Perkumpulan Manajer Pendidikan Islam Indonesia (Perma Pendis) menggelar pelantikan dan pengukuhan pengurus Perma Pendis Indonesia, di Pesantren Tebuireng, Sabtu (9/2/19). (Foto: Amin Zein)

Tebuireng.online- Perkumpulan Manajer Pendidikan Islam Indonesia (Perma Pendis) melantik dan mengukuhkan kepengurusan baru di aula gedung KH. M. Yusuf Hasyim, Pesantren Tebuireng, Sabtu (09/02/2019). Dalam kesempatan ini, Gus Sholah memaparkan dualisme pendidikan di Indonesia. Pertama pendidikan agama yang berkiblat pada Kementerian Agama Islam (Kemenag), kedua pendidikan umum yang berkiblat pada Kemendikbud. Hal tersebut sempat dipermasalahkan, ada pihak yang ingin keduanya disatukan dalam RUU. Namun ditolak, karena mempertahankan dualisme.

Pengasuh Pesantren Tebuireng itu mengungkapkan bahwa pendidikan Islam dimulai satu abad yang lalu, yaitu pesantren lembaga yang didirikan oleh wali, pesantren Sidogiri, salah satu pesantren pertama yang masih ada. Saat itu juga sekolah yang dibangun Belanda berdiri, bahkan KH. Hasyim Asy’ari pernah ditawari oleh Belanda namun menolak.

“Anak-anak keluarga pesantren banyak juga yang belajar ilmu umum, sehingga lulusan Tebuireng banyak yang menjadi insinyur dan dokter. Sangat jarang yang lulus menjadi kiai. Peran pesantren menurun, tersaing oleh sekolah-sekolah negeri yang mutunya baik, karena gurunya didikan Belanda, ungkap Rektor Unhasy Jombang ini.

Menurutnya, dalam beberapa tahun, pesantren di Indonesia menuju 2020-an menginjak jumlah 29.000, terjadi proses peningkatan pesantren. Pesantren jadi pilihan tepat untuk belajar. Dualisme dipertahankan karena tidak bertentangan, justeru saling melengkapi. “Terjadi fastabiqul khoirot, berlomba-lomba dalam kebaikan,” tegas Pengasuh Pesantren Tebuireng.

Setelah sambutan dari Pengasuh Pesantren Tebuireng, kemudian dilanjutkan dengan pengukuhan pengurus baru Perma Pendis seluruh Indonesia.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Direktur Jendral Pendidikan Islam (Pendis) Kementerian Agama RI, Suyitno memaparkan bahwa problem utama pendidikan di Indonesia ialah ‘problem mutu’. “Guru seharusnya punya beberapa kompetensi, seperti pedagogik, profesional. Sistem regulasi pemerintah bersusah payah agar mutu terjaga. Materi lebih penting dari metodologi, dan konten harus dikuasai, ungkapnya.

Menurutnya, seharusnya fakultas tarbiyah (pendidikan) diisi oleh orang-orang yang benar-benar ingin berada di sana. Tidak asal. Di negara maju, menjadi guru suatu hal yang amat sangat disegani dan teristimewakan. “Jadi guru, hiduplah dengan bermutu. Kalau Anda seorang guru, ustad, maka bermutulah!” tegas Suyitno.

Ada 4 varian guru menurut hipotesisnya, lanjut Suyitno, yang pertama kategori guru passing grade 60%, kedua guru yang punya penyakit ringan passing grade 50% atau dibawah 60%. Ketiga, guru berpenyakit berat (harus di opname) passing grade dibawah 50%. Bentuk kegiatan yang harus dioptimalkan seperti, penguatan workhshop serta peran penting pendidikan profesi guru minimal 6 bulan. “Perma Pendis akan mengawal revisi RUU untuk ketenagakerjaan pendidikan guru, imbuhnya.

Pewarta: Umdatul Fadhilah
Editor/Publisher: RZ