tidak menyebut bahwa Wasiyat al-Mustafa merupakan salah satu karangan dari Imam Sya’rani.[3]

Mengaji Hadis Maudhu Menurut Hadratusyaikh KH. Hasyim Asyari.

Sebagai ulama ahli hadis, Hadratusyaikh KH. Hasyim sangat mewanti-wanti kaum muslimin dalam menerima sebuah hadis. Di Tebuireng sendiri, Hadratusyaikh melarang pengajian kitab yang berisikan hadis-hadis maudhu’ seperti kitab Tanbihul Ghafilin dan Durratu Nasikhin. Namun beliau tidak melarang secara mutlak. Kitab-kitab tersebut boleh diajarkan hanya oleh orang-orang yang paham betul dengan ilmu hadis sehingga dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat akan kualitas hadis-hadis tersebut. Waallahu a’lam bishawab.


[1] Lihat Tadzkirah al-Huffadz Imam Fatani, 8.

[2] Lihat Tahqiq Kitab al-Mashnu’ karangan Imam Mulla Ali al-Qari, hlm 17.

[3] Lihat Manaqib Imam Sya’rani Karangan Muhammad Muhyiddin al-Maliji, hlm 67.


*Alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng