sumber gambar: www.google.com

Oleh: Fitrianti Mariam Hakim*

Selayang Pandang

KH. Bisri Syansuri adalah ulama yang sangat dihormati. Dalam mengambil keputusan, ia selalu berhati-hati sehingga keputusan terhadap suatu kasus itu menjadi keputusan yang bijak dan mengandung kemaslahatan bagi umat. KH. Bisri Syansuri adalah adik ipar sekaligus sahabat karib dari KH. A. Wahab Hasbullah dan juga santri dari KH. M. Hasyim Asy’ari.

Namanya pun harum dan populer di kalangan masyarakat Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan namanya sering juga dikenang ketika orang-orang melihat sebuah pesantren yang kini berdiri kukuh di Jombang, Jawa Timur. Pesantren Mambaul Ma’arif di Denanyar itulah hasil perjuangan KH. Bisri Syansuri dalam dakwah Islam. Dengan kata lain, dia juga turut mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kendati begitu, KH. Bisri Syansuri juga seorang ulama yang bergerak aktif dalam membesarkan NU, sebagaimana perjuangan KH. M. Hasyim Asy’ari dan KH. A. Wahab Hasbullah. Tidak sekadar dalam perjuangan agama Islam, KH. Bisri Syansuri juga turut membawa NU dalam gencar politik, baik di era Orde Lama maupun Orde Baru.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Adapun buah pemikirannya bisa ditangkap melalui pesantren yang dibangunnya di Denanyar. Ketika itu, pesantren tersebut membuka kelas untuk para santri perempuan. Dengan demikian, menggunakan kacamata fikih yang mendalam, KH. Bisri Syansuri melakukan ijtihad dan hasilnya bisa diterima oleh khalayak. Bahkan, hal itu menjadi terobosan baru dalam dunia pendidikan pesantren.

Untuk lebih jauh dan mendalam, mari membaca sepak terjang KH. Bisri Syansuri, ulama yang mencintai hukum fikih ini.

Mendirikan Pesantren Denanyar

Di tahun 1914, ibunda Kiai Wahab, Nyai Latifah, dan adiknya, Khadijah, pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka berdua pun disambut oleh Kiai Wahab yang ketika itu masih berada di Makkah untuk memperdalam keilmuannya. Namun demikian, Kiai Wahab juga melihat adanya suatu kesempatan lain. Kiai Wahab melihat Kiai Bisri akan cocok jika dijodohkan dengan adiknya. Kiai Wahab pun menjodohkan Kiai Bisri dengan adiknya Khadijah.

Gayung pun bersambut, perjodohan itu disetujui oleh kedua pihak. Jadilah, Kiai Bisri menikah dengan adik Kiai Wahab, Khadijah. Pernikahan pun dilangsungkan di Tanah Suci. Dengan demikian, hubungan antara Kiai Wahab dan Kiai Bisri kini tidak hanya sebatas persahabatan tetapi kekeluargaan. Kiai Bisri menjadi adik ipar dari Kiai Wahab.

Dari pernikahan Kiai Bisri dengan Khadijah, kelak dikaruniai beberapa anak. Salah satu anak perempuannya yang bernama Sholihah di kemudian hari menikah dengan salah satu putra Kiai Hasyim, yakni Kiai Wahid Hasyim. Dari pernikahan Kiai Wahid dengan Sholihah itu, lahirlah Gus Dur, Gus Sholah, dan lainnya.

Masih di tahun yang sama, sepulang dari Makkah dia telah bermetamorfosis menjadi seorang ulama. Karenanya sudah pantas Kiai Bisri mendapat gelar ulama. Di samping keilmuannya sudah matang dan mendalam, dia juga memiliki spesialisasi keilmuan yang lebih mendalam, yakni pada bidang fikih. Oleh karena itu, pantslah orang-orang memanggilnya Kiai Bisri. Pantas pula namanya di tulis dengan KH. Bisri Syansuri.

Hanya saja KH. Bisri Syansuri tidak menetap tinggal di Tayu, tanah kelahirannya. Melainkan tinggal di Tambakberas dan mertuanya. Pesantren Tambakberas yang diasuh oleh mertua Kiai Bisri, yakni Kiai Hasbullah yang tidak lain adalah ayahanda dari Kiai Wahab. Akan tetapi Kiai Bisri tidak lantas meneruskan kepengurusannya di Pesantren Tambakberas. Kelak Pesantren itu diteruskan oleh kakak iparnya, Kiai Wahab. Sementara itu, Kiai Bisri mendirikan pesantren sendiri di Denanyar. Pendirian pesantren di Denanyar tersebut menandai bahwa Kiai Bisri memulai babak baru lagi kehidupannya yang tidak bersandar kepada orang lain.

Sebagaimana di Tebuireng yang merupakan sarang kemaksiatan, Denanyar pun merupakan daerah yang rawan kemaksiatan. Kiai Bisri datang ke Denanyar tidak terburu-buru mendirikan pesantren. Sebagaimana yang dinilai oleh Kiai Hasbulloh, mertuanya, bahwa Kiai Bisri telah mampu menjadi kepala rumah tangga yang mampu menjadi tulang punggung keluarga lantaran kemampuannya dalam dunia pertanian. Melalui pertanian itu pulalah Kiai Bisri memulai perannya di Denanyar, sebuah daerah yang rawan kriminalitas.

Setelah itu, dimulailah upaya untuk mengajar anak-anak para tetanggan dan sekitarnya yang sudah tentu mendapat tentangan dari pihak-pihak yng tidak menyetujuinya. Karena kondisi sosial dan kultural Denanyar sangat rawan. Pencurian, pembegalan, dan kriminalitas lainnya terjadi di sana. Bahkan, pembunuhan hampir setiap hari. Parahnya lagi, perempuan tuna susila juga ditempatkan pada titik tertentu sehingga membuat citra buruk pada Denanyar. Secara garis besar, Denanyar kala itu menjadi sebuah lokasi yang sulit untuk mengaarkan ajaran-ajaran kasih sayang Islam.

Namun, Kiai Bisri melakukannya dengan sangat baik dan bisa dikatakan Indah. Hal yang dilakukan oleh Kiai Bisri adalah memanusiakan manusia. Dia mengajar masyarakat dengan tidak menggurui, tetapi dengan keteladanan terlebih dahulu. Dia berbuat baik kepada orang lain. Hal itu pulalah yang mendorong orang lain berbuat baik kepadanya. Hingga akhirnya, hati msyarakat semakin terbuka bahwa kebaikan itu menjadikan kebahagiaan.

Kiai bisri menerapkan fikih sosial secara apik. Dia bermuamalah secara santun. Dia sering terlihat membantu yang lemah dan miskin papa. Kebaikan sifat yang dipancarkannya pun secara berangsur-angsur mempengaruhi masyarakat Denanyar. Masyarakat di waktu kemudian memandang bahwa Kiai Bisri adalah seorang yang baik dan saleh. Masyarakat menjadi sadar bahwa seorang Kiai Bisri adalah ulama yang pantas menjadi rujukan masyarakat sekitar untuk belajar agama. Secara bertahap pula Kiai Bisri menjadi tempat bertanya masyarakat seputar agama Islam.

Apa yang dilakukan oleh Kiai Bisri mengundang ketertarikan masyarakat untuk menyuruh anak-anak mereka belajar kepada Kiai Bisri. Sehingga pesantren Denanyar pun tumbuh dari masa ke masa seiring dengan popularitas Kiai Bisri. Para santri datang dan pergi untuk belajar kepada para ulama. Sementara itu, Pesantren Denanyar pun mempunyai peran dalam hal itu. Tradisi saling keliling menjadikan pesantren Denanyar di bawah Kiai Bisri sebagai salah satu tempat untuk mengenyam pendidikan Islam. Pesantren Denanyar akhirnya menemukan momentum untuk diakui sebagai pusat pendidikan Islam.

Pemikiran tentang Gender

KH. Abdurrahman Wahid menuliskan bahwa tahun 1919 Kiai Bisri membuat percobaan yang sangat menarik, yaitu dengan mendirikan kelas khusus untuk santri-santri perempuan di pesantrennya. Mereka adalah anak tetangga sekitar, yang diajak di beranda belakang rumah Kiai Bisri sendiri. Langkah penting itu adalah percobaan pertama di pesantren untuk memberikan pendidikan sistematis kepada anak-anak perempuan muslim, setidaknya di Jawa Timur.

Bisa dikatakan pula bahwa Pesantren Denanyar di bawah pengasuhan Kiai Bisri itulah pesantren pertama di Jawa yang menerima santri-santri perempuan. Hal itu pun kemudian mencoba ditiru oleh banyak pesantren di zaman modern ini. Namun demikian, ujung-ujungnya adalah pemikiran Kiai Bisri tentang persoalan gender.

Selama ini, masyarakat umum hanya mengenal R.A. Kartini sebagai pejuang emansipasi. Secara usia, R.A. Kartini memang lebih dulu lahir dan lebih dulu memiliki peran. Akan tetapi, Kiai Bisri justru tidak menggebrak. Dia membuka kelas khusus untuk santri putri belajar di rumahnya sendiri dan bahkan dia sendiri yang turun tangan langsung dalam pengajarannya.

Pada awalnya, santri-santri perempuan yang belajar kepadanya adalah anak-anak dari msyarakat sekitar. Namun lambat laun, berdatanganlah santri-santri perempuan dari berbagai daerah ke Denanyar. Hal itu merupakan terobosan baru dan mendapatkan sambutan yang luar biasa bagi dunia pesantren pad aumunya meskipun bahwa awalnya dipandnag aneh.

Tidak lepas bahwa terobosan tersebut adalah hasil pertimbangannya secara matang. Kiai Bisri melihat bahwa perempuan justru menjadi pihak yang berada di kelas dua. Dengan begitu, ada diskriminasi kepada kaum perempuan. Kia Bisri pun mengahancurkan sekat tersebut dan menurutnya, perempuan juga berhak untuk belajar agama Islam secara lebih mendalam karena Islam itu agama untuk seluruh umat bukan hanya untuk kaum laki-laki.

Namun demikian, tentu saja Kiai Bisri memasang batasan-batasan tertentu dalam mengajar dan menerima santri-santri perempuan di pesantrennya. Kelas antara santri laki-laki dan santri perempuan pun harus dipisah. Jika para santri laki-laki menempati surau sebagai tempat belajarnya, maka para santri perempuan menempati bagian belakang rumah Kiai Bisri. Dengan perspektif fikih, Kiai Bisri membangun batasan-batasan tersebut, sehingga apa yang dilakukan itu tidak menyalahi syariat Islam.

Dari apa yang telah dilakukan oleh Kiai Bisri tersebut, nyatalah bahwa Kiai Bisri melihat suatu kasus dengan cara yang bijak untuk menuju kemashlahatan. Sebagaimana pembukaan kelas perempuan di pesantrennya, hal itu menunjukkan bahwa Kiai Bisri ternyata mampu mengambil kemashlahatan dari sebuah terobosan baru di dunia pesantren.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.