Oleh: M. Minahul Asna*
Perjuangan Wali Songo di Jawa Timur dalam menyiarkan agama Islam meninggalkan bekas-bekas yang nyata, yang turun-temurun dijadikan contoh yang ditiru oleh pengikut-pengikutnya dari zaman ke zaman. Di antaranya cara mendirikan pesantren-pesantren sebagai tempat menumbuhkan bibit-bibit mubalig, yang kemudian tersiar menurut gilirannya masuk ke desa-desa untuk menyampaikan dakwah.
Biasanya yang dipilih oleh mubalig ini ialah desa-desa yang penduduknya masih kacau balau dan belum hidup secara Islam, sebab mendatangi orang-orang yang masih jahil dan menanamkan ajaran Islam di tengah-tengah kalangan mereka, termasuk jihad yang besar pahalanya. Bukankah Nabi Muhammad untuk menyiarkan agama Islam itu memasuki daerah-daerah yang penuh kekufuran dan mendekati penduduknya dengan keterangan keterangan dari Al-Qur’an? Dan bukankah cara ini yang ditiru oleh Wali Songo dalam menyiarkan agama Islam dalam kalangan Hindu?
Tablig, menyampaikan dakwah Islam ini adalah kewajiban dan amal yang terpuji bagi tiap-tiap umat Islam. Dengan kata lain, tiap-tiap orang Islam menurut ajaran agamanya menjadi guru yang diwajibkan menyampaikan dakwah agamanya kepada siapa saja Ia bertemu.
Dengan demikian, kita lihat dalam kehidupan dunia pesantren pun terdapat kebiasaan, bahwa di samping belajar, mahasiswa-mahasiswa itu diperintah atau tidak oleh gurunya, mengajar pula apa yang diketahuinya tentang Islam kepada murid-murid yang lain yang memerlukan bantuannya.
Ajaran ini sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad yang mengatakan, “Hendaklah kamu menjadi guru yang mengajar jika tak sanggup, hendaklah menjadi murid yang belajar, jika tidak pula sanggup, sekurang kurangnya hendaklah kamu menjadi pendengar dari pelajaran-pelajaran yang baik itu, janganlah sekali-kali kamu menjadi orang yang keempat, di luar golongan tiga ini, karena yang demikian itu akan merugikan kamu.”
Maka tidak heran jika kita bertemu dengan santri-santri di pondok itu, apabila Ia merasa sanggup, berlomba-lomba hendak menjadi umat Islam kelas satu, seperti yang diterangkan Nabi, yaitu golongan guru yang mengajar, mengajar untuk menyiarkan ilmu Islam karena Allah semata-mata.
Kiai Hasyim adalah salah seorang santri yang termasuk golongan orang-orang yang bercita-cita seperti ini. Sejak berumur 12 tahun, Ia sudah mulai mengajar apa yang dapat diajarkan kepada teman-temannya dari kitab-kitab sederhana mengenai ilmu agama. Kabarnya pekerjaan ini dimulai sejak tahun 1287 H/1883 M dan dilakukannya manakala ada waktu luang. Dengan cara ini Ia sudah terkenal sejak kecil sebagai seorang guru yang populer di kalangan kawan-kawannya, dapatlah dimaklumi. Ditambah pula Ia adalah salah seorang yang cerdas otaknya, dan sangat ikhlas dalam beramal.
Menurut catatan yang sangat boleh kita pelajari, Kiai Hasyim itu mulai mengajar dengan sungguh-sungguh, yaitu sepulang dari Makkah dalam tahun 1314 H/1900 M. Mengenai tempatnya yang pertama boleh jadi di Nggendang, tidak jauh dari Tambakberas, Jombang, di tempat Ia lahir dan pernah belajar. Masjid tempat Ia mengajar itu sampai sekarang masih ada, tentu saja sudah banyak perubahan.
Menurut catatan riwayat hidupnya sebagaimana yang tersebut dalam buku “Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa”, diterbitkan oleh Gunseikanbu Jepang, beliau pernah mengajar di Makkah dan kemudian di Kemuring (Kab. Kediri).
Pengajiannya dengan segera populer, tidak saja disebabkan karena Ia sudah menjadi seorang ulama yang diakui alimnya, dengan pengetahuan pengetahuan yang luas, dibawa pulang dari Makkah, tetapi sejak dari zaman santri, Kiai Hasyim seorang yang sudah berpengalaman tentang mengajar.
Tidak berapa lama mengajar di tempat ini, kemudian Kiai Hasyim mencari tempat lain sebagai pesantrennya. Apa yang menjadi alasan Ia pindah, tidak disebut dalam riwayat hidupnya. Tetapi mungkin sekali alasan-alasan yang menggerakkannya pindah itu ialah alasan-alasan keyakinan yang telah kita sebutkan tadi. Sekitar Nggendang itu telah terdapat banyak pesantren, di antaranya Pesantren Tambakberas dan Denanyar.
Selain dari itu di Kabupaten Jombang terdapat lebih dari mencukupi pesantren-pesantren, seperti Pondok Sambong, Pondok Sukopuro, Pondok Paculgoang, Pondok Watugaluh, Pondok Nggajam, Pondok Suaru, Pondok Mbolongrejo, Pondok Kuaringan, Pondok Wonokojo, Pondok Mbalonggadung, Pondok Pojok Kulon, Pondok Rejoso, Pondok Ndukuhsari, Pondok Seblak, dan lain-lain.
Kiai Hasyim adalah seorang idealis dan ingin melaksanakan idealismenya dengan tidak dipengaruhi oleh sistem orang lain. Kemauannya yang keras dan kesanggupannya membuka kemungkinan baginya. Kepalanya sudah penuh dengan contoh-contoh dan sejarah Nabi dari pengalaman waktu Ia belajar, baik di Indonesia maupun di Makkah.
la memilih sebuah tempat untuk tujuannya sebuah desa yang jauh letaknya dari kota Jombang. Tebuireng merupakan suatu piihan yang menimbulkan tertawaan dan ejekan temannya sesama kiai. Tebuireng tidak saja terletak jauh di luar kota kabupaten, tetapi merupakan sebuah kelurahan yang tidak aman, karena desa itu penuh dengan penduduk yang belum beragama atau yang hidupnya dan adat istiadatnya sangat bertentangan dengan perikemanusiaan.
Merampok dan merampas, berjudi dan berzina adalah suatu kebiasaan yang digemari di kampung itu. Sepanjang jalan penuh dengan rumah plesir, yang didiami oleh biduan-biduan dan penjual minuman keras, dilayani oleh perempuan-perempuan jahat, yang menerima tamu tamu dari kota. Sorak-sorai seperti dalam pasar malam disudahi dengan perkelahian atau pukul-pukulan, yang mengacaubalaukan kehidupan dalam desa itu.
Teman-temannya yang setia menasihati Kiai Hasyim jangan meneruskan cita-citanya untuk mendirikan pesantren dalam desa itu dengan menunjukkan kekurangan-kekurangan dan bahaya-bahaya yang dihadapinya.
Kiai Hasyim menjawab pikiran-pikiran itu dengan senyum dan berkata, “Menyiarkan agama Islam ini artinya memperbaiki manusia. Jika manusia itu sudah baik, apa yang akan diperbaiki lagi darinya? Berjihad artinya meng hadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan, contoh-contoh ini telah ditunjukkan Nabi kita dalam perjuangannya.”
Orang kenal Kiai Hasyim dari kecil. Orang kenal Kiai Hasyim dengan kemauannya yang keras membatu. Orang kenal Kiai Hasyim dengan sifat pemimpinnya yang lemah lembut, tetapi tidak pernah mengalah dan gagal.
Kiai Hasyim mencoba menanam mumbang di tengah-tengah dusun Tebuireng, yang disebut orang kacau dan penuh dengan orang jahat. Siapa yang berjuang di atas jalan Allah, Ia akan ditunjuki tiara-tiara (petunjuk) untuk mencari kemenangannya. Demikian pendiriannya.
Kiai Hasyim dengan imannya tetap ingin meneruskan cita-citanya, bagaimanapun besar kesukaran dan bahaya yang akan dihadapinya. Pada tanggal 26 Rabi’ul Awal tahun 1899 M pindahlah Kiai Hasyim ke sana, ke tempat yang ditujunya, dan pada hari itu lahirlah sebuah pesantren yang bersejarah dalam pergerakan Islam di Indonesia, Pesantren Tebuireng.
*Santri Tebuireng.