tebuireng.online- Jombang, Seminar bertema Dialektika al-Qur’an dan Sains Menuju Pilar Kebangsaan yang Kokoh digelar di aula Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Seblak Jombang, Minggu (22/6). Kegiatan ini diikuti ratusan santri, guru dan tamu undangan.

Hadir sebagai narasumber adalah anggota MPR-RI Dr. KH. Musta’in Syafi’i, M.Ag. dan dosen Sastra Arab Universitas Negeri Malang Dr. Syafa’at, M.Ag. Sebagai keynote speaker dan membuka acara adalah wakil bupati Jombang Hj. Munjidah Wahab.

Saat memaparkan materi, Dr. Musta’in lebih banyak menjelaskan tentang berbagai keistimewaan al-Qur’an dibanding kitab suci yang lain. Namun, penafsiran yang dilakukan umat Islam selama ini masih jauh dari kata ideal. “Kadang masih banyak para kyai di sekitar kita melampaui keahliannya dalam menafsiri al-Qur’an,” ujarnya.

Jika terdapat ayat al-Qur’an membahas masalah kesehatan, lanjutnya, lebih baik ditanyakatan kepada ahlinya. Begitu juga dengan bidang fisika, kimia dan lainnya. Ini mengingat keahlian seseorang terbatas dalam disiplin ilmu.

Pria yang juga penulis buku Tafsir Qur’an Bahasa Koran ini menggarisbawahi bahwa penafsiran harus mempertimbangkan berbagai aspek. “Terutama pertimbangan tafsir yang dipakai adalah maslahah bagi umat dan aktualitas,” imbuhnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sebagai contoh adalah penggunaan lafadz hasbunallah. Lafadz ini populer di dunia ilmu kanuragan, terutama bagi para jagoan jaman dulu dalam berjuang melawan penjajah. Biasanya dibaca saat posisi terdesak. “Ini terjadi karena yang turun bukan manusia lagi, tapi Allah yang menyuruh para malaikat,” katanya.

Sedangkan Dr. Syafa’at lebih banyak memaparkan berbagai kiat dalam menghapal al-Qur’an. Alumni Madrasatul Qur’an Tebuireng ini merasa berdosa dengan kondisi umat Islam dalam memahami al-Qur’an. “Jangankan untuk menghapalnya, membaca saja di kalangan mahasiswa masih terbilang rendah,” ujarnya.

Dari pengalaman mengajar di beberapa kampus, paparnya, ditemukan lebih dari delapan puluh persen mahasiswa Islam yang belum bisa baca al-Qur’an. “Padahal usia mereka sangat produktif, berkisar antara 18 sampai 20 tahun,” imbuhnya dengan nada heran. Kondisi ini, imbuhnya, tentu akan lebih banyak lagi dijumpai di kalangan masyarakat non-mahasiswa.

Menghapal al-Qur’an, menurut Pembina Tafsir LPTQ Kota Malang ini, membutuhkan komitmen atau nawaitu yang kuat dan mulai menghapal. “Banyak orang merindukan bisa menghapal al-Qur’an, tapi belum tersampai, tapi kenapa kita yang punya waktu banyak tidak melakukannya,” katanya.

Menghapal al-Qur’an, tidak hanya memperoleh pahala. Tapi juga akan menolong kehidupan manusia. “Baik di dunia ini maupun di akherat kelak,” ujarnya. “Untuk itu, jangan tunda lagi, karena dunia kita ini penuh dengan tiba-tiba,” pungkasnya.

Ditemui usai acara, Direktur Pondok Pesantren Seblak Muhammad Hasyim menyatakan bahwa kegiatan ini digelar untuk mendorong para santri agar semakin gemar membaca al-Qur’an. “Terlebih untuk menghapal dan mengamalkan kandungannya,” ujar dosen UIN Malang ini.

Dengan santri memiliki pemahaman yang utuh terhadap al-Qur’an, maka kitab suci itu akan diletakkan pertama kali dalam sumber kehidupan keseharian. “Sehingga mereka tidak akan mudah berpaling dari ideologi Aswaja,” pungkasnya. (muk)