sumber gambar: news.detik.com

Oleh: Qurratul Adawiyah*

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah organisasi Islam besar di Indonesia yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Keterbelakangan baik secara mental maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia akibat penjajahan telah menggugah  kesadaran para pemuda untuk memperjuangkan martabat bangsa ini melalui jalan pendidikan dan organisasi. Peranan NU sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat dari masa ke masa khususnya pada masa revolusi.

Sikap dan mental perjuangan yang telah tumbuh dalam jiwa para pemuda Islam sangat mendalam, karena setelah mendapat gemblengan para ulama juga mendapat gemblengan fisik dalam latihan “Hizbullah”.

Selain itu NU pada masa revolusi memainkan peran yang sangat menonjol sebagai unsur utama laskar Hizbullah dan Sabilillah pada 1945-1949 dan sebagai pelaku utama pembunuhan terhadap orang-orang PKI pada 1965-1966. Berkat kekuatan fisiknya,  NU memainkan peranan penting dalam perubahan politik dua masa peralihan tersebut, tetapi sumbangan penting itu tidak pernah dapat diterjemahkan menjadi pengaruh nyata dalam pemerintahan, dewan perwakilan, maupun masyarakat sipil. Dua figur NU yang paling menonjol pada masa peralihan tersebut, Wahid Hasyim dan Subhan ZE.

Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia, perjuangan bangsa Indonesia tidak boleh berhenti. Tentara sekutu yang datang ke Indonesia untuk melakukan pelucutan senjata terhadap Jepang harus dilihat sebagai musuh yang akan mengembalikan Indonesia ke tangan Belanda. Tentara Inggris yang mendarat pada bulan September 1945 diboncengi oleh tentara Belanda dengan menyebut dirinya NICA (Netherlands Indies Civil Administration), dan menduduki Jakarta.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pada pertengahan bulan Oktober 1945, tentara Jepang merebut kembali beberapa kota di Jawa (Semarang dan Bandung) yang dikuasai Indonesia, kemudian menyerahkannya kepada Inggris. Pemerintah Indonesia yang telah lama diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 menahan diri untuk tidak mengadakan perlawanan dan berusaha menyelesaikannya secara diplomatik. Pemerintah tampaknya menerima saja ketika bendera dikibarkan kembali di Jakarta.

Kondisi dan kenyataan ini membuat para pemimpin Indonesia sangat marah, sehingga masyarakat berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad. Resolusi jihad NU ini meminta pemerintah Republik Indonesia mendeklarasikan perang suci.

Pasukan-pasukan non reguler seperti Hizbullah dan Sabilillah. Bahkan setelah tentara Inggris datang dari Surabaya dan diboncengi tentara Belanda pada tanggal 10 November 1945 terjadi peristiwa berdarah yang sampai sekarang diperingati sebagai Hari Pahlawan. Banyak santri dan kaum muda NU terlibat aktif dalam perang tersebut. Bung tomo yang menggerakkan massa melalui radio, meskipun tidak pernah menjadi santri KH. Hasyim Asy’ari, tetapi diketahui ia meminta nasihat kepadanya.

Nahdlatul Ulama memandang bahwa penguasa yang sah adalah pemimpin-pemimpin Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan, meskipun sebelumnya Nahdlatul Ulama mengaku bahwa pemerintahan Belanda secara de facto adalah sah dan wajib ditaati. Kemudian Jepang mengakhiri pemerintahan Hindia Belanda, dan akhirnya bangsa Indonesia memproklamirkannya kemerdekaannya dan membentuk pemerintahan sendiri. Maka ketika Belanda ingin kembali, maka menurut pandangan NU mereka adalah musuh kafir yang harus dilawan. Perang suci untuk melawan musuh ini merupakan kewajiban agama.

Menghadapi masalah ini Muktamar NU ke-16 di Purwokerto tahun 1946 mengeluarkan sebuah keputusan yang juga dikenal dengan istilah Resolusi Jihad. Kalau Resolusi Jihad yang dikeluarkan tahun 1945 di Surabaya meminta  pemerintah Republik Indonesia aktif melawan tentara sekutu yang diboncengi Belanda masuk di wilayah Indonesia, maka Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada Muktamar tersebut mewajibkan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk ikut mengangkat senjata berperang melawan musuh.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.