Pesantren sebagai lembaga pendidik dan lembaga sosial keagamaan dimana pengasuhnya juga menjadi pemimpin umat dan menjadi sumber rujukan umat dalam memberi legitimasi terhadap tindakan umat, sudah barang tentu, mempunyai dasar pijakan yang bersifat keagamaan dalam melakukan tindakan, utamanya dalam tindakan yang dianggap baru oleh masyarakatnya. Hal tersebut, karena watak pimpinan Keagamaan dan masyarakat pendukungnya yang fiqh oriented.
Salah satu kegiatan yang dianggap baru menurut kalangan masyarakat pesantren adalah pengembangan masyarakat. Setidaknya kalau dilihat secara kultural dari misi utama munculnya pesantren, serta porsi kegiatannya secara global, adalah dalam bidang masyrakat, meskipun sudah dilakukan, hanya bersifat sporadis.
Namun kalau pesantren ingin berhasil dalam melakukan pengembangan masyarakat yang salah satu dimensinya adalah pengemabangan semua sumber daya, maka pesantren harus melengkapi dirinya dengan tenaga yang terampil mengelola dan memang sumber daya yang ada di lingkungannya, disamping syarat lain yang diperlukan untuk berhasilnya pengembangan masyarakat. Sudah barang tentu tetap menjaga potensinya sebagai lembaga pendidikan.
Pesantren yang mampu mengembangkan dua potensinya, yaitu potensi pendidikan dan potensi kemasyarakatan maka bisa diharapkan melahirkan ulama yang tidak saja luas ilmu pengetahuan agamanya, luas wawasan pengetahuan, dan cakrawala pemikirannya, tetapi akan mampu memenuhi tuntutan zaman nya dalam rangka pemecahan persoalan kemasyarakatan.
Untuk meletakan kegiatan pengembangan masyarakat atau pembangunan dalam dimensi agama, maka terlebih dahulu perlu dijelaskan kaitan kewajiban seorang muslim yang telah siap menerima amanat atau tanggung jawab dari Allah. Untuk itu, Allah disamping mmberi ajaran yang tertuang dalam bentuk Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai pedoman hidup, maka Allah menciptakan manusia terdiri dali lima komponen, yaitu jasad, akal, perasaan, nafsu dan ruh.
Dari terkumpulnya lima komponen ini, manusia mempunyai dua ppotensi atau kemampuan, yaitu kemampuan fisik (Quwwah ‘Alamiah) atau kemampuan untuk melakukan kerja. Yang kedua kemampuan berfikir (Quwwah ‘Nadzoriyah), kemampuan berfikir ini sehat, bila akal, perasaan dan nafsu berjalan sekaligus. Berfikir tanpa menggunakan nafsu akan menjadikan seseorang lemah, sedang berfikir tanpa menggunakan akal akan menjadikan seseorang emosi.
Sesuai dengan alur pemikiran yang membagi syariah kepada empat macam hubungan manusia, maka ada baiknya diketengahkan dasar-dasar keagamaan dengan empat macam pola hubungan yang mendorong para pengasuh pesantren untuk melakukan pengembangan masyarakat.
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH
Perintah dan larangan Allah ada yang mengatur hubungan hubungan manusia dengan Allah. Dan ibadah ini adalah dua macam. Pertama, ibadah yang bersifat qosiroh, yaitu ibadah yang manfaatnya kembali pada pribadi nya sendiri. Keduanya, ibadah yang bersifat sosial. Ibadah sosial ini manfaatnya untuk menitikberatkan kepada kepentingan umum. Dalam qoidah fiqih disebutkan, ibadah yang bermanfaat kepada orang lain lebi utama daripada yang ibadah yang manfaatnya hanya kepada diri sendiri. Akan tetapi jangan disalah artikan, lebih baik kita beribadah yang muaddiyah saja, ibadah yang qosiroh kita tinggalkan.
Sedang apabila terjadi keadaan yang dilematis ta’arudh antara ibadah qosiroh dan ibadah muaddiyah, diutamakan untuk memilih mutaddiyah daripada yang qosiroh sepanjang yang qosiroh tidak fardhu’ain. Dalam kaitan ini pula perlu diketengahkan, bahkan pada dasarnya sikap manusia pemimpin akan diminta pertanggungjawaban (dihadapan Allah) seperti yang disampaikan Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadistnya, “Kamu semua adalah penanggungjawab dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipercayakan padamu.”
Sudah barang tentusetiap pemimpin diharapkan melakukan tanggungjawab yang sebaik-baiknya, sehingga orang yang dipimpin, orang yang diasuh bisa menikmati kehidupan, menikmati kemerdekaan dan sebagainya. Hadist di atas juga berkaitan dengan firman Allah, yang artinya “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman pada Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang kholifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (kholifah) di bumi itu, orang yang akan membuat kerusakan kepadanya, dan menumpahkan darah. Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau.’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui yang tidak kamu ketahui.’”
Dari sini bisa dipahami bahwa tugas kekholifahan manusia di bumi ini sebenarnya agar manusia berbuat baik di atas bumi, tidak merusak bumi. Dengan demikian, sebenarnya kuatlah dasar dan motivasi pe ngasuh pesantren untuk melakukan kerja membangun. baik Untuk dirinya sendiri, keluarganya maupun masyarakat. Sebab agama memberi wahana ibadah yang bersifat individual, di samping wahan ibadah yang bersifat sosial. Dan keduanya dalam rangka mendekatkan diri dengan Allah untuk mencari ridhoNya. Dan denga demikian bisa melakukan tanggung jawab di hadapanNya.
HUBUNGAN MANUSIA DENGN MANUSIA
Islam mengatur hubungan manusia ini, baik antara muslim dengan muslim, atau muslim dengan non muslim. Apakah antara kedua belah pihak ada hubungan kekerabatan persaudaraan, atau hubungan sosial. Untuk mendapatkan gambaran yang menyangkut perlunya perhatian dan pemecahan masalah yang menimpa umat Islam, Nabi memberikan dorongan, “Barangsiapa yang tidak memperhatikan urusan umat Islam, tidak termasuk golongan mereka.”
Untuk memberi gambaran betapa perlunya para pemimpin umat agar selalu memperhatikan nabi dan kehidupan kaum dhu’afa, ada baiknya diketengahkan surat kholifah Umar bin Khottob RA, kepada Muawiyah bin Abu Sufyan, “Hendaklah engkau takut, jangan sampai menjauhi masyarakat, dan dekati mereka yang dhoif bahkan mereka yang dibawanya, dan berilah mereka kesempatan mereka untuk berbicara, kenalilah orang asing, apabila mereka ditekan, lemahlah pemikirannya dan meninggalkan haknya.”
Kalau melihat permasalahan orang desa di sekitar pesantren pada umumnya pesantren berada di daerah pedesaan, dimana masyarakat desa itu banyak dilihat oleh permasalahan yang komplek, seperti pendapatan yang rendah, ketidakmampuan untuk membiayai pendidikan anak, ketidakberdayaan mereka untuk mendapatkan hak-hak asasi, lebih-lebih kalau mereka berhadapan dengan kekuatan yang lebih besar, mereka tak berdaya. Maka secara moral ada kewajiban bagi para pengasuh Pesantren sebagai pemimpin umat untuk memperhatikan permasalahan masyarakat.
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM
Pada prinsipnya manusia diberi kebebasan untuk berfikir tentang alam disamping memanfaatkan alam untuk kepentingan diri sendiri atau kepentingan bersama. Bahkan dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 61 Tuhan berfirman, “ Dia (Allah) telah menciptakan kalian dari tanah dan menuntut kalian membangun (memakmurkannya) diatasnya. Jelas sekali bahwa perintah disini untuk berbuat baik, bukan sebaliknya untuk melakukan kerusakan seperti yang dikhawatirkan oleh para malaikat dalam dialognya dengan Allah sewaktu proses awal penciptaan manusia. Kewajiban membangun di atas bumi yang berwajah duniawi ini sudah barang tentu perlu dilengkapi ilmu-ilmu pengetahuan dan ketrampilan pendukungnya. Sebab banyak hadist Nabi yang mengacu kesana, misalnya: “Barangsiapa yang menghendaki dunia, maka ia harus menguasai ilmunya dan barang siapa yang menghendaki akhirat, maka ia harus menguasai ilmunya, dan barangsiapa menghendaki keduanyamaka harus menguasai ilmu nya.”
Banyak persoalan yang menyangkut apa dan bagaimana hubungan manusia dengan alam semesta ini. Disamping memanfaatkan alam manusia juga dilarang memanfaatkannyas secara berlebihan. Apalagi pada saat sekarang ini,perlu disebarluaskan isu tentang lingkungan, sehingga orang memiliki kesadaran dan berperilaku sholeh yang menyangkut kelestarian, kebersihan dan kesehatan lingkungan. Kesadaran yang bertumpu kepada ajaran agama.
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN HIDUP DAN KEHIDUPAN
Banyak petunjuk agama yang mengisyaratkan perlunya menjaga keseimbangan kehidupan yang berwajah duniawi dan yang berwajah ukhrowi saja, lalu meninggalkan kehidupan yang duniawi. Sebab manusia hidup di dunia tentu memerlukan kebutuhan apa saja yang bersifat duniawi dan kalau kebutuhan ini tidak terpenuhi maka manusia yang bersangkutan tidak bisa melakukan aktifitas yang bersifat ukhrowi dengan baik. Sebaliknya seseorang pun tidak boleh mementingkan kehidupan yang berwajah duniawi lalu meninggalkan kehidupan ukhrowi.
Untuk mengisi kehidupan yang seimbang antara duniawi dan ukhrowi itu Allah lalu memberikan kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan manusia yang bersifat ukhrowi seperti yang tercermin dalam rukun Islam, disamping memberi kesempatan bahkan kewajiban untuk melakukan usaha yang berwajah duniawi. Seperti pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kehidupan Nabi kecuali sebagai pemimpin kehidupan keagamaan, juga sebagai pemimpin kehidupan masyarakat, telah menjadi bukti petunjuk untuk itu. Secara individual itu Islam juga memerintahkan untuk berusaha mencukupi kebutuhan ekonomi. Kata Nabi, “Apabila kamu telah selesai melakukan sholat fajar (subuh) maka jangan terus tidur lalu tidak berusaha menjadi rizki.” Secara ekstrim kholifah Umar bin Khotob RA berkata “Jangan sekali-sekali engkau duduk saja meninggalkan usaha mencari rizki sembari berdo’a ‘Ya Allah berilah kami rizki’ padahal engkau mengetahui bahwa sesungguhnya langit itu tidak akan pernah member hujan emas dan perak..”
Bahkan Islam melarang menganggur seperti yang disampaikan oleh sebuah hadist Nabi, “Orang yang paling berat siksanya di hari Qiyamat adalah orang yang dicukupi rizkinya tetapi menganggur.” end
KH. Sahal Mahfudz
Artikel Ini dimuat di Majalah Tebuireng Edisi 5, Oktober 1986