Oleh: Anisa Faiqotul Jannah*

Imam Yahya bin Abi Zaidah. Memiliki nama lengkap Imam Yahya bin Zakaria bin Abi Zaidah bin Maimun al-Aslami bin Fairuz al-Hamdani al-Wadi’i al-Kufi al-Hamdani al-Hanafi. Beliau lahir pada masa Imam Abu Hanifah an-Nu’man, yang sekaligus merupakan salah satu guru darinya. Oleh karenanya, afiliasi fiqihnya terpengaruhi oleh gurunya, Abu Hanifah.

Beliau ini termasuk salah satu ulama inspiratif karena keteladanan dan keberhasilannya dalam berbagai bidang bisa menjadi pelajaran bagi generasi saat ini. Mulai dari perjalanan intelektualnya, produktivitasnya dalam menulis, hingga keulamaannya yang diakui para ulama lain dan patut dicontoh.

Perjalanan Intelektual Imam Yahya Abi Zaidah

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Menurut Syekh Khairuddin ad-Dimisyqi (wafat 1396 H), Imam Yahya merupakan keluarga bangsawan pada masa kesultanan Dinasti ‘Abbasiyyah, tepatnya di era kepemimpinan Raja Harun ar-Rasyid. Pada saat itu Ayah dan beberapa keluarganya merupakan seorang mentri pada masa itu[1].

Dilihat sekilas dari kisah kehidupan Yahya pada saat kecil sangatlah istimewa melebihi kisah para ulama lain yang kisahnya sangat memprihatinkan. Tetapi pada kenyataanya, ayah Imam Yahya merupakan sosok yang tidak cinta dunia, karena hasil kerja ayahnya iru selalu dibagikan kepada fakir-miskin lalu menyisihkan secukupnya unruk kebutuhan keluarganya dan sedari kecil Yahya tumbuh sebagai sosok yang tidak cinta pada dunia. Ia menghabiskan hari-harinya di Kufah dengan fokus mengaji dan belajar melalui bimbingan langsung dari ayahnya. Di selain waktu bertugas, ayahnya selalu mengajarkan ilmu agama kepadanya hingga Yahya Kecil banyak menguasai beberapa kitab.

Selain belajar kepada orang tuanya, ia juga belajar kepada guru-guru di Kufah yang pada masa itu, di antara gurunya adalah, (1) Imam Abu Hanifah an-Nukman; (2) Imam Ayyub bin Kaitsan; (3) Imam Idris bin Yazid bin Abdurrahman; (4) Imam Ja’far bin Muhammad bin Ali; dan beberapa guru lainnya. Dari guru-guru tersebut, Yahya memiliki perkembangan yang sangat pesat dalam masalah keilmuan. Bahkan, pada umur yang masih bisa dibilang muda, ia sudah mampu menghafalkan Al-Qur’an dan beberapa matan-matan kitab lainnya. Imam Yahya tumbuh menjadi sosok yang sangat cerdas, paham ilmu fiqih dengan semua cabang-cabangnya, memiliki rasio yang luas, sehingga sangat mudah memahami semua penjelasannya. Tidak hanya itu, ia juga menjadi salah satu ulama yang sangat kuat daya hafalnya, dan sangat luhur etikanya.

Dari semangat dan tekunnya dalam mencari ilmu beberapa tahun kemudian, tiba saatnya Imam Yahya memetik hasil, tepatnya setelah beberapa tahun belajar kepada para ulama di masa itu. Beliau akhirnya mulai mandiri, dan bisa merumuskan pendapat sendiri dalam beberapa cabang ilmu syariat. Ilmunya yang sangat luas menjadikannya sebagai salah satu ulama yang sangat disegani oleh para ulama, umara dan dicintai oleh semua rakyatnya.

Penulis Kitab Pertama di Kufah

Kota Kufah merupakan kota yang memiliki sejarah penting dalam Islam. Salah satu kota yang terletak di Irak, dibangun sejak masa Rasulullah, tepatnya pada masa ekspansi pertama kali Islam ke luar semenanjung Arab. Selain itu, Kufah juga menjadi salah satu pusat munculnya khazanah ilmu Islam yang telah melahirkan sejumlah ulama-ulama produktif. Bahkan, dalam ilmu gramatika Arab, pendapat ulama Kufah menjadi salah satu rujukan paling otoritatif.

Setelah imam Yahya berguru kepada ayah dan ulama-ulama tersohor kini saatnya Imam Yahya untuk menyebarkan apa yang telah ia dapatkan. Ia pulang ke kampung halamannya untuk menyebarkan ilmu yang ia miliki. Ia adalah sosok ulama produktif yang juga berhasil menuliskan beberapa kitab di kota Kufah, bahkan Yahya adalah pengarang kitab pertama di Kuffah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh ad-Dzahabi dalam kitabnya:

هُوَ أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ الْكُتُبَ بِالْكُوْفَةِ[2]

Dia (Yahya bin Abi Zaidah) merupakan orang pertama yang menyusun kitab-kitab di kota Kufah.

Selain sebagai penyusun kitab pertama, Imam Yahya juga ulama yang sangat produktif dalam menyusun kitab, bayak kitab-kitab karyanya yang kemudian menjadi salah satu referensi yang banyak disyarahi oleh ulama-ulama setelahnya, khususnya ulama kalangan mazhab Hambali. Di antara kitabnya, yaitu; Fatawa Yahya, Mughnisy Syifa min Raudhati Syahariraha, dan beberapa kitab lainnya.

Demikianlah secuil biografi di balik sosok penulis pertama di Kuffah. Mulai dari kelahiran, kematian hingga semangatnya dalam mencari ilmu dan penjadi penulis kitab pertama di Kuffah yang kitabnya menjadi rujukan tersohor.


[1]  (Ad-Dimisyqi, al-A’lam, [Darul ‘Ilmi, cetakan kelima: 2002], juz VIII, halaman 145).

[2] (Ad-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala, juz VIII, h. 339).


Disarikan dari tulisan Sunnatullah, redaktur nu online


*Mahasiswi Universitas Hasyim Asy’ari