Oleh: Seto Galih P*

Keadaan bangsa Indonesia semakin hari semakin terpecah belah karena sikap yang membuat satu sama lain saling berbenturan dan bergesekan. Sikap tersebut salah satunya yakni fanatik terhadap golongan tertentu. Bila mana sudah fanatik terhadap golongannya, maka akan dihalangi pandangan untuk mencari mana yang benar. Walaupun salah, bisa dibilang benar. Tapi terhadap golongan lain, walaupun benar bisa dibilang salah. Ini merupakan bahaya dari fanatisme berlebihan yang bisa dilihat di Indonesia saat ini. Lalu bagaimana Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari memandang tentang hal fanatik/fanatisme? Mari kita bahas bersama untuk dijadikan solusi dan diaktualisasikan di era saat ini.

Fanatik dalam kamus KBBI berarti teramat kuat kepercayaan (keyakinan) terhadap ajaran (politik, agama, dan sebagainya). Fanatik diperbolehkan hanya dalam hal pokok dan dilarang dalam hal cabang. Fanatik terhadap perkara furu’ (perkara cabang dalam agama) itu tidak diperbolehkan oleh Allah Ta’ala, tidak diridhai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. HadratussyaikhKH. M. Hasyim Asy’ari  dalam kitabnya al-Tibyan fi al-Nahyi ‘an Muqatha’ati al-Arham wa al-‘Aqarib wa al-Ikhwan terekam nasihat-nasihat penting yang disampaikan dalam pidato Mu’tamar NU XV 9 Pebruari 1940 di Surabaya.

“Wahai para ulama yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap perkara-perakar furu’, dimana para ulama telah memiliki dua pendapat yaitu; setiap mujtahid itu benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini (fanatisme). Bela lah agama Islam, berusaha lah memerangi orang yang menghinal Al Quran, menghina sifat Allah dan perangi orang yang mengaku-ngaku ikut ilmu batil dan akidah yang rusak. Jihad dalam usaha memerangi (pemikiran-pemikiran) tersebut adalah wajib.” (KH. Hasyim Asy’ari, al-Tibyan fi al-Nahyi ‘an Muqatha’ati al-Arham wa al-‘Aqarib wa al-Ikhwan , hal. 33).

Dalam pidato tersebut, HadratussyaikhKH. M. Hasyim Asy’ari  menerangkan penyakit umat yang berbahaya itu antara lain ta’ashub (fanatisme). Sebagai penganut madzhab fiqh Imam Syafi’i, ia berpegang teguh kepada fatwa dari madzhabnya itu. Tetapi bukan berarti fanatik. Berpegangan madzhab itu penting dan wajib, karena belum sampai pada tingkatan mujtahid. Di hadapan peserta mu’tamar yang dihadiri ulama dari berbagai daerah, HadratussyaikhKH. M. Hasyim Asy’ari  menyeru untuk meninggalkan fanatisme buta kepada satu madzhab. Sebaliknya HadratussyaikhKH. M. Hasyim Asy’ari mewajibkan untuk membela agama Islam, berusaha keras menolak orang yang menghina Al Quran dan sifat-sifat Allah SWT, dan memerangi pengikut ilmu batil dan akidah yang rusak. Usaha dalam bentuk ini wajib hukumnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Maka dari itu untuk menghindari fanitisme buta yang menyebabkan terpecah belah umat Islam dan saling menyalahkan satu sama lain dibutuhkan yang namanya persautuan dan kesatuan umat yang mana di firmankan Allah Ta’ala dalam  surah Al-Hujurat ayat 10;

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (AQ. al-Hujurat: 10)

Hadratussyaikhmenginginkan persatukan umat Islam dan meninggalkan fanatisme buta yang berbahaya sampai-sampai lupa siapa musuh yang sebenarnya. Persatuan menurut KH. Hasyim Asy’ari harus dibangun di atas dasar keikhlasan dan kesadaran individu. Selain itu, perlu adanya kesadaran berdasarkan agama yang satu yaitu Islam (Mutiara-Mutiara Dakwah KH. Hasyim Asy’ari, hal. 294).

Hal demikian yang  dibangun untuk menyambung persaudaraan muslimin di saat kaum muslimin dijajah orang asing dahuluHadratussyaikhKH. M. Hasyim Asy’ari  adalah pejuang yang dikenal tidak pernah mau tunduk kepada penjajah Belanda dan Jepang. Ia sering dibujuk Belanda untuk tunduk, namun selalu menolak.

Pada sekitar tahun 1935, Belanda melakukan politik tipu dayanya. Gubernur Belanda bersikap lunak kepada pesantren Tebuireng. Pemerintah penjajah menawarkan segala bantuan. Tidak cukup sampai  disitu, Belanda menawarkan untuk memberikan gelar Bintang Perak kepada Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari atas jasanya dalam mengembangkan pendidikan Islam. Namun, gelar kehormatan dalam bidang pendidikan dan bantuan itu  ditolak.

Penjajah Belanda tidak putus harapan. Untuk kedua kalinya KH. Hasyim Asy’ari didekati dengan melakukan lobi-lobi melalui orang-orang suruhan Belanda. Menyampaikan maksud dari pemerintah Belanda akan memberikan gelar yang lebih tinggi lagi yaitu memberikan Bintang Emas. Pemberian kedua ini pun ia tolak sekali lagi. Sebab beliau tahu bahwa pemberian gelar itu cuma akal-akalan Belanda supaya beliau jinak kepada penjajah asing.

KH. Hasyim Asy’ari pernah menyampaikan pidato tegas dalam acara pertemuan ulama seluruh Jawa Barat di Bandung. Ia mengatakan:

“Kita seharusnya tidak lupa bahwa pemerintahan dan pemimpin mereka (Belanda) adalah Kristen dan Yahudi yang melawan Islam. Memang benar, mereka seringkali mengklaim bahwa mereka akan netral terhadap berbagai agama dan mereka tidak akan menganak-emaskan satu agama, akan tetapi jika seseorang meneliti berbagai usaha mereka untuk mencegah perkembangan Islam pastilah tahu bahwa apa yang mereka katakan tidak sesuai dengan apa yang mereka praktikkan. Kita harus ingat bahwa Belanda berusaha agar anak-anak kita menjauhkan mereka dari ajaran-ajaran Islam dan mencekoki mereka dengan kebiasaan buruknya. Belanda telah merusak kehormatan Negara kita dan mengeruk kekayaan. Belanda telah mencoba memisahkan ulama dari umat. Dalam berbagai hal, Belanda telah merusak kepercayaan umat terhadap ulama dengan berbagai cara.” (Mutiara-Mutiara Dakwah KH. Hasyim Asy’ari, hal. 294).

Yang diinginkan oleh KH. Hasyim Asy’ari dari semua sikapnya ini adalah supaya bangsa Indonesia bisa hidup mandiri, bebas dari interferensi asing, dan membangun negara yang adil dan beradab. Dalam keadaan umat Islam diserang dan dipojokkan terus oleh penjajah, maka KH. Hasyim Asy’ari membangun jaringan intelektual dan ulama muslim untuk menyatukan muslimin dalam satu wadah yang dikenal dengan Nahdhatul Ulama.

*Siswa Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng Jombang.

*Tulisan ini disadur dari kitab-kitab KH. Hasyim Asy’ari dan berbagai sumber.