KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah (baju putih) saat mengisi Mimbar Pesantren dan Seminar Nasional di STAI al Hikmah Tuban pada Sabtu (16/12/2017). (Foto: Amin Zen)

Tebuireng.online– Kebinekaan atau keragaman sudah ada sejak ratusan tahun yang  lalu dan menjadi identitas Bangsa Indonesia. Generasi muda bangsa harus memahaminya. Untuk itu, pendidik juga perlu mengetahui sejarah Indonesia yang berbasis kebinekaan.

Hal itu disampaikan Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) ketika menjadi narasumber acara Mimbar Pesantren dan Seminar Nasional yang bertema “Mencetak Insan-insan Pendidik Berbasis Nilai-nilai Luhur Kebinekaan” yang digelar oleh HMP MPI Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) al Hikmah Tuban, Sabtu (16/12/2017).

Dalam kesempatan itu, kiai yang juga mantan Wakil Ketua Komnas HAM itu menegaskan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, namun dapat bersatu padu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Menurut salah satu tokoh NU ini, kebinekaan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan menemani sejarah Bangsa Indonesia, bahkan telah menjadi identitas. “Kalau kita belajar antropologi, itu (masyarakat Indonesia, red) datangnya dari mana-mana, tidak jelas. Saya ini katanya keturunan Tionghoa, Arab dan Jawa. Ya itulah Indonesia,” tegas beliau.

Oleh karena itu, menurut beliau, sangat penting pendidik mengetahui sejarah Indonesia yang berbasis kebinekaan. Termasuk kontribusi-kontribusi agama dalam pendidikan yang melahirkan adanya etika dan estetika.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Ajaran Hindu (dan) Budha yang lebih dulu dari Islam memberikan sumbangsih nilai dan norma di masyarakat. Islam memberikan sumbangsih perdagangan nasional. Pendidikan pesantren ada jauh sebelum Indonesia merdeka dan Kristen (memberikan sumbangsih, red) manajemen pengelolaan pendidikan, Jadi semua agama memberikan sumbangsih di Indonesia,” jelas Gus Sholah lebih lanjut.

Sebagi pendidik, menurutnya harus menghargai adanya perbedaan-perbedaan pendapat. “Pendidik tidak hanya mengajar, yang artinya mentransfer ilmu pengetahuan saja, tapi pendidik yang pertama itu adalah membentuk karakter, membentuk akhlak,” pungkas adik Gus Dur itu.


Pewarta:           Rif’atuz Zuhro

Edito/Publisher: M. Abror Rosyidin