Oleh: Nurul Insani*
Terhitung lebih dari dua tahun kulalui hidupku di rumah kontrakan. Rumah besar di sebuah jalan raya Cerme. Tepatnya di sebelah kanan jalan menuju jembatan Sungai Lamong. Konon wilayah sekitar jembatan ini sering terjadi banjir karena air dari Sungai Lamong yang tidak bisa mengalir lancar ke laut. Seperti kebanyakan rumah yang berjajar di sekitarnya, rumah kontrakan ini bercat putih, berpagar hijau dengan hiasan bunga di halaman. Rumah kontrakan yang tak pernah sepi ini juga berhias tawa dan canda oleh delapan orang penghuni. Sebabnya, aku betah di sini. Meski nyatanya beragam usia bisa dijumpa di dalamnya, semua hidup rukun, saling toleransi, dan juga menghargai, terutama pada yang lebih tua sepertiku dan Bu Ningsih. Di rumah kontrakan, baik Bu Ningsih maupun teman yang lain biasa memanggilku Sani. Padahal di awal, kuperkenalkan diriku sebagai Nurul. Nurul Insani.
Telah kutempuh hari-hariku bersama Bu Ningsih, pemilik bulu mata lentik dan kulit putih. Sosok pekerja keras yang tak kenal lelah ini berhasil menggaet prestasi sebagai guru teladan di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan. Selain menjadi guru, Bu Ningsih merangkap menjadi seorang dosen di Universitas Muhammadiyah. Pagi saat seperempat matahari terlihat dari ufuk timur hingga hampir menjelang larut malam, Bu Ningsih rela membanting tulang demi keluarga. Sekalipun derasnya hujan menghalangi langkah, ia pun tak pernah goyah.
Ketika libur mengajar, seringkali kudapati Bu Ningsih duduk di teras rumah kontrakan sendiri tanpa ingin ditemani. Jemarinya memutar biji tasbih diiringi kecamuk lirih. Seperti sedang berdzikir. Dengan begitu, ia pun menemukan kedamaian dalam hati.
Tingkahku menunjukkan rasa penasaran yang tinggi tentang Bu Ningsih. Oleh karenanya, kuberanikan diri perlahan melangkah mendekati Bu Ningsih. Mulanya, aku sedikit canggung dan takut sebab raut wajah Bu Ningsih seakan tak bisa bersahabat. Namun setelah kulakukan pendekatan padanya dengan kuajukan beberapa pertanyaan terkait teknik mengajar Bu Ningsih terhadap anak didiknya, Bu Ningsih semakin luwes dalam bercerita.
Dalam situasi seperti ini, aku pun bisa mencairkan suasana dengan menyelipkan senda gurau di dalamnya. Meski Bu Ningsih mengaku bahwa ia adalah sosok guru yang paling ditakuti sebab sifat kerasnya dalam mengajar, kuakui hatinya selembut sutra setelah mengenalnya lebih dekat. Tak hanya melulu soal mengajar, Bu Ningsih tak segan-segan bercerita menyangkut masalah pribadinya. Bu Ningsih berterus terang bahwa pernah ada lelaki bertubuh kekar dengan khas kemeja flanel kotak-kotak tak jarang bertandang ke rumah kontrakan. Dan itu jauh sebelum aku menjadi penghuni baru.
Dengan usia Bu Ningsih yang tak lagi muda, aku masih melihat setetes cinta lewat gerak-geriknya. Mereka pernah menikmati masa indah perkenalan di sebuah perpustakaan propinsi, melakukan perdebatan usang terkait buku yang mereka baca bersama.
“Sudah sore. Mari kuantar pulang ke kontrakan,” ajak lelaki tersebut pada Bu Ningsih.
Matahari semakin tak terlihat dan meninggalkan senja di ufuk barat. Sebabnya, Bu Ningsih menuruti ajakan lelaki tersebut.
Tak sampai di situ. Di halaman kontrakan pun keduanya bergaya seperti anak muda kebanyakan, menyeruput teh hangat sambil mendengarkan lagu bernuansa rindu.
“Aku akan melamarmu segera. Bulan depan kubawa keluargaku menemui orangtuamu.” Layaknya merpati jantan bertalu-talu memberikan pujian, sementara Sang Betina tertunduk dan mengumbar simpul malu. Begitupun dengan Sang Lelaki yang mengaku di hadapan Bu Ningsih dan rintik hujan menjadi salah satu saksi, membuat degup jantung Bu Ningsih lebih cepat dari biasanya hingga rona pipi memerah.
Wanita mana yang tak akan bahagia jika dalam hidup, sosok yang dicintai dengan tegas dan lugas menyatakan niat baik untuk melamar. Bu Ningsih amat bahagia seakan-akan ini menjadi pinangan pertama dan terakhirnya. Padahal dalam kurun waktu tak begitu lama, sempat dalam hidupnya, seorang lelaki hendak melamarnya. Namun gagal karena maut menjadi pemisah di antaranya. Kukira Bu Ningsih telah lupa akan kejadian itu.
Berbondong-bondong keluarga lelaki membawa seserahan lamaran ke rumah Bu Ningsih. Pada hari tepat dimana Bu Ningsih berusia separuh abad, tanggal pernikahan pun ditetapkan oleh kedua pihak keluarga.
“Ningsih, sepertinya kau tak perlu tinggal di rumah kontrakan itu lagi. Lagipula label perawan tua yang kau sandang akan segera sirna. Tetangga tak kan berani menghinamu sebab akhir tahun ini kau akan menikah,” kata perempuan ringkih yang telah melahirkan Bu Ningsih dengan kasih sayang. Bu Ningsih menggeser tempat duduknya lalu mendekatiku. Seperti biasa, hendak membisikkan sesuatu padaku.
“San, kau dengar apa kata ibuku?” Aku cukup menatap wajah ibanya yang terlanjur hanyut dengan masa lalu.
“Aku menuruti saran ibuku. Demikian karena aku yakin label penghinaan itu tak kan lagi ditujukan padaku,” seru Bu Ningsih.
“Mengingat adik pertamaku, Laras juga sudah berkeluarga, dikaruniai dua putra, dan mereka hidup bahagia.”
Perasaan yang meletup itu pun akhirnya jebol juga dan menghasilkan butiran bening yang menganak sungai di pipi. Bu Ningsih menangis di depanku.
“Sementara Mardhiyah, adik bungsuku yang terlihat lebih manja pada ibu juga telah menikah dua tahun terakhir ini. Sebab adikku memang cantik jelita, tak ayal putri pertamanya pun demikian menawan.” Tangis Bu Ningsih mulai reda. Dengan membayangkan keponakannya, Bu Ningsih mengukir senyum tipis.
Kebahagiaan adalah perwujudan dari masa depan yang diharapkan. Begitulah keinginan semua orang tak terkecuali Bu Ningsih. Pada setiap kata yang diucapkannya menjadi pelecut semangat seluruh anak didiknya dan penghuni rumah kontrakan ini. Kata Bu Ningsih, jika ingin berkeliling dunia maka membacalah. Pesan yang disampaikan pada orang terdekatnya merupakan satu hal yang sekarang tak lagi dilakukan kala waktu senggang. Ia lebih memilih menatap tajam foto lelaki berkemeja flanel kotak-kotak di balik pigura kecil.
Dua minggu menjelang hari pernikahan Bu Ningsih, undangan resepsi telah disebar ke seluruh kolega dan teman-temannya. Pun kursi pelaminan sudah dipesan dengan desain sederhana bernuansa natural khas kayu jati dan khas ukiran Jepara. Tak lupa, Bu Ningsih memesan ratusan buku saku sebagai cindera mata para tamu undangan. Karena terlalu kelelahan mempersiapkan acara pernikahan, kondisi Bu Ningsih tak stabil. Ia sering merasakan sakit di dada sebab batuk tak berkesudahan. Ia terpaksa dirawat di Rumah Sakit selama lima hari.
“Istirahatlah sejenak!” ucap lelaki yang dicintai Bu Ningsih.
Bahagia yang diidamkan pergi tanpa alasan. Justru ketika lelaki tersebut menjenguk Bu Ningsih, secarik kertas terlipat rapi disuguhkannya pada Bu Ningsih sambil bersuara lirih.
“Buka kertas ini dan bacalah sendiri! Jangan sampai ada orang lain tahu.” Lelaki itu ke luar dari pintu dan berlalu.
Maaf, dengan berat hati kubatalkan pernikahan kita
Serasa memikul beban berat setelah membaca tulisan tak bertanggung jawab itu, Bu Ningsih tak kuasa dan akhirnya jatuh pingsan. Seluruh keluarganya bersimpati dan tanpa henti memberi dukungan pada Bu Ningsih.
***
Suatu hari di halaman rumah kontrakan, Bu Ningsih sibuk menyelesaikan anyaman kristik. Tusukan benang wol yang ia rajut menjadi bentuk wajah seorang gadis mungil.
“San, bulan depan keponakanku yang paling cantik genap berusia 12 tahun. Kan kuhadiahkan ini untuknya. Dia pasti senang.” Aku mengangguk sekenanya.
“Untung kau sudi menjadi temanku, San. Sejak aku pamit pada ibuku untuk kembali ke rumah kontrakan ini demi menenangkan diri dan menutup telinga dari gunjingan tetangga, aku merasa sendiri.” Bu Ningsih memandangku seperti memohon padaku agar tak meninggalkannya.
“San, padamu sekarang kuungkap sebuah rahasia yang kupikul seumur hidup.”
Bu Ningsih. Aku telah mengenalnya dua tahun terakhir ini. Bagiku, tak ada rahasia antara kami. Seluruh kejadian yang ia alami baik suka maupun duka telah kurekam sempurna. Namun bagaimana dengan rahasia yang dipikul seumur hidup itu?
“Aku perawan tua yang menderita penyakit serius. Dokter menyebutnya bronkitis kronis. Dokter telah menjelaskan padaku saat sebelum aku mengenal lelaki dalam foto itu. Keluarga tak pernah tahu akan hal ini. Yang mereka tahu bahwa semakin hari tubuhku kian kurus saja. Mereka baru tahu setelah beberapa hari aku dirawat di Rumah Sakit. Namun tidak dengan tetangga. Bisa-bisa bahan cibiran untukku semakin menumpuk saja.” Suara Bu Ningsih semakin lirih membuatku berusaha fokus mendengar dengan seksama.
“Benar saja, lelaki yang fotonya ada di pigura kecil itu membatalkan rencana pernikahannya denganku. Andai saja ini kuceritakan padanya dari awal dan ia pun tahu, mungkin aku tak kan menanggung sakit hati yang teramat perih.” Bu Ningsih meletakkan hasil anyaman kristik di atas meja. Seketika ia meraih foto dalam pigura kecil itu. Telunjuknya memberi penekanan pada pigura itu seakan-akan ia ingin meredam amarah yang pernah ada.
“Nafsu yang menjadikanku tak jujur padanya. Terlepas dari itu, aku juga ingin bahagia seperti adik-adikku, memiliki suami dan anak. Dan satu lagi, sebenarnya aku lelah dicemooh para tetangga sebab label perawan tua.”
Senyap. Bu Ningsih terdiam menatap kupu-kupu penghisap nektar bunga di halaman rumah kontrakan.
“Aku ingin bertemu dengannya, San untuk sekadar minta maaf atas ketidakjujuranku. Meski akhirnya aku harus mengecap lagi label perawan tua, aku rela. Aku sadar usiaku tak muda lagi sepertimu yang masih bisa berhaha-hihi.
Runtutan peristiwa yang dialami Bu Ningsih adalah takdir yang tak bisa dielak. Ia pun menjadi yakin bahwa ia akan dipertemukan dengan sosok berkemeja flanel kotak-kotak yang lain. Meski bukan dunia menjadi ajang pertemuannya, akan ada akhirat menjadi pilihan selanjutnya.
Gresik, 08 Maret 2018
*Penulis adalah alumnus Pesantren Al-Amin Mojokerto