Sumber gambar: https://www.lyceum.id

Oleh: Silmi Adawiya*

Dalam Al Quran, Allah menceritakan kisah istri Al-Aziz (gubernur Mesir) yang tertarik pada ketampanan Nabi Yusuf dan kaum Nabi Luth yang cinta kepada mardan (anak laki-laki yang tampan). Tersirat dari ayat tersebut bahwa mabuk cinta yang jadi penyakit terdapat dalam wanita dan kaum homoseks.

Penyebab mabuk cinta tersebut hanya ada dua, yaitu menganggap indah apa yang dicintainya dan ingin memilikinya. Ibnu Qayyim berkata bahwa ketetapan Allah dengan hikmahNya menciptakan makhlukNya dalam kondisi saling mencari yang sesuai dengannya. Secara fitrah saling tertarik dengan jenisnya, dan juga sebaliknya akan menjauh dari yang berbeda dengannya.

Rahasia adanya percampuran dan kesesuaian di alam ruh akan mengakibatkan adanya keserasian serta kesamaan, sebagaimana adanya perbedaan di alam ruh akan berakibat tidak adanya keserasian dan kesesuaian. Dengan cara inilah
tegaknya urusan manusia. Termaktub dalam QS Al A’raf ayat 189:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya.”

Dalam ayat tersebut Allah menjadikan sebab perasaan tentram dan senang seorang lelaki terhadap pasangannya karena berasal dari jenis dan bentuknya. Jelaslah faktor pendorong cinta tidak bergantung dengan kecantikan rupa, dan tidak pula karena adanya kesamaan dalam tujuan dan keinginan, kesamaan bentuk, dan dalam mendapat petunjuk, walaupun tidak dipungkiri bahwa hal-hal ini merupakan salah satu penyebab ketenangan dan timbulnya cinta.

Oleh karena itu, dituliskan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyah bahwa obat yang utama dan mujarab bagi seorang yang sedang dimabuk cinta oleh makhlukNya adalah menikah. Menikah itu ibadah dan jalan untuk meraih cinta yang dikasihinya dengan ketentuan syariat dan suratan takdirnya. Berpijak pada hadis Nabi Muhammad yang berbunyi:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa yang sudah mampu untuk menikah maka hendaklah dia segera menikah. Barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa karena puasa dapat menahan dirinya dari ketergelinciran perbuatan zina.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Kita menemukan dua solusi dan jalan alternatif dari hadits tersebut. Solusi pertama adalah segera menikahlah bagi yang mampu. Menikah itu dapat menenteramkan hidup dan menyempurnakan separuh agama. Selain itu, menikah juga dapat membantu menahan pandangan dan mengalihkan hati untuk mentaati Allah. Jika ini bisa dilakukan, maka inilah yang terbaik. Nabi bersabda:

لَمْ أَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ

“Saya belum pernah melihat (solusi) untuk dua orang yang saling jatuh cinta selain menikah.” (HR. Ibnu Majah, shahih).

Adapun solusi alternatif ditujukan bagi seseorang yang belum mampu menikah, yaitu berpuasa untuk meredam gejolak syahwatnya. Tidak dengan melakukan hal yang dilarang oleh agama, atau bahkan menyakiti diri sendiri. Tetap mengisi hari dan hati dengan hal positif. Jangan biarkan hati kosong dari cintaNya dan cinta makhlukNya.


*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta, alumnus Unhasy dan Pesantren Walisongo Jombang.