sumber gmambar: republika

Oleh: Bin Karyadi Al-Biltary*

Ketika Nabi Musa AS kabur dari Mesir, dan hampir sampai di Negeri Madyan, beliau berdoa kepada Allah SWT supaya diberikan jalan keluar atas kesusahan yang ditimpanya.

Lalu pada saat sampai sana, beliau berjumpa dengan dua orang gadis yang kewalahan untuk memberi minum pada hewan ternaknya, dikarenakan menghindari kerumunan penggembala laki-laki.

Nabi Musa AS pun membantu dua gadis tersebut, dengan alternatif membuka sumur lain yang tertutup batu besar. Setelah menyelesaikan tugas, Nabi Musa AS yang dalam keadaan lelah beristirahat di bawah pohon, seraya berdoa kepada Allah, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku membutuhkan segala sesuatu yang baik atas apa yang Engkau berikan”.

Singkat cerita, atas keikhlasannya membantu dua gadis tanpa meminta imbalan, -diriwayatkan juga beliau tidak mau menerima imbalan, walau berupa makan malam sedangkan beliau sendiri dalam keadaan lapar-, akhirnya beliaupun dinikahkan dengan salah satu gadis tadi dengan mahar naf’i (berupa jasa, red), yaitu menjadi karyawan ternak selama 10 tahun.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dari sini bisa kita ambil pelajaran, bagaimana Nabi Musa AS menggunakan peran Tuhan secara penuh, dengan totalitas ketawakkalan kepada-Nya, di kala sedang krodit. Begitu pula dengan keikhlasannya membantu tanapa meminta imbalan.

Dengan dasar tawakkal dan ikhlas, Tuhan pun mengabulkan, bahkan memberikan bonus yang tak terduga kepada Nabi Musa AS. Sebuah kisah juga menceritakan, ada seorang wali, sebut saja Wali A, yang sedang lelah dan haus.

Beliau pun berinisiatif untuk istirahat di bawah pohon, dengan harapan ada sesuatu yang bisa menghilangkan rasa haus menghampirinya. Tak lama kemudian beliau tertidur, dan pada saat itu juga datanglah seorang wali lain, sebut saja Wali B, yang mana karomah beliau bisa mengetahui ahwal (keadaan -red) orang lain atas izin Allah SWT.

Dengan tongkatnya, Wali B membangunkan Wali A yang sedang tertidur bersandar di bawah pohon. “Wahai waliyullah, kenapa engkau tidur di bawah pohon ini, bukankah engkau sedang mengalami kehausan?”, tanya Wali B. “Iya benar, saya sedang mengalami kehausan, dan saya bertawakkal kepada Allah semoga ada sesuatu yang menghampiriku untuk menghilangkan rasa haus”, jawab Wali A.

Kedua kalinya, Wali B menggunakan tongkatnya untuk memukul Wali A, supaya beliau mau bangun dan beranjak untuk mecari sumber air. “Kalau haus, bangun dan carilah sumber air!”, perintah Wali B. Setelah Wali A bangun dari istirahatnya, beliapun menemukan sumber air yang bisa menghilangkan rasa haus.

Di tepi sumber air tersebut, Wali A terdiam. Wali B pun menanyakan, kenapa Wali A tidak lekas mengambil air yang sudah jelas di depan mata. “Aku berharap ada yang menuangkan air tersebut padaku”, begitu Wali A menjawab.

Dengan tongkatnya lagi, Wali B memukul Wali A supaya beliau mau berusaha hingga tuntas untuk menghilangkan rasa hausnya tersebut. Akhirnya, Wali A pun mengambil air yang terdapat pada sumber air tadi dan meminumnya, hingga hilang rasa dahaganya.

Dua kisah tadi, mengajarkan kita, bagaimanapun tawakkal yang diserahkan kepada Tuhan, juga harus diiringi dengan usaha. Sebagaimana pepatah mengatakan, “Doa tanpa usaha, bohong. Usaha tanpa doa, sombong”.

Jadi keduanya harus seimbang. Tentang usaha tanpa doa, bisa kita ambil contoh dari kisah Kan’an putera Nabi Nuh AS ketika diajak oleh Ayahnya (Nabi Nuh AS, -red) bergabung dengan orang-orang mukmin untuk menaiki kapal. Akan tetapi, Ia menolak.

Dengan kesombongannya dan hanya mengandalkan secara akalnya saja, usahanya -dengan berlindung di puncak gunung- pun gagal, yang mengakibatkannya menjadi termasuk orang yang tenggelam, Na’udzu billahimin dzalik.

Oleh sebab itu, sebaiknya kita sebagai seorang hamba yang lemah menggunakan peran Tuhan secara totalitas, sebagai kunci utama dalam keadaan apapun, dimanapun, dan kapanpun, dan tentunya dengan usaha dan penuh keikhlasan. Wa Allahu a’lam…

*Santri Tebuireng Jombang.