Diskusi Menolak Kekerasan Salik Tebuireng
Selepas diskusi (dari kiri) Habib Isa, Aan Anshori dan Pak Yu Siang (INTI Jombang)

Tebuireng.org, Jombang Dalam rangka peringati hari Hak Asasi Manusia 10 Desember 2013, Pesantren Tebuireng melalui Pusat Kajian dan Pengembangan Pesantren (PKP2) Hasyim Asy’ari bekerjasama dengan kegiatan Training Pendidikan progresif SMI (Social Movement Institute) Jogja dan SALIK (Santri Anti Liberalisme dan Kapitalisme) Tebuireng adakan diskusi dengan tema “Menolak Kekerasan”.

Acara ini dihadiri oleh tokoh- tokoh lintas agama di Jombang dan mengundang Habib Isa Al Mahdi salah satu tokoh Puger yang sempat dituduh dan menjadi korban isu kasus sektarian di Puger, dan Aan Anshori Lakpesdam NU. Diskusi ini dimoderatori oleh intelektual muda Tebuireng, Roy Murtadho.

Dalam diskusi itu Habib Isa memaparkan kronologi kerusuhan yang terjadi saat itu. Menurut Habib Isa, kasus kerusuhan yang terjadi di ditempatnya jelas berbeda dengan kasus kerusuhan di Sampang, Madura. Kasus Sampang, terjadi antara kaum Syiah dan Sunni sedangkan di Puger merupakan konflik kelompok Sunni dengan Pesantren Daruss Sholihin pimpinan Habib Ali yang dituduh berfaham Syiah.

Selain itu, kasus Puger bisa 100 kali lebih berbahaya dibandingkan dengan kasus di Sampang. Kedua kubu yang berselisih merupakan satu warga desa yang saling berdekatan jaraknya. Terlebih sikap fanatik dari pengikut kedua kubu saling kuat.

Habib Isa juga mengeluhkan kekecewaaannya kepada tokoh agama setempat karena dinilai kurang kooperatif dalam membuat fatwa. Dirinya menilai MUI terlalu dini dan kurang mendalam analisisnya saat mengeluarkan fatwa bahwa Habib Ali beraliran Syi’ah, sesat dan menyesatkan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam diskusi ini pula, Aan Anshori memaparkan bahwa konflik SARA sudah terjadi di berbagai tempat. Isu hangat yaitu kasus Sampang yang mana konflik terjadi akibat pertikaian antar paham Sunni – Syiah dan yang terkini yaitu kasus SARA Puger Jember.

Aan mengkritik dalam kasus Sampang bahwa Menteri Agama RI bertanggung jawab terhadap pernyataannya saat melakukan kunjungan kasus Syiah Sampang .

Dalam kesempatan tersebut, Menteri agama meminta masyarakat Syiah untuk mencari kesepahaman yang sama agar kembali ke Sunni (NU). Hal ini tentunya merupakan bentuk pemaksaan keyakinan beragama secara halus terhadap masyarakat Sampang yang berafiliasi dengan Syiah.

Di Omben, mereka dipaksa untuk menandatangani untuk berpindah keyakinan sehingga bisa masuk daerah Omben dan diterima oleh masyarakat yang mayoritas Sunni.

Dalam kesempatan ini, menurut aktifis yang aktif dalam Jaringan Islam Anti Diskriminasi dengan tema “Menolak Kekerasan” sebagai muslim khususnya Sunni perlu paham dan perlu mengetahui lebih jauh bagaimana awal konflik yang terkait dengan isu SARA ( Suku – Ras – Agama).

Bagaimana NU terkadang dibenturkan dengan konflik-konfilik di daerah. Hal ini agar masyarakat mengerti dan memiliki basis teologi yang mumpuni sehingga tidak membabi buta menghukumi suatu kasus tanpa adanya Tabayyun terlebih dahulu.

Selain itu, pemerintah (Presiden) bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan yang berujung pada konflik berkepanjangan. Pemerintah dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap tiap tindak kekerasan yang menimpa warganya.

Aan beranggapan presiden saat lakukan kunjungan ke Sampang untuk melihat rekonsiliasi tidak menyertakan pengungsi/pendamping dari komunitas syiah.

Presiden seharusnya memahami pesan presiden AS Eisenhower saat melakukan perlindungan rakyatnya dalam kasus “Little Rock Nine” terlepas dari kebijakan luar negeri Eisenhower./lutfi/aul