ilustrasi NU

Sebagai alumnus UIN Sunan Kalijaga, perlu rasanya kami memperkenalkan salah satu paradigma yang mungkin bisa menjembatani problem-problem yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Ya, Integrasi-Interkoneksi dengan nuansa yang solutif tentunya. Sesuai fakta empiris yang berlaku di masyarakat, seringkali mahasiswa UIN acapkali direpresentasikan sebagai mahasiswa yang pasti mengambil jurusan samawi. Padahal, kenyataannya banyak juga yang berasal dari prodi yang bersifat duniawi. Inilah uniknya produk UIN yang seharusnya menjadi daya tarik tersendiri dengan berbagai ciri khasnya.

Sederhananya, dari hal demikian pada tahap yang lebih ekstrem, masyarakat sering membagi keilmuan menjadi dua kutub raksasa, yaitu ilmu umum dan agama. Sebab itulah dikenalkan oleh Prof. Amin Abdullah istilah ‘Integrasi-Interkoneksi’, yang artinya tidak ada dikotomi keilmuan antara ilmu umum dan keagamaan. Saya jamin, bahkan mungkin sebagian dari mahasiswa UIN Jogja belum terlalu mengenal gaya teori yang demikian, atau bahkan masih sangat asing didengar. Padahal sejatinya yang menjadi ciri khas alumnus adalah gaya berpikir yang demikian.

Kecerdasan intelektual dan ritual harus terpadu dan berjalan beriringan. Apabila dalam dunia pesantren dikenal ilmu fikih dan tasawuf, maka untuk mengawal kepahaman akan hukum-hukum peribadatan, individu yang saleh ritual harus dilengkapi dengan hati yang terpaut dengan Allah SWT. Seperti halnya dalam perkuliahan, harapannya setiap mahasiswa yang menekuni suatu bidang keilmuan dapat menerapkan setiap apa yang didapat tanpa melupakan esensi-esensi dalam proses pembelajaran itu sendiri.

Memang harus bertahap untuk merubah pola pikir yang demikian. Bahwa kesalehan ritual tetap harus mendampingi intelektualitas setiap individu. Dikotomi atau pembedaan kutub-kutub keilmuan perlahan harus diminimalisir, bukan tanpa alasan, setiap cabang keilmuan memiliki perannya masing-masing, namun dalam satu gerbong konsensus ilmu pengetahuan yang memiliki metodologi yang disepakati.

Nahdlatul Ulama dan Negara

Tentu saja, salah satu pilar berdirinya dan berlangsungnya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, tanpa menegasikan yang lain adalah Nahdlatul Ulama. Sepak terjang dalam sosial kemasyarakatan sudah tidak perlu diragukan lagi. Sejak sebelum kemerdekaaan, bahkan embrio organisasi ini pun belum terbentuk, peran para pendiri dan ulama Nahdlatul Ulama sudah cukup besar dalam kenegaraan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Menginjak lebih dari satu abad lamanya, organisasi keagamaan yang berfokus pada sosial kemasyarakatan ini berkiprah dan berkontribusi pada setiap peran kelangsungan bangsa dan negara. Seperti pada umumnya pepatah, semakin tinggi pohon semakin kencang pula angin yang menerpa. Mulai dari fatwa Resolusi Jihad yang dicetuskan KH Hasyim Asy’ari, sempitnya ruang gerak NU dalam masa Orba, hingga perang melawan radikalisme dan gerakan khilafah semu.

Setiap kontestasi pemilihan umum lima tahunan, NU beserta akar rumputnya menjadi salah satu basis massa yang diperhitungkan keberadaannya. Bahkan, bisa mempengaruhi arah politik hingga 180 derajat. Bisa kita lihat pada Pemilihan Umum 2024 kemarin, masing-masing bersuara atas identitas nahdliyin. Tentunya yang perlu disadari bersama, bahwa nilai politis yang dipegang oleh setiap nahdliyin adalah sebesar-besarnya kepentingan umat dan negara.

Terlepas dari pro kontra beberapa waktu lalu mengenai konsesi tambang yang dikelola oleh organisasi kemasyarakatan, sebagai ormas yang cukup besar tentunya akan menghadapi ‘hantaman’ yang cukup keras dari berbagai lini. Entah dari internal itu sendiri, atau dari pihak eksternal yang merasa kepentingannya terganggu atau tidak terakomodir. Untung saja, saat ini sudah cukup meredam. Polemik-polemik yang dihadapi Nahdlatul Ulama dalam perjalannannya tentunya akan lebih menguatkan posisi organisasi baik secara de facto maupun de jure. Artinya, bahwa organisasi ‘keramat’ ini harus tetap eksis apapun alasannya, dan juga harus disadari bahwa setiap organisasi merupakan sesuatu yang dinamis dand disikapi dengan bijak.

Problem Nyata yang dihadapi

Secara geopolitik, bangsa ini dihadapkan pada posisi yang diuntungkan untuk secepatnya menjadi penengah dalam dunia politik internasional yang sedang memanas. Konflik timur tengah yang berkepanjangan, gesekan Ukraina dan Rusia yang saat ini memasuki babak baru dengan melibatkan sekutu-sekutunya, dan juga perang ekonomi yang kembali menguat saat Donald Trump terpilih kembali menjadi Presiden yang ke-47 Amerika Serikat. Posisi-posisi ini harus dilihat sebagai peluang untuk menguatkan nilai tawar Indonesia di mata dunia sebagai poros negara Non Blok.

Ketidakberpihakan yang selama ini terbangun, dengan skema politik bebas-aktif harus dirawat secara berkesinambungan tanpa tercoreng sedikitpun. Tentu saja tanpa mengurangi rasa keberpihakan terhadap keberpihakan, seperti halnya dalam Konflik Palestina-Israel yang harus mengambil peran untuk membela masyarakat sipil yang terdampak kejahatan perang. Begitu pula dalam konflik Ukraina-Rusia, perlu berhati-hati pula dalam memberikan statement kaitannya dengan konflik yang ada, karena apabila ditinjau lebih jauh melibatkan jaringan negara yang multilateral.

Penguatan ekonomi tentunya lebih menarik daripada ikut campur dalam konflik bersenjata yang tidak akan berimbas positif dalam setiap lini. Bahwa, dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden ke-47 AS, akan memberi pengaruh ekonomi global yang signifikan. Terlebih menguatnya China sebagai raksasa ekonomi dunia, dan terbentuknya BRICS.

Lalu, bagaimana mungkin dengan luasnya problem yang dihadapi kita menggunakan paradigma yang kasuistik? Tentu saja dengan penafsiran yang lebih luas. Nahdlatul Ulama sebagai pilar kemasyarakatan memiliki peran sangat sentral, bahkan dalam dunia internasional sekalipun. Belum lama ini, Duta Besar Palestina untuk Indonesia sowan ke Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bertemu KH. Yahya Cholil Staquf selaku Ketua PBNU pada bulan Agustus 2024 lalu. Dilansir detik.com, bahwa pembicaraan yang dilakukan mengarah pada perkembangan Palestina saat ini dan upaya-upaya penyelesaian multilateral untuk kemerdekaan Palestina. Yang artinya, secara garis besar NU sudah pada rel berorganisasi dengan konsep integrasi-interkoneksi, yang tidak hanya berfokus pada pelayanan peribadatan umat, namun juga hal-hal yang berkaitan dengan habluminannas atau dengan kata lain kemanusiaan yang universal di dalam politik internasional.

Di luar konteks internasional, NU juga selalu aktif melibatkan diri dalam setiap kegiatan sosial yang tidak terbatas pada nuansa keagamaan. Setidaknya terdapat tiga komponen yang selalu melekat dalam aktivitasnya yakni nasionalisme, kemanusiaan, dan kesejahteraan. Pengintegrasian ketiga komponen ini seringkali juga dibalut dengan proses-proses yang mengedepankan nilai-nilai ketuhanan. Butuh pondasi yang kuat untuk membentuk organisasi yang demikian, yang memang melalui berbagai usaha-usaha batiniah para pendiri melahirkan organisasi yang tidak terbatas pada ritual-ritual kesalehan vertikal, namun juga bermanfaat kepada sesama manusia secara umum.

Pengejawantahan yang demikian tentunya harus diregenerasi kepada penerus-penerus organisasi. Posisi organisasi yang sudah memiliki peran di dunia internasional harus diimbangi pemahaman akan posisi negara didalam bidak catur global. Sifat moderat dalam setiap upaya-upaya atau kebijakan yang dijalnakan, tidak boleh menghilangkan keberpihakan pada kebenaran. Itulah konsep integrasi-interkoneksi yang nyata dalam kebijakan.

Baca Juga: NU Lahir dari Kelompok Diskusi Agama, Negara, dan Ekonomi Umat


Penulis: Nur Muhammad Ikhsanun