Oleh: Dimas Setyawan*

Pada tanggal 28-30 Oktober 1945 adalah masa-masa bergejolaknya kota Surabaya. Kamp-kamp tentara Inggris dan tentara Gurkha yang berada di Gubeng, Ketebang kali, Darmo, Sawahan, Bubutan dan daerah pelabuhan, telah dikepung oleh rakyat Surabaya yang terbakar semangatnya. Hal demikian juga terjadi di gedung radio yang terletak di depan Rumah Sakit Umum, selanjutnya Gedung Radio tersebut pun ikut dibakar.

Bentrokan fisik antara rakyat Indonesia dengan sisa-sisa Nippon Belanda maupun sekutu (Inggris) pecah dimana-mana. Bahkan pada bulan September 1945, ketika orang-orang Belanda baru saja mendarat di Surabaya dengan kapal Inggris, Cumberlanda, arek-arek Surabaya segera menyambutnya dengan bentrokan fisik. Situasi ini menambah kegentingan yang terjadi dimana-mana.

Melihat situasi tersebut, Presiden Sukarno yang berada di Jakarta mengutus orang untuk menghadap KH. Muhammad Hasyim Asy’ari yang saat itu menjabat sebagai Rais Akbar Nahdlatul Ulama. Melalui utusan itu, Presiden Sukarno bertanya kepada KH. Muhammad. Hasyim Asy’ari “Apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam atau Al-Qur’an. Sekali lagi membela tanah air?”

Pertanyaan yang diajukan oleh Presiden Sukarno terhadap KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sebenarnya sudah terjawab dalam catatan-catatan sejarah pesantren. Sejak zaman dekam, perjuangan melawan penjajahan Portugis yang dipimpin oleh Adipati Yunus, baik yang Malaka, Ambon, sampai Sunda Kelapa, sesungguhnya telah mendapatkan dukungan dari pesantren. Dengan adanya pertanyaan tersebut, sepertinya Presiden Sukarno hanya bermaksud meminta KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dan warga pesantren untuk ikut bertempur melawan penjajah yang hendak kembali berkuasa.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Untuk merespons situasi tersebut, KH. Muhammad Hasyim Asy’ari melalui PBNU membuat undangan kepada konsul NU di seluruh Pulau Jawa dan Madura, KH. Muhammad  Hasyim Asy’ari juga langsung memanggil KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, dan para kiai lainnya untuk berkumpul di kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) di Jl. Bubutan V1/2.

Setelah rapat darurat yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah menemukan titik temu, pada tanggal 24 Oktober 1945, KH. Muhammad. Hasyim Asy’ari atas nama pengurus besar NU mendeklarasikan sebuah seruan jihad fi sabilillah yang terkenal dengan Resolusi Jihad.

Adapun isi dari Resolusi Jihad;

  1. Kemerdekaan Indonesia yang telah di proklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib
  2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan, meskipun meminta pengorbanan harta dan jiwa.
  3. Musuh-musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tugas-tugas tentara Sekutu (Amerika – Inggris ) dalam hal tawanan perang bangsa Jepang, tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.
  4. Umat Islam, terutama warga NU, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah
  5. Kewajiban tersebut adalah “jihad” yang menjadi kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam (Fardhu ‘ain) yang berada dalam jarak radius 90 KM (yakni jarak di mana umat Islam boleh melakukan Shalat Jama’ dan Qasar). Adapun bagi mereka yang di luar jarak tersebut, berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak 90 KM tersebut

Pada tanggal 09 November 1945, Inggris mengeluarkan ultimatum yang dialamatkan kepada R. M. T. A Soerjo, tertanggal 09 November 1945 dengan nomor G-512-11. Ultimatum serta instruksi Inggris berisikan:

“Bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia, termasuk pemimpin gerakan pemuda, kepala polisi dan petugas radio harus melaporkan diri di Batavia-weg menjelang pukul 18.00 tanggal 09 November 1945. Keseluruhannya harus mendekat dan berbaris satu-satu dengan membawa senjata yang dimiliki. Senjata-senjata itu, harus diletakan dalam jarak 100 yard pada tempat pertemuan semua orang Indonesia harus mendekat dengan kedua tangan diangkat diletakan di atas kepala, dan semua akan ditangkap dan ditawan. Mereka harus bersedia menandatangani dokumen berisi menyerah tanpa syarat.”

Surat ultimatum tersebut bocor dan diketahui oleh rakyat Surabaya. Maka meletuslah insiden besar tepat pada tanggal 10 November 1945. Pada hari tersebut, pagi-pagi sekali tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran, dengan kekuatan persenjataan yang sangat dahsyat. Sekitar 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang di kerahkan untuk membombardir kota Surabaya.

Berbagai kota di Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk yang tak berdosa turut menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Maka, perlawanan para pejuang, arek-arek Surabaya pun berkobar di seluruh kota.

Diolah dari berbagai sumber


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asyari