Oleh: Ibnu Ubai*

Apakah khitan adalah hak alami bagi seorang laki-laki? Lantas bagaimana khitan bisa hadir di dalam sejarah manusia? Laki-laki pasti akrab dengan istilah khitan atau sunat. Hal ini karena khitan atau sunat berhubungan dengan seksualitas seorang laki-laki.

Dengan khitan seorang laki-laki bisa mengetahui hak alami yang dimilikinya tentang kesucian, keafsahan, kesehatan, serta kemadhorotan yang berhubungan dengan seorang laki-laki. Jikalau kita tinjau dalam konteks agama, khitan adalah memotong sesuatu dari bagian yang ditentukan (sebagian dari alat reproduksi).

Menurut Imam al-Mawardi, khitan bagi seorang laki-laki adalah memotong kulit yang membungkus pada kulup. Terdapat perbedaan pendapat Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Syafi’i, tentang dalil-dalil yang menguatkan tentang hukum khitan baik merujuk kepada al-Quran dan hadits.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalil Al-Quran,

Dalam hal ini memang tidak ditemukan dalil yang langsung mensyariatkan khitan. Tidak ada penyebutan lafadz khitan dalam Al-Quran, namun dalam beberapa ayat yang dapat pahami adanya seruan untuk menjalankan syariat nabi terdahulu, yaitu Nabi Ibrahim as.

Ayat-ayat yang berkenaan dengan pensyariatan khitan dapat dipahami dari ketentuan surat An-Nisa’ ayat 125. Kreteria ayat ini masuk dalam dalil implisit pensyariatan khitan:

وَمَنْ اَحْسَنُ دِيْنًا مِّمَّنْ اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَّاتَّبَعَ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَاتَّخَذَ اللّٰهُ اِبْرٰهِيْمَ خَلِيْلً

[سُورَةُ النِّسَاءِ: ١٢٥]

Artinya: Siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang memasrahkan dirinya kepada Allah, sedangkan dia muhsin (orang yang berbuat kebaikan) dan mengikuti agama Ibrahim yang hanif? Allah telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih(-Nya). (QS. An-Nisa ayat 125)

Makna yang senada dengan ayat di atas juga ditemukan dalam surat an-nahl ayat 123 seruan tentang hukum sebelumnya, yakni mengikuti millah Nabi Ibrahim as.

ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

[سُورَةُ النَّحۡلِ: ١٢٣]

Artinya: “Kemudian, Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim sebagai (sosok) yang hanif dan tidak termasuk orang-orang musyrik.” (Q.S. An-Nahl ayat 123).

Hadits Rasullullah

Bila dibandingkan dengan Al-Quran, maka dalil haditslah secara tegas menyebutkan lafadz khitan. Hadits-hadits yang relavan tentang khitan sangat banyak diantaranya diriwayatkan oleh Imam Muslim:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ جَمِيعًا عَنْ سُفْيَانَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ.

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Amru an-Naqid serta Zuhair bin Harb semuanya dari Sufyan, Abu Bakar berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyainah dari az-Zuhri dari Sa’id bin al-Musayyab dari Abu Hurairah dari Nabi , beliau bersabda, “Fithrah itu ada lima, -atau ada lima perkara yang termasuk fithrah- yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis.” (HR. Imam Muslim).

Fitrah dalam hadits di atas mengandung makna penciptaan. Bisa juga diartikan perkara-perkara yang dianjurkan untuk dilakukan, sebab dipandang baik untuk dilakukan. Adapun hadits yang bersangkutan sebelumnya seperti diriwayatkan Imam Ahmad dalam kitab Musnad Ahmad:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حَفْصٍ أَخْبَرَنَا وَرْقَاءُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيَمُ خَلِيلُ الرَّحْمَنِ بَعْدَمَا أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُونَ سَنَةً وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُومِ مُخَفَّفَةً. .

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hafsh telah mengabarkan kepada kami Warqo` dari Abu Az Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah bersabda, “Ibrahim kekasih Allah yang Maha Pengasih berkhitan setelah beliau berumur delapan puluh tahun, dan beliau berkhitan dengan qadum (kapak) kecil.”(HR. Ahmad).

Hadits ini menjadi kesatuan terhadap dalil al-Quran yang sebelumnya. Dengan maksud millah atau ajaran Nabi Ibrahim salah satunya yaitu berkhitan. Bagi umat Nabi Muhammad SAW, khitan termasuk syarat untuk beribadah kepada Allah Swt, termasuk juga bagian dari tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya. Adapun dalil lain seperti hadits sebagai berikut:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ أَخْبَرَنَا عَبَّادُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ مِثْلُ مَنْ أَنْتَ حِينَ قُبِضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنَا يَوْمَئِذٍ مَخْتُونٌ قَالَ وَكَانُوا لَا يَخْتِنُونَ الرَّجُلَ حَتَّى يُدْرِكَ وَقَالَ ابْنُ إِدْرِيسَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قُبِضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا خَتِينٌ..

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdurrahim telah mengabarkan kepada kami ‘Abbad bin Musa telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ja’far dari Isra`il dari Abu Ishaq dari Sa’id bin Jubair dia berkata; Ibnu Abbas ditanya, “Seperti apakah kamu ketika Nabi wafat?” Dia menjawab; ‘Waktu itu saya telah dikhitan.’ Dia juga berkata; ‘Dan orang-orang tidak dikhitan kecuali setelah mereka dewasa (baligh).’ Dan berkata Ibnu Idris dari ayahnya dari Abu Ishaq dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas ketika Nabi wafat saya telah dihitan“.

Hukum dan Pendapat-pendapat Ulama:

Ulama Terdahulu

Imam Syafi’i berpendapat bahwa khitan merupakan sesuatu hal yang wajib bagi laki-laki dan perempuan.[1] Kemudian Imam Nawawi menegesakan pendapat Imam Syafi’i bahwa ini adalah pendapat shahih (benar) dan masyhur dan ditetapkan oleh Imam Syafi’i.

Ibnu Abbas mengatakan bahwa seseorang yang tidak berkhitan tidak diterima sholatnya dan tidak boleh dimakan sembelihannya. Imam Hambal mengatakan bahwa Abu Abdillah berkata, orang yang tidak berkhitan tidak boleh menyembelih, tidak dimakan sembelihannya dan tidak sah shalatnya.[2] Menurut Imam Hambali yang dikutip oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mugni menghukumi wajib bagi laki-laki dan tidak wajib bagi perempuan, akan tetapi sunnah dan merupakan kemulian saja.[3]

Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan yang lainnya mengatakan bahwa khitan dihukumi sunnah karena ada dalil yang menguatkan pendapat tersebut seperti dalam kitab Musnad Ahmad bab awwalu musnas al-basyori hadits usamah al-hundaly.

الجزء رقم :34، الصفحة رقم:319

20719 حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ ، حَدَّثَنَا عَبَّادٌ – يَعْنِي ابْنَ الْعَوَّامِ – عَنِ الْحَجَّاجِ ، عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ بْنِ أُسَامَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ “.

Telah menceritakan kepada kami Suraij, telah menceritakan kepada kami ‘Abbad yaitu Ibnu Awwam dari Al Hajjaj dari Abul Malih bin Usamah dari Ayahnya bahwa Nabi bersabda, Khitan itu hukumnya sunnah bagi kaum laki-laki dan kemuliaan bagi kaum wanita.”

Ulama Kotemporer

Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya Islam wa abdillatu menyatakan khitan bagi perempuan adalah suatu kemulian jika dilaksanakan, dianjurkan untuk tidak berlebihan agar tidak kehilangan kenikmatan seksual.[4] Beliau juga mengatakan mengenai pendapat mazhab sama yaitu, khitan perempuan hukumnya makruh sedangkan laki-laki hukumnya sunnah.[5]

Dalam kitab al-Mughni Syarh al-Kabir karya al-Maqdisi itu ditegaskan bahwa hukum khitan wajib bagi laki-laki dan makruh bagi perempuan, tidak wajib atas mereka.[6]

Imam An-Nawawi dalam kitab al-Majmu syarah al-mazhab, menjelaskan tentang hukum khitan yang dikemukakan oleh masing-masing mazhab. Hal ini lebih pada mazhab Syafi’i yang memberikan pandangan bahwa khitan wajib bagi laki-laki dan wanita. Pendapat yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah disertai alsan-alasan maupun dalil-dalil yang dijadikan hujjah dalam menentukan hukum khitan.[7]

Waktu Pelaksanaan Khitan

Pendapat para ulama tentang waktu pelaksanaan khitan:

Waktu Wajib

Menurut pendapat Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Satha ad-Dimyanti dalam kitab I’anatul bahwa khitan diwajibkan bahi laki-laki yang sudah baligh, berakal, dan berfisik sehat.[8]

Menurut Imam Mawardi waktu khitan ada 2 waktu, yang pertama waktu wajib, bisa dikatakan waktu wajib dikarekan sudah baligh dan syarat-syarat lainnya. Yang kedua waktu sunnah yaitu waktu sebelum baligh.

Waktu Sunnah

Tentang waktu yang disunnahkan para ulama sudah menyepakati bahwa waktu sunnah yaitu sebelum aqil dan baligh. Kategori sunnah dalam khitan ditentukan tentang waktu atau masa persiapan saat usia mukallaf.

Sementara pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Maliki, bahwa waktu khitan yang disunnahkan yaitu waktu masih kanak-kanak yaitu pada usia 9-10 tahun atau anak-anak sudah mampu menahan rasa sakit saat dikhitan.[9]

Menurut Imam Syafi’i menekankan khitan ketika anak-anak masih kecil. Jika kita merujuk kepada hadits Rasulullah Saw., saat mengkhitan cucunya Hasan dan Husain yaitu pada usia bayi baru berusia tujuh hari. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Saw., artinya:

Dari Jabir, sesunguhnya Nabi Saw.,Mengkhitan Hasan Husain ketika berusia tujuh hari dari kelahirannya. (HR. al-Hakim).[10]


[1] Abi Ishak Ibrahim Ali Abi Yusuf al-Fairuzabadi, al-madzah fi fiqh al-imam As-syafi’I (beirut: darl al-kutub al-islamiyyah jil 1 halm 34)

[2] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, tuhfatul al-maudud bi ahkami al-maudud penerjemah Ansori Umar Sitanggal, Fiqih bayi (cet. I Jakarta: fikr,2007), h. 280-281.

[3] Saifuddin Siddq h. 151.

[4] Wahbah az-Zulaihi, h. 642

[5] Muhammad bin Ali Muhammad al-Syaukani, Nail al-Autor (beirut: Dar al-Qalam, t.th) jilid 1, h. 138.

[6] Ibnu Qudamah, al-Mughuni (kairo: Muktabah al-Qahirah,t.th) jilid 1, h.70-71.

[7] Annawawi, al-Majmu (Beirut: Dart al-fikr, t.th) jilid 1, h.287-307.

[8] Abu Bakar bin Muhammad Satha ad-Dimyanti al-Bakri. I’anatul ay-Thalibin t.th, h.283.

[9] Saad al-Marshawi, ahadits al-Khitan Hujjatuha wa fqhuha, t.th,h.55.

[10] Abu bakar Ahmad bin Hasan bin Ali Baihaqi, sunnah al-Qubra (Beirut: Darl al-Fikr,) juz XIII h.81.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari