Sebuah ilustrasi sepasang kekasih dalam cerita.

Sebelum subuh tiba, seperti biasa, aku menyisakan waktu untuk benar-benar mengartikan hidup yang sesungguhnya. Kehidupan yang terkadang rumit memaksaku untuk bangun dari kebosanan yang setiap detiknya bergentayangan. Untuk itu, aku tidak lupa bagaimana mengiba dan memberi kebahagiaan kepada manusia. Aku tahu, ini hal yang sederhana, tapi percayalah, semua berasal dari hal kecil yang sederhana. Seperti cinta langit pada bumi, malam pada siang, dan aku pada engkau.

Kebiasaan ini dimulai setelah aku menyadari satu hal. Dalam diriku ada kata yang teracik dan terseduh menjadi puisi. Sebenarnya, aku kesulitan mendefinisikan hal itu, tapi aku berusaha untuk mengetahuinya. Puisi? Awalnya hanya sebuah sajak yang sahaja, lalu berubah menjadi hal sederhana untuk mencari jati diri, kemudian pikiranku mengembara bahwa puisi adalah satu dari banyak cara menuju penyucian diri, dari ini lalu terlintas dalam hati, aku mencari aku dalam puisi untuk mengenal ilahi, katakanlah mengharap sebuah penyatuan di dalamnya. Ah, puisi.

Jangan dulu terhanyut, sebab itu masih pengertian yang sangat abal-abal menurutku. Jujur, aku pun dibuat bingun olehnya. Seolah aku hidup bukan untuk mati, tapi hidup berkali-kali tanpa penghabisan, tak mengenal waktu. Puisi membawa nafasku berlari jauh lebih panjang, ia pun mengenalkanku tentang siapa Tuhan. Tentu, bukan kekasihku. Tapi aku berharap banyak untuk menjadi kekasihNya. Sungguh hal itu tidak mudah.

Dan, malam ini aku membuka mata jauh lebih lama ketimbang malam-malam sebelumnya. Sebab apa? Aku menampar mataku dengan banyak meneguk kopi panas. Sebenarnya aku kasihan terhadap tubuhku, tapi akan jauh kasihan bila hati dan otakku kosong tanpa suatu keindahan dari percikan malam.

“Jangan mengaduh-ngaduh sakit dada,” aku ingat sekali nasehat kakak perempuanku kala itu. Dia tidak pernah absen mengingatkan tentang kesehatanku yang akhir-akhir terancam.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sungguh aku tak pernah berfikir penyebabnya karena sering tidur malam. Bagiku, hal yang indah adalah obat bagi penyakit apa pun. Jadi tetaplah aku dalam kesenanganku itu.

*****

Sekarang bukan malam lagi, melainkan sudah pagi. Aku enggan beranjak. Tapi sayang, waktu menyuruhku bangun demi sebuah kebahagiaan yang katanya sudah lama dijanjikan kepada mahasiswa sepertiku. Benar, kalian harus tahu, aku mahasiswa. Tapi sungguh aku tak suka dunia perkampusan. Tentu, tidak hanya karena satu alasan. Intinya, aku tak suka. Itu saja.

Setelah mandi, aku tidak lagi merayakan pagiku yang kesal dengan sarapan. Sebab kakak perempuanku sudah tiada, ia pergi untuk selamanya. Ia mendahului aku menebus rindunya pada Tuhan. Dasar. Tapi bagaimanapun aku tetap menyayanginya. Tak apa, sarapan pagi ini adalah bolos dari mata kulaih jam pertama. Aku akan singgah terlebih dahulu ke suatu tempat. Di sana, aku sepertinya menemukan definisi puisi yang sedikit berbeda.

Aku berangkat, tidak menuju kampus melainkan pada sebuah kedai kopi. Kedai kopi itu sederhana, kelawat sederhana. Bahkan untuk pertama kali aku melihatnya, lebih cocok dikatakan warung rujak. Ah, entahlah mari jangan fokus ke itu. Satu hal yang sebenarnya jauh lebih penting dari kedai kopi, adalah seorang penyair yang rumahnya tepat berhadapan dengan kedai itu. Sungguh, puisi kini perlahan menuju definisi baru dan ia mencarinya sendiri.

Bagi seorang penulis amatir seperti aku, tentu hal ini sah-sah saja terjadi. Karena niat awalku adalah mencari dan menyerap ilmu sastra dari penyair itu. Entahlah, aku sangat yakin orang itu adalah penyair.

“Penyuka kopi?” pertanyaan sederhana yang kudengar saat pertama kali aku singgah ke kedai kopi itu. Maklum dia beratanya, karena waktu itu aku menghabiskan sekitar lima sampai enam cangkir kopi, dengan sedikit gula dalam adukannya.

“Tanpa kopi aku bisa apa?” Aku menjawab dengan kembali bertanya, dengan suara sedikit sumabang pula. Aku tak menggubrisnya. Bagiku, waktu itu kuanggap dia sebagai lelaki kebanyakan, penggombal.

“Puisi akan mengajarimu hidup lebih berarti,” suaranya bernada mengeluh, tapi berani menggurui.

Aku mengernyitkan dahi. Belum paham. Aku pening.

“Jangan paksakan untuk berfikir, kau belum baik-baik saja,” suara yang sama.

Aku beranjak. Ternyata ia berada tepat di belakang kursiku. Punggungnya mengahadap pada pintu pulang. Rupanya dia mengintip senja berpulang. Di kedai kopi, satu-satunya pemandangan indah hanya apabila menghadap pintu pulang, sisi lainnya teetutup rapat dari kelambu berwarna abu.

Aku berdiri di depannya. Penyair itu tetap dengan tatapan semula. Rambutnya yang sedikit acak-acakan, menyulitkanku untuk mengenali wajahnya. Tidak ada tanda-tanda ia akan bicara lagi. Aku lelah. Bergegas pulang.

“Waktu belum menandakan kau boleh pulang, Mar,” suaranya berubah berat.

Aku terhenyak. Mar? Dia tahu namaku. Bahkan dia memanggilku dengan nama panggilan yang hanya satu orang dalam hidupku mengetahui hal itu. Aku menoleh, tidak, dia menghilang.

*****

Pertemuan tak disengaja itu membawaku pada suatu kesadaran tentang keyakinan. Dulu, sebelum aku menjadi seperti saat ini, aku menyimpan perasaan kepada sosok lelaki. Usia perasaan itu kupelihara selama dua setengah tahun. Dan ketika memasuki usia genap tiga tahun, Tuhan kembali mempertemukan aku dengannnya. Seolah harap-cemasku terjawab dengan indah, meski terlebih dahulu harus melalui hutan rimba dengan sulur yang merambatinya. Sebab itu aku yakin, Tuhan bersama dengan doa-doa malamku yang kutuang dalam puisi.

Dia datang, tidak dengan perasaan yang sama. Jauh berbeda dari perasaanku yang hanya seberat genggaman debu, sedang dia datang dengan segenap jiwa raganya yang tak kenal rapuh. Aku menerimanya. Dari itu, aku tahu dan tak sungkan memanggilnya penyair. Bukan sekadar kata yang pandai ia sejajarkan lalu menjadi kalimat terangkai hingga mewujud puisi, aku pun sama. Ia jelmakan aku sebagai puisinya yang terindah.

“Marsinah. Ya, aku akan memanggilmu ‘Mar’,” kepalanya mengangguk.

“Kenapa begitu?” tanyaku dengan nada tak terima.

“Karena aku ingin berbeda. Itu saja.” Dia beranjak, mengecup hatiku yang gelisah.

Sejenak aku berfikir perihal nama panggilannya padaku. Aku tidak marah, hanya saja terdengar aneh. Tak apa, ini bukti bahwa penyair menganggap aku berbeda dengan cintanya. Sejak itu, aku percaya. Untuk sempurna sangatlah sederhana. Jangan katakan uang itu cinta, atau pun sebaliknya. Itu fana.



Penulis: Lailatul Fajriyah, Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.