Oleh: Seto Galih*
Gagasan tentang nasionalisme diklaim pertama kali muncul di kawasan Eropa, terutama di Inggris pada abad XVII. Saat itu terjadi gerakan puritanisme, yakni pembersihan intervensi-intervensi gereja terhadap kebijakan politik, sehingga mengilhami lahirnya konsepsi kemerdekaan seseorang yang pada akhirnya melahirkan ide nasionalisme.
Model nasionalisme inilah yang menjadi cikal bakal nasionalisme barat, yang cenderung apriori terhadap nilai-nilai religius. Di sisi lain, nasionalisme ala Eropa ini muncul karena sikap superior bangsa Inggris yang merasa lebih unggul dalam bidang penemuan-penemuan ilmiah, perdagangan, pengembangan pemikiran serta aktivitas politik pada saat itu.
Seiring dengan berjalannya waktu, nasionalisme mengalami berbagai dinamika sosial dan politik, sehingga berdampak pada rumusan mengenai makna nasionalisme itu sendiri, yang pada akhirnya justru melahirkan sebuah paham yang membahayakan kaum bawah (grass root). Hal ini diakibatkan oleh gerak langkah peradaban yang semakin cepat karena dukungan kemajuan industri, perdagangan, dan pendidikan. Berkonsekuensi pada terbentuknya secera perlahan-lahan golongan elite yang menjadi lebih cakap mempermainkan harapan-harapan serta kecemasan-kecemasan massa.
Sebagai agamawan, peran Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari sangat besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Walaupun tidak secara langsung ikut serta dalam mengusir penjajah, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari melawan dengan sumbangsih pemikiran dan fatwa-fatwanya. Yang paling terkenal fatwa tentang “Resolusi Jihad”, yang disampaikan tanggal 22 Oktober 1945.
Pengaruh pemikiran Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari tidak dapat diragukan lagi. Ide-ide yang dituangkan dalam bentuk tulisan masih belum memberi pengaruh yang masif dibandingkan dengan apa yang disampaikan melalui pidato-pidato. Pengaruh tulisan hanya terbatas pada kalangan muslim tradisional, khususnya pada masyarakat pesantren, pada masa-masa awal publikasinya.
Dari sini Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari memadukan keislaman dan kebangsaan. Ini terbukti dengan dikeluarkannya fatwa jihad melawan penjajah yang dikeluarkan satu bulan setelah diproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Waktu itu tokoh Islam (ulama) sudah menyepakati dihilangkannya tujuh kata “Ketuhanan dan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” dalam Piagam Jakarta.
Ini menandakan bahwa dalam pandangan beliau, termasuk juga Nahdhatul Ulama, bahwa Indonesia bukan negara Islam, tetapi negara nasional demokrasi yang menempatkan semua pemeluk agama sama di mata negara.
Pada tanggal 22 Oktober 1945, delapan minggu setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, terjadi peperangan di Surabaya. Untuk memobilisasi dukungan umat Islam, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa untuk tetap mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Fatwa tersebut sebagai berikut:
1) Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus wajib dipertahankan;
2.) Republik Indonesia, sebagai satu-satunya pemerintah yang sah, harus dijaga dan ditolong;
3.) Musuh Republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan sekutu (Inggris) pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia;
4.) Umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali;
5.) Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal alam radius 92 kilometer, sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu secara material terhadap mereka yang berjuang.
Lima butir fatwa Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari itu pun yang dikenal sebagai Resolusi Jihad yang menjadi sebab meletusnya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
*Siswa Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng Jombang.
**Disarikan dari berbagai sumber