sumber ilustrasi: ayosemarang

Miris, begitulah kiranya kesan yang didapat ketika membaca novel ini pertama kali. Bukan novel ini yang miris, akan tetapi konsep manusia yang digambarkan dalam cerita ini. Novel ini bertajuk kritik sosial, dimana keburukan manusia baik laki, maupun perempuan ditelanjangi dan dipermalukan di khalayak.

Selain itu kita juga dihaturkan perspektif lain bagaimana doktrin agama itu dilihat dari sisi berbeda. Tidak hanya itu, kita juga diperlihatkan bagaimana sebenarnya entitas perempuan di dunia ini. Bagi saya buku ini begitu luar biasa. Ia mampu membuka cakrawala berpikir dari arah gelap, serta mengungkap keimanan dari sisi berbeda.

Cerita bermula dari seorang mahasiswi cantik dan labil. Gadis tersebut mengalami pergolakan pemikiran yang langsung tertuang dalam setiap gerak langkah hidupnya. Perempuan tersebut tidak hanya bergejolak secara idealisnya saja, akan tetapi tindak-tanduknya juga selaras dengan ideologinya. Nidan Kirani, nama tokoh cantik tersebut, sekaligus dia jugalah yang menjadi aktor utama cerita ini.

Kiran (panggilan akrabnya) adalah mahasiswi yang tinggal di pesantren mahasiswa, Pondok Ki Ageng. Kiran juga merupakan sosok yang taat menjalankan berbagai ibadah dalam islam, mulai dari perkara wajib, hingga urusan sunah semua dilakukannya. Selain itu, kiran juga merupakan sosok yang sangat aktif dan selalu haus akan pemahaman tentang agama.

Hingga suatu saat, satu pergolakan pemikiran masuk ke dalam kepalanya dan mengarahkan ketaatan dan ketekunan dalam memeluk agama islam ke arah satu golongan yang bercita-cita tegaknya negara islam di Indonesia. Gadis polos itu diajak untuk berdakwah dan menyebarluaskan visi tersebut kepada masyarakat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Waktu itu malam minggu di masjid di tengah kampung. Sebelumnya orang kampung kaget, khususnya para remaja, ketika melihatku tampil dengan pakaian jubah besar hingga menyentuh tanah. Aku diberi tugas untuk memberikan siraman rohani kalangan remaja.”(Hal 70)

Musim berganti, jiwa kritis gadis itu tetap saja tidak berkurang. Ajaran agama yang ia terima ini sama tidak menjawab pertanyaan terhadap ajaran ini dengan logika, semua dibenturkan oleh dogma dan agama. Terutama membicarakan tentang jaringan jamaah ini. Tidak ada yang pasti.

Dari kekecewaan inilah, Nidah Kirani membanting pikirannya ke arah berlawanan. Ia menjadi sosok pengutuk agama. Bukan lagi gadis muslimah yang taat. Berbagai dunia gelap ia selami, hingga tampaklah semua sifat binatangnya manusia.

Lalu, doktrin agama bukan membersihkan noda gelap kiran, sebaliknya agama dan doktrinnya mengutuk dan merendahkan sisi tabu kiran itu. Sudahlah luka, bukannya diobati, malah disiram dengan air garam.

Betapa mirisnya. Antara manusia, doktrin agama, dan perempuan, ternyata sisi-sisinya berduri tajam. Artinya semua tampak baik-baik saja, seolah ditutupi, padahal hanya kulit luar saja yang bersinar, inti sarinya adalah gelap dan kebengisan.

sumber gambar: shopee

Judul: Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, Memar Luka Seorang Muslimah
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: ScriPtaManent
Cetakan: 22 Maret 2021
ISBN: 979-99461-1-5
Pengulat: Rizal