Sistem Informasi Masjid (SIMAS) Kementerian Agama RI per-7 Oktober 2024 mencatat terdapat 307.627 mesjid dan 375.038 mushalla tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Sementara itu, penuturan dari Ketua Dewan Mesjid Indonesia (DMI) Yusuf Kalla dalam satu kesempatan mengungkapkan ada lebih dari 800 ribu mesjid dan mushalla.
Sederet fakta ini menunjukkan bahwa begitu banyak rumah ibadah yang sudah dan sedang dibangun di negeri mayoritas muslim ini. Namun dibalik itu semua tersimpan realita yang kurang mengenakkan. Ya, bejibunnya mesjid dan mushalla tersebut tak berdampak signifikan terhadap jumlah jama’ah yang mau memakmurkannya, apalagi terhadap ekonomi masyarakat sekitarnya.
Padahal salah satu ciri-ciri orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat diantaranya senantiasa memakmurkan rumah-Nya. Walhasil, tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari bahwa mesjid hanya dihuni segelintir kecil jama’ah terutama kaum sepuh dan orang tua lanjut usia.
Lantas, kemana perginya para pemuda harapan kita? Kemana larinya anak-anak dan remaja-remaja yang akan jadi pengibar panji-panji islam? Ya, tak lain dan tak bukan terpojok di warung-warung tongkrongan entah itu warung internet (warnet) lebih-lebih warung kopi (warkop/cafe).
Hal ini tentu menjadi masalah pelik terutama dalam tubuh internal kaum muslimin. Pemuda adalah tonggak kemajuan umat, pemuda merupakan tumpuan, namun anehnya pengurus mesjid jarang sekali memikirkan bagaimana cara menarik para pemuda-pemudi agar mau meramaikan mesjid. Pengurus mesjid hendaknya perlu memikirkan strategi yang lebih adaptif terhadap tantangan zaman. Jika tidak, lama-kelamaan jama’ah mesjid hanya akan menyisakan imam rawatib, muadzin dan beberapa pemain veteran yang duduk dengan bantuan fasilitas kursi lipat mesjid.
Implementasi program-program ibadah dalam mesjid tak bisa lagi hanya sekedar seperti shalat, ngaji, lalu pulang. Alangkah baiknya pengelolaan mesjid lebih menitikberatkan pada maksimalisasi kondisi tipologi masyarakat. Apabila di kampung tersebut mayoritas populasinya terdiri dari remaja dan anak muda, hendaknya mesjid berinisiatif untuk merekrut para pemuda sebagai duta mesjid yang mengajak masyarakat terkhusus sesama pemuda lainnya untuk shalat berjama’ah di mesjid. Selain itu, bisa juga dengan cara menyelenggarakan program-program pemberdayaan kepemudaan islam seperti implementasi program remaja mesjid, panitia hari besar islam, pemuda maghrib mengaji dan masih banyak lagi program lainnya.
Zaman keemasan masjid di bawah naungan Rasulullah
Manajemen mesjid perlu kiranya bertafakkur sekaligus flashback dan refleksi bagaimana tata cara nabi Muhammad memfungsikan mesjid secara sempurna. Sebagai pemimpin umat, rasul paling gampang untuk ditemui ketika di mesjid, terutama saat-saat shalat fardhu. Ya, mesjid menjadi semacam ‘balai warga’ dan pusat pengaduan masyarakat yang ingin menyampaikan semua masalah hidupnya. Mesjid menjadi tempat tongkrongan paling asyik terutama bagi para sahabat dan menjadi sumber solusi problematika umat.
Nabi berkumpul dan bermusyawarah di dalam mesjid, nabi mendidik dan mengajarkan islam di mesjid, melakukan aktifitas sosial ekonomi lewat pemberdayaan baitul maal, zakai infak dan sedekah juga di mesjid. Melakukan diskusi politik, mengatur strategi perang bahkan hingga merawat korban perang pun di mesjid. Selain itu mesjid juga berfungsi sebagai rumah singgah dan rumah tinggal bagi mereka yang berstatus pengangguran, musafir dan tunawisma. Sahabat Abu Hurairah dan banyak lagi sahabat lainnya tinggal di lingkungan mesjid nabawi atau yang lebih dikenal sebagai Ashab As-Shuffah (orang yang tak memiliki pekerjaan tetap dan tempat tinggal). Para sahabat sudah hafal bagaimana keseharian nabi, andai tak berada di rumah berarti kemungkinan besar beliau ada di mesjid. Ya, nabi secara kaffah memfungsikan mesjid sebagai pusat komando penyelenggaran pemerintahan sekaligus “istana negara”.
Berbanding terbalik dengan fenomena zaman now, jangankan hanya untuk bertemu bupati/wali kota, berharap bertatap muka dengan camat atau lurah saja sulitnya minta ampun.
Manajemen mesjid harus berbenah
Pengurus mesjid hendaknya tak lagi hanya berpegang pada prinsip konvensional yang sudah ada saat ini, manajemen perlu hijrah mindset dan berinovasi memikirkan strategi demi mengangkat marwah mesjid sebagai pusat perkumpulan seluruh kegiatan umat terutama bagi anak-anak muda. Distribusi uang kas mesjid benar-benar harus mencerminkan pengelolaan yang beradab. Maksudnya uang kas mesjid yang berjumlah puluhan bahkan ratusan juta tak boleh hanya dibiarkan mengendap dan tidak produktif. Pengurus mesjid hendaknya memperhatikan siapa warga di sekitar yang kelaparan, dhuafa, janda, fakir dan miskin yang membutuhkan bantuan darurat. Mesjid harus menjadi pusat pemberdayaan keumatan.
Di zaman serba internet sekarang, mesjid juga perlu mempertimbangkan pemanfaatan teknologi dan berbagai layanan untuk menarik para pemuda agar betah berlama-lama di mesjid.
Berikut beberapa strategi pemberdayaan pemuda yang bisa dipergunakan:
Pertama, menyediakan wifi gratis. Ya, internet ibarat kebutuhan primer di zaman serba instan seperti sekarang dan keberadaan wifi menjadi solusi. Implementasi strategi wifi gratis ini dengan cara menghidupkan wifi pada jam-jam tertentu di luar shalat dan mematikannya menjelang kumandang adzan. Lewat cara ini, masyarakat terutama para pelajar, mahasiswa dan ojol akan sangat terbantu dalam kesehariannya.
Kedua, mengadakan kajian keislaman khusus anak muda. Kajian tema-tema kepemudaan tentu akan menarik minat para pemuda, apalagi penceramahnya juga masih berusia muda seperti Ust. Hannan At-Taqi, Ust. Felix Shiaw, Muzammil Hasballah dan lainnya. Program ini memang tak bisa berjalan sendiri kecuali dengan dukungan berbagai pihak termasuk orang tua si pemuda tadi dan para donatur.
Ketiga, Tausiah terus sarapan (TTS). Salah satu cara untuk menarik para pemuda ke mesjid dengan cara menyediakan konsumsi termasuk sarapan ba’da kajian selesai. Umum dilakukan pada kajian ba’da subuh terutama pada hari minggu. Ada juga yang menyediakan fasilitas semacam coffee shop gratis di area sekitar mesjid seperti yang dipraktekkan oleh mesjid Sejuta Pemuda yang ada di Sukabumi. Nah, seandainya setiap selesai pengajian hal semacam ini dilakukan, tentu akan menambah ramai mesjid terutama kaum muda.
Keempat, pemuda mengaji. Permasalahan remaja dan pemuda muslim sekarang diantaranya banyak yang belum bisa bahkan buta huruf Al-Qur’an. Program dari manajemen mesjid ini pasti akan menarik para pemuda untuk datang ke mesjid, apalagi tanpa dipungut biaya. Insyaallah program ini akan meramaikan mesjid yang berisi para pemuda.
Kelima, memaksimalkan peran pemuda/remaja mesjid dalam kepengurusan mesjid. Selama ini pemuda menjadi bagian yang terpinggirkan dalam struktur kepengurusan mesjid. Kalau pun ada, hanya berfungsi sebagai marbot atau pun imam rawatib yang tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Harusnya pemuda menjadi salah satu stakeholder yang ikut dalam pengambilan keputusan rapat-rapat mesjid. Karena bisa jadi akan muncul ide-ide brilian dari kepala mereka.
Berbagai strategi pemberdayaan pemuda lainnya yang bisa dilakukan diantaranya menyediakan fasilitas olah raga seperti tenis meja, bulu tangkis hingga futsal seandainya lahan mencukupi. Selain itu mengadakan pelatihan bela diri gratis, program berbuka puasa sunnah, i’tikaf di mesjid, pemuda duta mesjid dan masih banyak lagi lainnya.
Intinya, degradasi fungsi mesjid yang ada sekarang harus diminimalisasi dan perlahan-lahan kita kembalikan mendekati fungsi mesjid ala Rasulullah. Memang bukan tugas mudah, namun juga bukan perkara yang mustahil. Niat yang kuat menjadi kunci untuk itu semua. Semoga mesjid bisa kembali berjaya dan kelak kita bisa menyaksikan jama’ah shalat subuh akan sama ramainya dengan shalat Jum’at, aamiin…
Penulis: Muhammad Adib