sumber ilustrasi: sindonews

Oleh: Ibnu Ubaidillah*

Kaum perempuan merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang sangat memperhatikan penampilan. Untuk tujuan tersebut perempuan berusaha tampil lebih baik di depan umum. Demi tujuan itu semua, salahsatunya dengan menggunakan parfum atau minyak wangi. Memakai parfum pada dasarnya baik, karena membuat lebih harum dan menyenangkan. Berparfum menjadi diharamkan hanya ketika dimaksudkan untuk menjerumuskan dan mendorong orang lain kepada perbuatan dosa dan haram, bisa dilakukan laki-laki maupun perempuan.

Dalam cara pandang yang tidak menggunakan cara mubadalah, perempuan selalu dianggap buruk dan salah. Jika perempuan berparas cantik, berpakaian bagus, baik hati, murah senyum, banyak membantu, melayani orang, ketika Ia keluar rumah dianggap sebagai fitnah, mempesona dan menggoda. Dan itu semua dosa. Namun, jika ada perempuan yang tidak memiliki wajah cantik, buruk rupa, Ia akan dianggap sebagai sumber kesialan yang harus dikutuk dan dijauhkan.

Perempuan berparfum dan memakai wangi-wangian akan dianggap salah karena berpotensi menggoda. Sementara ketika tidak memakai parfum, sehingga bau badannya mungkin menguar (tiadak sedap), dianggap tidak sopan, tidak berbudaya dan kekinian. Sebagaimana di zaman sekarang perempuan sangat ingin sekali tampil menarik oleh lawan jenisnya yang mana dia tidak tahu akibat dari perbuatan tersebut.

Salah Paham Soal Perempuan Berparfum sebagai Pelacur atau Pezina

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam dunia yang serba digital dan semakin canggih manusia selalu berlomba-lomba tampil cantik, ganteng dan modis. Tetapi, berbeda dengan perempuan dizaman sekarang ini yang selalu ingin terlihat menarik didepan umum bahkan sampai menggunakan parfum yang banyak ketika ingin keluar rumah, kampus, sekolah, maupun pasar. Kenapa?  Karena dianggap agar lawan jenisnya mendekatinya dan tertarik akan kepesonaan perempuan tersebut.

Seperti yang kita ketahui dalam kitab sunan An-Nasa’i, kitab al-zinah, no. 5126 tentang larangan memakai parfum:

أَخْبَرَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ مَسْعُودٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ قَالَ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ وَهُوَ ابْنُ عِمَارَةَ عَنْ غُنَيْمِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

“Telah mengabarkan kepada kami Isma’il bin Mas’ud ia berkata, telah menceritakan kepada kami Khalid, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Tsabit -Yaitu Ibnu Umarah- dari Ghunaim bin Qais dari Al Asy’ari, ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapapun perempuan yang memakai minyak wangi, kemudian melintas pada suatu kaum agar mereka mencium baunya, maka ia adalah seorang (seperti) pezina.”

Teks riwayat Imam Ahmad juga sama, memakai kata zaniyah (no. 19711). Begitu pula Imam Tirmidzi dalam bab kemakruhan keluar perempuan dengan memakai wewangian, juga dari hadits Abi Musa al-Asy’ari dengan marfu’ kepada Rasulullah, beliau bersabda:

كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ، وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِيَ كَذَا وَكَذَا “. يَعْنِي زَانِيَةً

(setiap {kebanyakan} mata melakukan zina, dan perempuan jika ia memakai minyak wewangian kemudia lewat disuatu majlis maka iya akan begini dan begini. no. 2786). Imam Ad-darami (no. 2688). Imam Abu-Daud (no. 4173) malah lebih samar dengan kata “maka perempuan itu adalah ini dan itu, sebuah pernyataan yang cukup keras”, sebagai ganti kalimat “maka ia (seperti) pezina”.[1]

Syekh Nawawi Banten menjelaskan kata zaniyah (penzina atau berzina) dalam  syarah ‘Uqud al-Lujjayn, dengan kalimat: “ia seperti pezina, atau mendapatkan dosa pezina, sekalipun tentu berbeda (dari dosa pezina sebenernya), seperti juga hadits bahwa mata yang melihat hal yang haram dianggap berzina.”[2]

Artinya merujuk pada pernyataan Syekh Nawawi, perempuan yang melakukan perbuatan tersebut dikatakan pezina. Ia tetap akan memperoleh dosa zina. Akan tetapi, masih ditingkat lebih rendah dari zina hubungan seks. Ungkapan ini serupa dengan Hadits yang menyatakan mata juga berzina ketika melihat yang haram, tangan juga berzina melakukan hal-hal yang haram, kaki berzina ketika melangkah ke hal yang haram (Musnad Ahmad, no.8644).

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-tirmidzi dia tas masih dalam pengertian umum (muthlaq), sementara hadits yang diriwayatkan oleh Ghunaim bin Qais dari Al Asy’ari dengan lafadz [لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا ] ini menunjukan makna yang dikhususkan (muqoyyad). Akan tetapi, kedua hadits diatas memiliki tujuan yang sama. Karena itu pengertian yang umum (mutlaq) harus dipahami dengan mengaitkannya dengan pengertian yang khusus (muqoyyad), sebagaimana kaidah ini telah menjadi keharusan dangan kesepakatan (ijma) mayoritas ulama, supaya kita terhindar dari konfrontasi dengan kesepakatan (ijma) mayoritas ulama tersebut. Karena tidak ada para ulama satupun  yang mengatakan haram seacara mutlak bagi seorang perempuan keluar rumah dengan memakai wewangian.[3]

Makna Mubadalah dari Hadits Perempuan Berparfum sebagai Penzina

Untuk itu, hadits tentang perempuan berparfum ini harus dimaknai secara holistik sebagai peringatan mengenai pergaulan sosial sehat dan tidak sampai menjerumuskan pada perbuatan haram. Ketika sesuatu yang baik dan sehat, akan tetapi, dilakukan dengan tujuan lain atau lebih (haram), ia akan haram. Demikian ini, dalam ushul fikh disebut dengan sadd al-dzara’i atau menutup jalan keburukan. Logika berpikir ini berlaku umum, baik untuk laki-laki ataupun perempuan. Sungguh tidaklah tepat jika hanya menyasar pada perempuan belaka. Syekh Iman al-Ghozali, Syekh Yusuf al-Qardawi, dan Abu Syuqqah termasuk para ulama kontemporer yang menyesalkan masifnya penggunaan logika sadd al-dzara’i ini untuk menghambat aktivitas perempuan.

Perempuan yang memakai wewangian atau parfum pada dasarnya adalah suatu yang baik dan dianjurkan oleh Islam. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw. Terkenal menyukai parfum dan wewangian. Dan ada salahsatu hadits yang mana cukup populer adalah bahwa “Allah itu suka indah dan mencintai keindahan”.

و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ دِينَارٍ جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى بْنِ حَمَّادٍ قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ حَمَّادٍ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبَانَ بْنِ تَغْلِبَ عَنْ فُضَيْلٍ الْفُقَيْمِيِّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Artinya: Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsanna dan Muhammad bin Basysyar serta Ibrahim bin Dinar, semuanya dari Yahya bin Hammad. Ibnu al-Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hammad, telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari Aban bin Taghlib dari Fudlail Al-Fuqaimi dari Ibrahim an-Nakha’i dari Alqamah dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan.” Ada seseorang yang bertanya, “Bilamana seseorang ingin berpenampilan bagus dengan baju dan sandalnya (apakah termasuk dari kesombongan)?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan cinta terhadap keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (Kitab Shahih Muslim)

Teks hadits ini, sekalipun menggunakan struktur bahasa laki-laki dan tentang seseorang laki-laki, berlaku umum karena tentang ajaran umum, yaitu bersikap baik dan berpakaian indah secara wajar dan sopan. Dalam sebuah relasi sosial, sikap ini sangat diperlukan dari laki-laki dan perempuan ketika mengemban kerja kekhalifahan bersama mandat untuk memakmurkan dan menghadirkan segala kemaslahatan di muka bumi ini.

Dalam memakai wewangian ataupun parfum jikalau tujuan nya berbeda atau dengan tujuan menggoda orang lain agar mealakukan perbuatan haram, ia akan dihukumi dosa dan menggunakan parfum menjadi haram. Hadits larangan memakai parfum dalam perspesktif Mubadalah, juga berlaku bagi laki-laki.

Artinya, hadits ini menyasar siapa pun, laki-laki maupun perempuan, yang melakukan tindakan menebar pesona, seperti memakai parfum ataupun yang lain, untuk menjerat orang dan menjerumuskan nya pada dosa zina. Sehingga tidaklah tepat jika Hadits ini digunakan untuk membesarkan narasi untuk terus menyasar perempuan dengan mendaftar dosa-dosanya ketika tampil di publik.

Sementara kaum laki-laki diberika keleluasaan yang paripurna, tanpa ditakut-takuti dengan dosa-dosa ketika kaum laki laki-laki tampil di publik. Sekalipun pada praktiknya banyakan kaum laki-laki yang melakukan ranah publik, akan tetapi tidak pernah dosa-dosa in digunakan sebagai dasar untuk melarang mereka untuk beraktifitas di ruang publik.

Demikian juga seharusnya perempuan dengan mengunakan penampilan baik dan dan sikap yang di depan publik sebagaimana sudah di syariatkan untuk perempuan ataupun laki-laki ketika keluar di rumah, hal ini seperti yang telah di jelaskan dalam buku Perempuan Bukan Sumber Fitnah karya Faqihuddin Abdul Kodir.

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari.

[1] Maktabah syamillah (aplikasi)

[2] Muhammad bin ‘Umar al-Nawawi, Syarah ‘Uqud al-lujjayn fi Bayan Huqquq al-Zawjayn, (Semarang: Maktabah Karya Toha), hal.14.

[3] Nahdatul-ulama.org