Pengertian dan Hukum Talfiq Madzhab

Ilustrasi: Najib

Oleh: Hilmi Abedillah*

Dahulu, para sahabat meminta fatwa hukum langsung kepada Nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya. Setelah wafat, Nabi meninggalkan warisan berupa manuskrip Al Quran juga yang berada di dalam hafalan para sahabat. Baru pada abad ke-3 H dibukukanlah hadis yang sebelumnya hanya berada pada ingatan. Dengan begitu, sumber hukum Islam dapat digali dengan mudah.

Pada masa tabiin dan tabiit tabiin, muncul banyak mujtahid yang menguasai Al Quran maupun hadis, selain juga ilmu-ilmu penunjang ijtihad. Mereka tidak terhitung jumlahnya, namun hanya beberapa yang diakui, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali. Sedangkan para awam yang tidak mampu melakukan ijtihad disebut dengan muqallid (orang yang taklid). Karena tidak bisa berijtihad sendiri, mereka mengikuti pendapat mujtahid yang sudah ada.

Perbedaan keempat madzhab tersebut terasa mendasar, karena memiliki prinsip hukum yang berbeda-beda. Akibatnya, pendapat mereka tentang suatu masalah juga berbeda-beda. Dari hukum suatu ibadah, sampai syarat, rukun, dan kaifiyah (tatacara)-nya. Sementara muqallid dalam satu kondisi tidak bisa mengikuti madzhab secara utuh dan harus melakukan talfiq.

Lazimnya, talfiq dalam fikih dan ushul fikih digunakan sebagai istilah:

الإتيانُ في مسألةٍ واحدةٍ بكيفيةٍ لا تُوافقُ قولَ أحدٍ من المجتهدين السابقين

Menjalankan suatu masalah dengan cara yang tidak sesuai dengan satu pun mujtahid terdahulu.”

Dengan begitu, talfiq menggabungkan dua/lebih pendapat madzhab berbeda dalam satu ibadah. Contohnya orang yang membasuh beberapa helai rambut ketika wudlu, mengikuti madzhab Syafi’i, dan ketika menyentuh wanita ia tidak mengulangi wudlunya lagi, mengikuti madzhab Abu Hanifah. Kemudian ia shalat.

Shalat tersebut batal menurut Abu Hanifah, karena madzhabnya mengharuskan membasuh minimal seperempat kepala, selain juga batal menurut madzhab Syafi’i yang menganggap bahwa bersentuhan wanita membatalkan wudlu.

Terkadang, talfiq dipakai sebagai istilah yang lebih umum menurut sebagian ulama. Yakni, muqallid menggunakan suatu madzhab untuk sebuah kasus, dan madzhab lain untuk kasus lain, sementara kedua kasus itu masih saling berhubungan. Jelas-jelas ini bukan suatu larangan, kecuali bagi pendapat yang mengharuskan berpegang teguh pada satu madzhab saja.

Pandangan tentang keharusan berpegang pada satu madzhab saja dinilai rusak, karena menunjukkan sikap taklid yang melampaui batas. Pada zaman sahabat dan tabiin, muqallid dibebaskan untuk bertanya kepada siapa saja di kalangan ulama. Saat ia bertanya suatu masalah kepada seorang ulama, ia tidak dilarang bertanya pada ulama lain tentang kasus lain.

Talfiq juga digunakan untuk menunjukkan pendapat baru (qaul jadid) yang terdiri dari dua pendapat berbeda dalam satu masalah, atau dengan sederhana bisa disebut “pembaruan pendapat baru”. Selain itu, juga dipakai sebagai fatwa mujtahid yang terdiri dari dua pendapat tanpa ada pengunggulan (tarjih) di antara keduanya. Ini dikarenakan mufti ingin mengeluarkan mustafti (orang yang meminta fatwa) dari posisi sulitnya. Inilah yang disebut dengan muro’atul khilaf.

Ulama berbeda pendapat tentang talfiq yang dalam definisi pertama “menjalankan suatu masalah dengan cara yang tidak sesuai dengan satu pun mujtahid terdahulu”. Terkadang, muqallid melakukannya dengan sengaja, kadang juga tidak.

Apabila hal itu dilakukan tanpa sengaja, maka jelas tidak dilarang. Karena ijma’ bahwa ia boleh mengamalkan fatwa dari mujtahid siapapun. Ia tidak dicegah meminta fatwa kepada Syafi’iyyah tentang wudlu dan meminta fatwa kepada Malikiyah tentang batalnya wudlu. Kemudian ia wudlu tanpa membasuh keseluruhan kepala dan menyentuh wanita lain.

Apabila talfiq dilakukan sengaja, maka tidak sah. Karena bisa jadi ia jatuh dalam perbedaan nash-nash syariat yang ia tidak ketahui. Dan karena menjalankan pendapat baru tanpa ada fatwa merupakan tindakan yang didasari hawa nafsu. Itu bertentangan dengan prinsip beragama.

Sebagian ulama memberikan syarat penting dalam talfiq: [1] tidak bertentangan dengan ijma’ atau nash Al Quran dan sunnah, [2] tidak digunakan untuk membebaskan diri dari tanggungan beban (tidak untuk meringankan).

Namun, menurut madzhab Maliki, boleh taklid kepada setiap madzhab Islam yang mu’tamad (diakui), sekalipun talfiq, dalam keadaan darurat, hajat, lemah, maupun udzur. Karena talfiq tidak dilarang menurut Malikiyah, pun sebagian Hanafiyah, sebagaimana kebolehan mengambil pendapat paling ringan dari beberapa madzhab. Akan tetapi, talfiq harus didasari kebutuhan dan maslahat, bukan main-main atau mengikuti hawa nafsu.

Karena agama Allah agama yang mudah, kebolehan talfiq merupakan bagian dari kemudahan itu. Allah berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. al-Baqarah: 185).


Sumber:

Ushul Fiqh ‘Iyadl bin Nami, 333-334

Al-Fiqh al Islami wa Adillatuhu, I, 9


*Tim Redaksi Majalah Tebuireng

Exit mobile version