sember gambar: academic indonesia.

oleh: Dimas Setyawan*

Perbedaan persepsi atas kesetaraan gender sering kali kita temukan dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya di Indonesia. Hal tersebut dapat diketahui dengan adanya dua kelompok. Kelompok pertama secara tertutup menolak paham kesetaraan gender, dan kelompok kedua menerima bahkan memperjuangkan kesetaraan gender. Kedua kelompok tersebut memiliki landasan dalil (dasar) masing-masing,

Kelompok yang menolak atas kesetaraan gender, berakar pemahaman yang telah diturunkan secara berangsur angsur dari satu generasi ke generasi, yang beranggapan bahwa seorang perempuan tidak perlu mendapatkan hak-hak yang sama sebagaimana kaum lelaki, seperti: mendapatkan pendidikan tinggi, hak suara di muka umum, bahkan sampai pada ranah pekerjaan profesional.

Adapun kelompok yang menerima kesetaraan gender berangkat bahwasanya posisi seorang perempuan dan laki-laki adalah sama-sama manusia, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama-sama diperjuangkan dan diperankan dengan baik. Dengan begitu, artinya semua sama berhak berkiprah pada suatu bidang dan memiliki kebebasan dalam berperan, selama itu baik, bermanfaat, dan bukan untuk merusak kemaslahatan umat.

Dalam mencermati problematika perbedaan pendapat dari kedua kelompok tersebut,  Imam Ghazali dalam Kitab As-Sunnah Nabawiyah mengatakan bahwa menghinakan seorang perempuan adalah bentuk suatu kejahatan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Baginya ajaran agama yang benar pastinya menolak tradisi memenjarakan seorang perempuan, mencekik kebebasannya dan menolak memberikan kepadanya berbagai hak dan kewajiban. Sebaliknya agama juga menolak tradisi bangsa-bangsa lainnya yang menjadikan kehormatan perempuan bagaikan rumput tak bertuan, yang diinjak-injak oleh siapapun.

Menurut Imam Ghazali,  perempuan diperbolehkan bekerja di dalam atau di luar rumahnya. Imam Ghazali pun menambahkan,

“jika disuatu masyarakat terdapat seratus orang dokter atau seorang guru, maka tidak salahnya  bila  setengah dari jumlah tersebut terdiri atas kaum perempuan. Yang terpenting akan konteks hal tersebut ialah adanya kesadaran masyarakat untuk dapat menjalankan norma-norma kesopanan yang telah diajarkan oleh syariat serta terjaganya batasan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.”

“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Al-Baqarah, 229).

Demikianlah penjelasan pandangan Imam Ghazali tentang perempuan dan hal-hal yang menjadi peran atau aktivitasnya. Semoga kita semua bisa menjadi manusia yang saling mendukung dalam kebaikan, mensupport untuk memperluas kemanfataan, dan menegakkan keadilan bagi seluruh manusia, termasuk perempuan. Sehingga terciptalah rahmatan lil alamin.

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng.