(ket. tengah- jilbab coklat) Penulis Novel Hati Suhita, Khilma Anis saat berjumpa dengan santri Tebuireng usai mengisi seminar nasional Literasi Digital “merawat eksistensi literasi di pesantren” yang dilaksanakan di Pesantren Tebuireng. (foto: rohman/to)

Tebuireng.online– Penulis Novel Hati Suhita, Khilma Anis hadir ke Pesantren Tebuireng dan memberi motivasi menulis di hadapan ratusan santri Tebuireng. Kedatangannya menghadiri undangan seminar nasional Literasi Digital Pesantren II, memberikan materi terkait “Merawat Eksistensi Literasi di Pesantren”. Acara ini berlangsung di gedung KH. M. Yusuf Hasyim Teburieng, Ahad (23/10/2022).

Pemilik novel yang akan difilmkan itu menyapa ratusan santri dengan motivasi literasi yang luar biasa. Kepada para santri, pengasuh PP An-Nur Jember itu, mengatakan bahwa dengan berkembangnya teknologi maka santri sudah seharusnya benar-benar paham bagaimana memahami dan melek literasi yang baik, benar, dan bermanfaat.

“Medan dakwahnya berbeda seperti zaman dulu yang tidak hanya berdakwah dengan bil lisan dan bil hal, akan tetapi sekarang lebih berdakwah dengan bil-qalam. Kita harus benar-benar memahami pengelolaan media,” ungkapnya.

Selain itu, perempuan lulusan UIN Yogyakarta itu menyebut bahwa santri tak boleh alergi terhadap teknologi.

“Kita jangan sampai menjadi santri yang alergi media sosial, kuper, jangan sampai santri mengidolakan orang lain dan hal yang sangat penting untuk diadakan di pesantren yaitu harus ada pelatihan-pelatihan terkait literasi. Maka dari itu, kita harus memahami bahwa medan dakwah kita itu sudah bergeser dari bil lisan ke dakwah bil-media sosial,” imbuhnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online
Khilma Anis saat menyampaikan materi literasi di depan ratusan santri Pesantren Tebuireng.

Selain itu, alumnus PP. As-Sa’idiyah Bahrul Ulum Tambakberas tersebut menyampaikan bahwa ada tiga alasan mengapa dirinya sampai saat ini tetap menulis. Hal itu juga ia sampaikan untuk menjadi motivasi dan semangat santri dalam memiliki pandangan untuk mencintai literasi.

“Pantang mati sebelum berkarya meskipun hanya satu karya tulis saja,” menurutnya dalam konteks literasi lebih baik kita berkarya walaupun satu judul meskipun sederhana tetapi kita sumbangkan ke jagat literasi, dari pada kita tenggelam dalam angan-angan berbuat banyak.

Penulis tokoh Suhita itu juga terinspirasi dari tulisan Pramoedya Ananta Toer, yang kemudian ia jadikan sebagai salah satu motivasinya, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Itulah alasan keduanya dalam hal menulis.

“Begitu pun dengan dawuh Imam Ghazali, ‘kalau kamu bukan anak raja dan kamu bukan anak ulama besar, maka menulislah’ saya waktu itu tak paham apa maknanya, tetapi sekarang saya baru memahaminya,” ungkapnya memaparkan bahwa kita sangat perlu melek literasi termasuk dalam hal menulis.

Menurut Ning Khilma dengan keterampilan menulis seseorang bisa mengangkat ekonomi serta mendapatkan kehormatan, kemasyhuran, nama baik, persahabatan, dan jaringan  seperti yang diperoleh anak raja dan anak ulama. Yang mana beliau membuktikan kalimat itu langsung setelah berhasil membuat buku yang berjudul Hati Suhita dan difilmkan.

“Dalam hal menulis tidaklah harus membawa tema-tema yang tinggi dan berat  akan tetapi hal  yang sederhana itu sebenarnya bisa,” pesannya.

Baginya, dari sinilah pesantren memiliki peranan penting untuk selalu mengasah para santri dalam hal literasi yang meskipun dalam pondok tidak diizinkan membawa elektronik, tidak ada masalah karena literasi tidak terbatas hanya karena itu.

“Literasi  di pesantren lebih kepada bagaimana di pesantren itu disiapkan, dimatangkan dengan iklim literasi yang bagus serta dibiasakan membaca dan dibiasakan dilatih menulis sehingga ketika mereka menjadi alumni pondok, menjadi pendekar-pendekar literasi,” tegasnya.

Sekarang, lanjut Khilma Anis santri bukan eranya hanya sebatas ngaji, belajar, dan menghafal saja akan tetapi harus dibekali dengan keterampilan menulis. Dan tak kalah  pentingnya pula bagi santri dalam hal menulis itu sangat perlu untuk memiliki idola sebagai inspirasi dan punya arah dalam hal menulis.

Pewarta: Qurrotul Adawiyah