Alina Suhita, tokoh dalam Novel Hati Suhita.

Oleh: Indah Nailaatur Rahmah*

Bermula dari sebuah novel karya Khilma Anis dengan judul “Hati Suhita”, kemudian difilmkan dan cukup mendapatkan sambutan luar biasa dari masyarakat. Film yang mengangkat kisah seorang perempuan yang selalu berusaha dan bertahan dengan prinsip mikul duwur mendem jero (menjunjung tinggi derajat dan menutupi kekurangan), sukses menciptakan suasana bahagia, sedih, haru yang dikemas dalam alur kisah yang sangat luar biasa. Film ini memiliki banyak nilai dan hikmah yang dapat kita ambil dari setiap scene cerita di dalamnya.

Dalam perjalanan kisah Alina Suhita, ia berada dalam pikulan tanggung jawab sebagai menantu kiai sekaligus penerus pesantren Al-Anwar. Alina dipertemukan dengan putra kiai yang berbanding jauh terbalik dengan harapan orang tuanya, Gus Biru. Sosok aktivis sosial yang hari-harinya dipenuhi dengan menyuarakan hak rakyat, kesetaraan perempuan, penulis buku, pemilik percetakan sekaligus pemilik cafe yang dunianya diisi para pemuda dan pemudi yang sedang  mendiskusikan suatu pemecahan masalah atau satu projek ke projek yang lain.

Belum lagi sosok Gus Biru yang memiliki pujaan hati di masa lalunya, yakni Ratna Rengganis, sosok perempuan yang membersamai perjalanan hidup Gus Biru dari awal hingga lelaki yang penerus pesantren itu memiliki usaha kafe dan berbagai lainnya.

Film Hati Suhita yang diangkat dari novel best seller karya Khilma Anis.

Menikah adalah Separuh dari Agama

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Begitu pahit kisah Alina Suhita dan Gus Biru, bertahan hidup dalam pernikahan yang tidak diinginkan, hadiah bulan madu dari mertua pun malah berbuah tuduhan pahit yang menyesakkan hati Alina Suhita, akan tetapi bagi Alina Suhita, “pernikahan itu adalah amanah”  sebagaimana terdapat dalam sebuah hadist:

اِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ, فَقَدِسْتَكْمَلَ نِصْفُ الدِّيْنِ, فَلْيَتَّقِ اللَّه فِيْمَا بَقِيَ

“Apabila seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agama (Din), dan bertakwalah kepada Allah dalam (separuh) yang sisa.”

Kata din dalam teks hadist tersebut memang memiliki arti agama, tetapi bukan bermakna seluruh ajaran agama. Menikah tidak menjadi separuh dari seluruh ajaran agama, kata din dalam teks hadist tersebut bermakna ajaran-ajaran agama terkait akhlak mulia tentang relasi pernikahan.

Dalam pernikahan yang didasarkan oleh nilai Al-Qur’an, sebuah pernikahan harus adanya nilai saling berbuat baik satu sama lain (mu’asyarah bi al-ma’ruf) dan nilai akhlaq mulia (makarim akhlak). Inilah yang di beri makna timbal balik antara suami dan istri menjadi pribadi penuh rahmah baik dalam memperlakukan dirinya maupun orang lain, mulai dari relasi eksistensial (memandang diri sendiri), relasi marital (antara suami dan istri), relasi parental (antara orangtua dan anak), relasi familial (antara anggota keluarga), relasi sosial (antara anggota masyarakat), maupun relasi ekologi (antara manusia dan semesta), dan dapat mencapai keridaan Allah.

Sekalipun sosok Alina Suhita adalah idaman sekaligus harapan besar bagi mertuanya untuk menjadi penerus utama pesantren, hal itu tidak menjadikan kecondongan Alina dalam bertahta melampaui kuasa Gus Biru, dalam sebuah pertimbangannya untuk menata sistem di pesantren, Alina tetap ingin mendiskusikannya dengan Gus Biru, dengan keteguhan hatinya Alina terus mencoba untuk membuka hati Gus Biru terhadapnya, walaupun seringkali dibuat sakit oleh Gus Biru dengan tidak dapat hilangnya mata batin Gus Biru terhadap sosok Rengganis.

Citra Kepemimpinan Seorang Perempuan

Tidak ada perbandingan yang jauh antara Alina Suhita dan Ratna Rengganis, keduanya memiliki potensi yang luar biasa dalam menyuarakan hak-hak perempuan, menjadi panutan para perempuan yang suaranya masih banyak terbungkam, berangkat dari latar yang seperti itulah menjadikan keduanya memiliki emosional yang baik, tidak ada saling menjatuhkan satu sama lain.

Rengganis yang aktif mengisi workshop dan menuliskan hak dan perjuangan seorang perempuan dan Alina Suhita penerus pemimpin Pondok Pesantren Al-Anwar. Dari kisah ini dapat kita petik hikmah pentingnya mengendalikan ego yang tinggi dan memfokuskan diri pada potensi masing-masing sesuai dengan passionnya.

Menjalani Takdir karena Allah

Kisah ini menyuguhkan hiruk pikuk kisah rumah tangga Alina Suhita dan Gus Biru, tapi tidakkah kita melupakan bagaimana sosok Rengganis yang harus mengikhlaskan masa lalu indahnya bersama Gus Biru. Tidak ada pemain antagonis di dalamnya, dan itulah salah satu sisi menarik dari film ini, jangan lupakan juga tokoh Kang Dharma yang cintanya bertepuk sebelah tangan dengan Alina Suhita yang akhirnya memutuskan kembali berlabuh pada perahu utamanya yakni Gus Biru.

“Gapapa senajan ditinggal ya nduk yaa, kalau kita legowo itu berarti kita yang menang melawan kenangan, menang melawan perang di dada kita sendiri, karena kenangan itu bukanlah sebuah kutukan, tapi kenangan itu adalah sumber kekuatanmu.” Nasihat Khilma Anis untuk Rengganis yang menyimpan makna bahwa sekuat apapun kita berusaha  jika Allah berkehendak lain maka kita hanya dapat bertawakal dan berserah diri kepadanya, karena kita tidak pernah tahu skenario apalagi yang Allah siapkan bagi kita ke depannya.

*Mahasantri Tebuireng.