Sumber foto: https://dzikra.com/trik-trik-keluarga-bahagia/

Oleh: Nurul Insani*

“Jadi, kemana tujuanmu, Nduk?” sebuah pertanyaan terucap dari mulut Bu Suparmi, seorang perempuan paruh baya di sebuah stasiun kereta api, Stasiun Cerme. Stasiun Cerme adalah stasiun kereta api kelas III yang terletak di Desa Cerme Lor, Gresik. Stasiun yang terletak pada ketinggian +6 meter ini termasuk dalam daerah operasi VIII Surabaya. Awalnya stasiun ini memiliki tiga jalur kereta api dengan dua jalur sebagai sepur lurus. Setelah pembangunan jalur ganda selesai, bertambah satu jalur lagi di sisi utara dengan jalur tiga sebagai sepur lurus baru dan sistem persinyalan telah menggunakan sistem elektrik.

Bu Suparmi datang ke stasiun seorang diri dengan menenteng dua buah tas berukuran sedang dan sebuah tas kecil di bahunya. Kuperhatikan sekilas, dengan postur tubuh yang tak begitu tinggi, agaknya Bu Suparmi kesulitan membawa barangnya. Kutawarkan bantuan padanya untuk kemudian kuletakkan beberapa tasnya di atas kursi tunggu.

“Tujuan saya ke Sidoarjo, Bu. Hendak pulang, rindu sama orangtua dan adik. Ibu sendiri tujuan kemana?”

“Beda denganmu, Nduk. Ibu mau ke Surabaya. Nanti turun di Stasiun Pasar Turi,” samar-samar kutatap mimik wajah iba Bu Suparmi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Kebetulan sekali, Bu. Berarti kita nanti satu kereta, kereta ekonomi KRD dari Bojonegoro-Sidoarjo. Sesuai jadwal, mungkin 20 menit lagi kereta akan tiba di stasiun ini,” kilahku dengan nada suara rendah.

Dalam sepersekian detik, Bu Suparmi menatapku. Entah apa yang sedang ia pikirkan tentangku yang beberapa menit lalu baru dikenalnya.

“Ada apa, Bu?” Kucoba membuyarkan lamunannya dari menatap wajahku.

“Tidak apa-apa, Nduk. Melihatmu, ibu teringat masa muda ibu. Kalau ibu boleh tahu, tinggal dimana kamu, Nduk?”

“Saya asli Sidoarjo, Bu. Di sini saya merantau, membimbing dan mengajar anak-anak. Ada waktu libur dua hari. Sepertinya ini kesempatan saya untuk berkumpul dengan keluarga,” belum sempat kulontarkan seuntaian pertanyaan, Bu Suparmi segera melanjutkan.

“Beruntungnya kamu, Nduk. Keluarga masih utuh dan karir pun menjanjikan. Dulu, mungkin seusiamu ibu sudah harus dihadapkan dengan perceraian, berstatus janda dalam usia yang sangat muda. Terkadang ada sedikit penyesalan mengapa ibu tak menuruti titah orangtua yang menginginkan ibu agar melanjutkan sekolah, demi kebaikan masa depan.” Sepoi angin menyibakkan ujung jilbab Bu Suparmi hingga berulang kali ia pun merapikan jilbabnya. Sebagai pendengar, aku menyimak cerita Bu Suparmi dengan seksama.

“Ibu tak punya saudara sebab ibu anak semata wayang. Ayah saya kala itu seorang pegawai PPKA di stasiun ini. Sebenarnya beliau ingin masa depan anaknya lebih cerah. Tapi, ibu tak pernah sadar akan hal itu, Nduk.” Mata Bu Suparmi berkaca-kaca. Setetes buliran bening membasahi keriput pipinya. Lantas Bu Suparmi melepas kacamatanya dan mengeluarkan sapu tangan demi menghapus air mata yang tumpah ruah.

PPKA (Pengatur Perjalanan Kereta Api) adalah petugas yang mengatur perjalanan kereta api dalam suatu wilayah kerja tertentu. Seperti, pembuatan rencana perjalanan kereta api dan Gapeka (Grafik perjalanan kereta api), penentuan kereta api yang jalan, pembatalan dan pengumuman perjalanan kereta api.

“Apa yang ibu lakukan selama tak mengecap lagi bangku sekolah?”

“Ibu lebih memilih beternak. Tiap hari, ibu mencari rumput untuk memberi makan hewan ternak tetangga. Sepulangnya, ibu selalu mendapat upah dari pemilik ternak. Kehidupan ibu berjalan begitu saja hingga enam tahun kemudian, ada seorang pemuda yang meminang ibu. Sebab ia seorang pengusaha kaya raya, ibu langsung menerima pinangan tersebut selama orangtua ibu juga merestui. Kami pun akhirnya menikah dan berharap bisa merajut sakinah. Tapi harapan itu sirna. Selama 15 tahun menikah, kami sama sekali belum dikaruniai seorang anak. Suami ibu rela meninggalkan ibu.” Isak Bu Suparmi semakin menjadi. Aku tak kuasa melihat kesedihannya. Kugeser sedikit tempat dudukku, mendekat pada Bu Suparmi. Lamat-lamat kuperhatikan wajahnya sembari kupegang bahu kirinya.

“Lalu orangtua ibu bagaimana?”

“Usai perceraian, ibu kembali ke rumah orangtua. Mungkin ini garis kehidupan yang sudah ditentukan untuk ibu. Sekembali ke rumah, ayah sering sakit dan sampai hembusan napas terakhirnya pun ibu belum bisa membahagiakannya, Nduk.” Semakin Bu Suparmi bercerita kian bergetar suaranya dan berangsur kemudian Bu Suparmi membenamkan wajah di balik telapak tangannya.

“Manusia berhak berencana, Bu. Tapi kita harus tetap ingat bahwa Allah lebih berhak dari segalanya. Sekarang Bu Suparmi tinggal dimana?” selorohku sebagai rasa empati pada Bu Suparmi.

“Ibu tinggal di desa sebelah, Nduk. Tidak jauh dari stasiun ini.” Telunjuk Bu Suparmi mengarah pada hamparan sawah dan tambak di seberang stasiun.

Belum merasa puas, Bu Suparmi pun menuntashabiskan ceritanya padaku. Sepeninggal ayahnya, uang pensiunan Sang Ayah cukup kiranya sudah dihentikan oleh pihak yang berwenang. Oleh karena itu, demi menghidupi ibunya yang sebatang kara di desa, Bu Suparmi tak tinggal diam. Ia bekerja dari pagi hingga sore hari sebagai karyawan industri PT. Sumber Mas.

Adalah hal lumrah bagi manusia untuk bangkit dari keterpurukan sepanjang mengarungi kehidupan. Laksana jemari yang menulis dengan cekatan, akan terlihat lebih indah jika tiada torehan kalimat yang serupa pada hasilnya. Begitu pula dengan Bu Suparmi. Ia ingin mengubah nasib. Ia ingin menorehkan kisah hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Namun Sang Maha Segalanya berkehendak lain. Ibunya yang semakin ringkih tiba-tiba jatuh sakit. Bu Suparmi terpaksa berhenti bekerja dan memilih merawat Sang Ibu di rumah. Sekali lagi Bu Suparmi harus menerima kenyataan. Ibunya menghadap Sang Ilahi setelah empat bulan jatuh sakit. Meski dentingan air mata semakin menganak pipi, patut diakui bahwa tingkat kesabaran Bu Suparmi tinggi. Ia kuat menghadapi.

Kini Bu Suparmi hidup sendiri di tengah keramaian, menghuni sebuah rumah yang baginya hanya bisa dihuni dua orang saja setelah tragedi banjir yang menimpa desanya. Akibatnya rumah besar peninggalan orangtuanya tak lagi utuh. Apalagi beberapa petak sawah dan tambak yang juga merupakan peninggalan orangtuanya telah terbeli untuk dijadikan lahan proyek pembangunan tol. Bagi Bu Suparmi, keluarga adalah segalanya. Sekalipun harta melimpah, hidup tiada bermakna jika tiada keluarga, tempat beradu rasa dan berbagi cita.

Taraf emosi Bu Suparmi sedikit meninggi ketika ia mengaku bahwa sekali dalam seminggu Bu Suparmi pulang ke desa sekadar menengok rumah reyotnya. Di luar dari itu, setiap hari Bu Suparmi hidup di jalan. Terkadang, masjid menjadi tempat favoritnya untuk bermalam. Sebenarnya Bu Suparmi masih memiliki sanak saudara di kota tetangga, Surabaya dan Kediri. Namun Bu Suparmi enggan bertandang ke rumah mereka pasalnya Bu Suparmi terlanjur bingung menyembunyikan muka di hadapan mereka setelah mereka tahu rentetan peristiwa yang menimpa Bu Suparmi.

Peluit dibunyikan. Jam menunjukkan pukul 15.40. Pertanda kereta api KRD (Kereta Rel Diesel) Bojonegoro-Sidoarjo tiba di stasiun Cerme. Kubantu Bu Suparmi mengangkat barang bawaannya ke dalam gerbong kereta api. Lantas kami berpisah. Sesuai tiket yang kupesan, aku harus menuju gerbong 1 dengan nomor tempat duduk 28, tempat duduk yang strategis, tepat di samping jendela lengkap dengan fasilitas tusuk kontak. Sedang Bu Suparmi berada di gerbong 2. Bu Suparmi lebih memilih duduk di bawah, lesehan.

Beberapa kali kereta api berhenti di stasiun-stasiun tertentu. Stasiun Benowo, Tandes, Pasar Turi, Gubeng, Wonokromo, Waru, dan Gedangan. Aku harus menunggu 1,5 jam perjalanan untuk sampai di stasiun yang kutuju. Reaksi kantukku sungguh hebat setelah beberapa menit pandanganku tertambat keluar jendela kereta. Kuputuskan untuk membaca novel yang sengaja kubawa. Sebab kursi di sampingku tak berpenghuni, kedua kaki kuluruskan di atas kursi dan kusandarkan kepalaku pada jendela. Sungguh posisi yang kuidamkan saat membaca. Dua orang perempuan duduk di depanku kerap kali menatapku dengan tatapan heran. Aku tak menghiraukannya. Aku tetap pada posisi ternyamanku. Kudengar decap lidah seorang lelaki.

“Kaki mbak ini juga bayar toh,” katanya sarat dengan kesan sindiran. Sambil lalu, lelaki tersebut sibuk mencari nomor tempat duduknya. Dengan sedikit malu, aku pun langsung kembali pada posisi sebelumnya.

***

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.” Ibu dan ayah serempak menjawab salamku. Lalu kucium satu per satu punggung tangan kanannya sebelum kemudian ibu menyuruhku istirahat sejenak di kamar sembari menunggu waktu maghrib.

Aku berjalan menuju kamar. Kudapati adik-adikku tengah berhaha-hihi menatap layar ponsel. Keduanya terkejut saat melihatku berdiri di depan pintu kamar.

“Loh, Mbak Fatma sudah sampai,” seru adik pertamaku, Fitri. Manik matanya mengisyaratkan kegembiraan atas kedatanganku. Disusul kemudian Amir, satu-satunya adik lelaki yang kupunya bangkit dari duduknya lantas menghempaskan tubuhnya padaku. Kubalas pelukannya dengan sentuhan lembut tanganku pada pipi mungilnya. Pelukan erat darinya membuatku semakin yakin bahwa keluarga adalah kekuatan di setiap gerak dan langkahku. Juga pilar bagi hidupku. Seketika terbayang kembali olehku, sosok Bu Suparmi yang hidup seorang diri tanpa keluarga, berjalan kesana kemari tanpa tujuan yang pasti.

“Semoga kau selalu dalam lindungan-Nya, Bu,” gumamku dalam hati.

Gresik, 11 Februari 2018


*Penulis buku antologi cerpen ‘Peluang Cinta Sang Pujangga’.