Cerpen oleh : Nurul Insani
Hakikat bertemu adalah untuk berpisah. Berpisah tak selamanya menjadi simbol akhir sebuah hubungan. Berpisah tak selamanya lara. Kadang kala berpisah menjadi satu kepastian yang dapat mengubah sifat seseorang agar lebih dewasa dalam menyikapi keadaan. Seperti perpisahan yang dialami oleh seorang anak dengan orang tuanya. Gadis kecil nan lugu ini gemar bercerita pada buku harian. Tiap sendu dan peluh, Ia wujudkan dengan tulisan. Keseluruhan tulisannya penuh dengan perasaan. Namanya Ziyadatul Ilmi, yang biasa dipanggil Ziya. Sudah tiga hari Ia tinggal di pesantren yang jauh dari kota kelahirannya.
Di bawah terik matahari yang menjulurkan cahaya hangatnya masuk ke dalam pesantren, wajah Ziya yang berhias jilbab kuning kepodang terlihat gelisah. Ia tidak sedang menggerutu, tidak juga membisu. Bertahun-tahun Ia hidup bersama Ayah dan Ibunya tanpa kekurangan apapun. Tak ayal jika beberapa hari ini Ia menangis sendu.
Setelah lulus Sekolah Dasar, orang tua Ziya memutuskan untuk mengirim putri sulungnya ini ke pesantren salaf di kota Gresik, sebab sudah saatnya Ziya belajar memaknai hidup secara mandiri. Selain itu, orang tua Ziya juga ingin agar kelak Ziya terbekali oleh ilmu-ilmu agama. Dengan demikian Ia tak akan terjerumus dalam kemaksiatan yang kian merajalela. Ziya tak bisa mengelak keputusan orang tuanya. Ia sadar bahwa ini demi kebaikannya sendiri. Bersandang ridho, maka berangkatlah Ziya ke pesantren ditemani orang tuanya.
“Nak, cepat keluarkan bajumu dari dalam tas. Ini lemarimu,” pinta Ibu Ziya. Ziya bergegas melaksanakan perintah Ibunya sembari memandang sebuah kotak berbentuk persegi yang ukurannya hanya dapat memuat buku dan empat potong baju. Inilah lemari kecil seadanya untuk para santri baru seperti Ziya. Beberapa menit kemudian sang Ibu keluar menghampiri suaminya yang sedari tadi menunggu di ruang tunggu khusus pengunjung lelaki. Sementara Ziya merapikan barang-barang keperluannya di kamar.
“Bu, apa Ziya sudah selesai beres-beresnya? Kalau sudah, ayo pulang, Bu! Kasihan anak-anak yang menunggu kita di rumah,” pinta Ayah Ziya dengan nada merajuk.
“Iyah, Pak. Sebentar lagi kusuruh Ziya keluar untuk segera menemui kita,” Sahut ibu Ziya.
Dari kejauhan terlihat Ziya berjalan lambat menghampiri orang tuanya. Hati kecil Ziya tak ingin berpisah, namun Ia juga tak ingin mengecewakan orang tua yang selama dua belas tahun ini merawat dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Ziya pun berusaha membiaskan perasaan sedih di raut wajahnya agar tak terlihat merah merona. Ziya mencium lembut tangan orang tuanya sebagai petanda mereka akan segera meninggalkan Ziya. Sebelum itu Ibu Ziya mengeluarkan selembar uang dari dompet lalu memberikannya pada Ziya. Ziya tertegun dan terdiam. Ia ingin menangis saja. Hebatnya Ziya, Ia tak sampai hati meneteskan air mata di depan orang tuanya. Demikian agar mereka tak merasa iba dan haru pada Ziya. Sesungguhnya, setiap tetes air mata yang Ziya tahan bukan karena nominal uang yang diperoleh dari Ibunya. Hanya saja Ziya tak ingin perpisahan yang sudah pasti meninggalkan rindu pada orang tuanya ini ditukar dengan uang.
***
Langit semakin gelap. Perlahan bintang yang bersanding dengan rembulan tak kuasa memancarkan cahaya. Awan hitam menggumpal. Cuaca mendung. Hujan pun turun mengguyur lapangan pesantren. Meski begitu, derasnya hujan tak dapat menandingi riuh suara santri bersenandung imrithi. Warna-warni jilbab berbaris rapi memenuhi mushala pesantren malam itu. Tak disangka, di sudut mushala paling depan, Ziya nampak khusyu’ dengan imrithi yang dipegangnya. Sebelum mengawali hafalan, bibirnya selalu berkecamuk lirih membaca Al-Fatihah yang dikhususkan pada Nabi SAW, Syaikh Syarifuddin Yahya Al-Imrithi yang merupakan pengarang nadzmul imrithi, guru, dan juga orang tuanya. Meski Ziya tak pernah unggul di kelas, hanya satu yang Ia harapkan, Ilman nafi’ah.
Semenjak rasa rindu pada orang tuanya mengalir deras, Ziya mulai berpikir tegas dan bertekad keras untuk membahagiakan orang tuanya. Sekalipun setelah beberapa bulan tinggal di pesantren, Ziya merasa belum ada perkembangan signifikan dalam dirinya. Terbukti bahwa selama ini belum ada satu pun pelajaran pesantren yang dapat Ia pahami. Terlebih dalam ilmu nahwu yang merupakan salah satu ilmu tata bahasa arab sebagai dasar membaca kitab kuning bagi santri pemula. Di pesantren para santri dituntut menghafal dan memahami 254 nadzam imrithi yang di dalamnya terkandung materi dasar membaca kitab kuning.
Sejak dulu, Ziya jago dalam menghafal. Ingatannya sangat kuat. Di tengah padatnya kegiatan pesantren, hanya dengan waktu enam bulan Ia dapat mengkhatamkan hafalan dari seluruh nadzam tersebut dengan lancar. Sayang, kelebihan itu terlampau kurang di hadapan asatidz jika Ziya tetap saja tak mampu memahami nadzam yang telah dihafalkannya. Hingga pernah sekali, seorang teman sengaja mencelanya.
“Kalaupun hafal seluruh nadzam sampai ke akar-akarnya tanpa paham apa maksud yang terkandung, seperti halnya menanam tumbuhan dan memberi pupuk, tapi jika tak pernah menyiramnya sama saja bohong. Jika begini terus, kukira kau tak akan dapat memetik bunga ataupun buahnya, Ziya,” sindir Nisak, teman sekelas sekaligus teman karib Ziya yang berhasil meraih peringkat tertinggi saat itu.
Bagai belati penghujam ulu hati, ucapan itu nyaris merentas seluruh harapan dan menyisakan kenistaan. Ziya sudah tak kepalang tanggung sakit hatinya pada Nisak yang sudah dianggap seperti saudara sendiri. Bukan motivasi yang Ia dapat dari temannya. Ziya berusaha lapang dada menerima segala apa yang ada dalam dirinya sebab Ia tak ingin menaruh dendam dan benci terhadap teman karibnya itu. Ziya hanya melempar senyum pada Nisak. Demi kenyamanan pesantren, Ia tak ingin beradu mulut membantah ucapan yang kiranya tak patut disampaikan.
***
Hari demi hari semangat Ziya semakin membara seiring dengan terpilihnya Ia menjadi kandidat peserta seleksi membaca kitab se Kabupaten Gresik. Ziya tak menyangka bahwa pihak asatidz mempercayakan amanah padanya yang tidak semua santri dapat mengemban.
“Ziya, kemari!” Ustadz Rosyad selaku wali kelas Ziya memanggilnya di ruang guru.
“Ada apa njenengan memanggil saya, Ustadz?” Tanya Ziya setelah mengetuk pintu dan memasuki ruang guru.
“Ada yang ingin kubicarakan denganmu, duduklah!”
“Iya, Ustadz,”
“Begini, akhir-akhir ini kuperhatikan kemampuanmu memahami nahwu semakin meningkat. Kalau kau tidak keberatan, apa kau mau membimbing teman-temanmu yang nilainya masih dibawa standard?”
“Iya, insya Allah saya akan berusaha membimbing mereka semampu saya, Ustadz,”
“Satu hal yang harus kau tahu. Kurang lebih dua bulan lagi akan ada seleksi membaca kitab se Kabupaten Gresik. Peserta yang lolos akan dikirim untuk musabaqoh tingkat provinsi nanti. Berdasarkan hasil rapat dengan kepala madrasah, kau dan Nisak ditunjuk untuk menjadi peserta mewakili pesantren ini,” Ustadz Rosyad menambahi.
Keresahan yang dulu pernah Ia khawatirkan merupakan kesempatan Ziya untuk mencari pengalaman setelah sekian lama Ia berusaha, belajar, dan bersabar. Tanpa berpikir panjang, Ziya bersedia menerima keputusan ustadz. Ia tak ingin menolak dengan alasan apapun meski Ia harus bersaing dengan Nisak yang lebih unggul dan pandai di kelas. Sebab baginya, menolak sama saja mengecewakan. Mengecewakan guru juga termasuk mengecewakan orang tuanya. Lantas Ziya berencana untuk tidak memberitahukan hal ini pada orang tuanya. Ia takut jikalau nanti keberuntungan tak berpihak padanya dan sudah pasti tak akan membuat bahagia orang tuanya.
***
Di waktu yang berbeda, Ziya memancarkan wajah berseri di balik kerudung putih sembari menyongsong hari penuh percaya diri dan mengutarakan segenap isi hati pada Ilahi. Ia duduk di hadapan para juri setelah master of ceremony menyebut nama indahnya dengan tegas dan hati-hati. Dengan mudah, Ziya dapat menjawab seluruh pertanyaan juri. Sama halnya Nisak. Nilai mereka sebanding, lebih tinggi dari peserta yang lain. Sehingga keduanya terpilih menjadi peserta yang akan dikirim untuk musabaqoh tingkat provinsi mewakili Kabupaten Gresik.
Jantung berdetak lebih kencang mengiringi harapan yang menyeruak dalam pikiran. Ziya berharap usahanya membuahkan hasil. Sebab ini merupakan salah satu cara membahagiakan orang tuanya. Meski tak sebanding dengan apa yang telah Ia dapat dari orang tuanya, setidaknya ada segelintir bahagia memukau di ujung harapan.
Satu minggu lagi Ziya dan Nisak diberangkatkan oleh pihak Departemen Agama Kabupaten Gresik menuju kota Probolinggo, di mana musabaqah tingkat provinsi diselenggarakan. Berdasarkan informasi dari panitia, seluruh peserta akan difasilitasi tempat tinggal di asrama Pesantren Nurul Qodim. Begitu pula dengan ustadz atau ustadzah pendamping.
Satu minggu ini juga Ziya mempersiapkan diri dengan mengajak Nisak berdiskusi tentang seluruh materi yang akan dilombakan. Ia juga menghubungi orang tuanya agar tak berkunjung ke pesantren untuk menjenguk Ziya sementara ini. Sesuai rencana, tetap saja Ziya tak menceritakan alasan logis pada orang tuanya agar menjadi kejutan istimewa untuk mereka. Namun satu hal yang tak pernah lupa Ia sampaikan pada orang tuanya melalui telpon.
“Bu, Ziya baik-baik saja. Doakan Ziya ya, bu. Doa terbaik Ziya harapkan dari ibu dan ayah,”
***
Musabaqah dimulai. Ziya menjawab dan menjelaskan beberapa pertanyaan juri secara detail dan sistematis. Semua juri menyimak penjelasan Ziya dengan seksama. Tak ada satu pun jawaban Ziya yang diragukan oleh juri. Tentunya hal ini menjadi nilai plus yang dapat dipertimbangkan untuk memasuki final.
Lima belas menit setelah menjelaskan, Ziya menemui Ustadz Rosyad yang sedari tadi berdiri menyaksikan penampilan Ziya di sudut ruangan.
“Ustadz, maaf jika penampilan saya dalam menjelaskan pertanyaan juri tadi kurang sempurna,”
“Tidak apa-apa. Sudah bagus, kok. Semoga hasilnya nanti memuaskan. Kita tunggu saja nanti malam saat pengumuman peserta masuk final dibacakan,” tutur Ustadz Rosyad.
“Iya, Ustadz,”
Malam yang diidamkan oleh seluruh peserta datang seperti cerahnya surya yang tak tertutup oleh tabir mendung. Dengan rasa penasaran, Ziya memperhatikan gulungan kertas yang sedikit demi sedikit dibuka oleh panitia dan mendengarkan pengumuman yang dibacakan oleh mereka.
Tiba-tiba tangan Ziya bergetar, terlebih saat panitia menyebut namanya yang tertera dalam daftar peserta masuk final. Dari enam peserta yang lolos final, Ziya berada di urutan ketiga. Ia sangat bahagia. Ia tersenyum tipis namun tetap saja ada senja di pelupuk mata. Tanpa sengaja, air mata bahagia mengalir mengikuti garis lengkung pipinya. Dari belakang, Nisak menepuk pundak Ziya dan mengucapkan selamat.
“Selamat dan semoga berhasil, Ziya. Maafkan aku yang selalu angkuh dan sering meremehkan kemampuanmu. Aku sadar, roda kehidupan pasti berputar. Tak selamanya unggul adalah juara. Begitu pun tak selamanya biasa-biasa saja adalah tak bias,”
“Iya, Nisak. Terima kasih banyak. Tak apa, wajar semua manusia pernah mengalami kekhilafan,”
Tiba-tiba mereka berdua dikagetkan oleh kedatangan Ustadz Rosyad.
“Ziya, bersiap-siaplah! Besok pagi final berlangsung,”
“Iya, Ustadz Rosyad,” sembari menganggukkan kepala.
Terlepas dari persiapan final, seperti biasa Ziya menuliskan hari-harinya. Ia merangkai huruf demi huruf hingga menjadi kata dan untaian kalimat indah. Tidak cukup itu, Ziya juga membayangkan jika nanti Allah menakdirkannya menjadi juara musabaqah ini, hal pertama yang akan Ia lakukan saat bersua dengan orang tuanya adalah memanjakan mereka, meluapkan rindu dalam dada, dan berterima kasih atas kasih sayang yang telah diberikan sehingga detik ini Ziya dapat mempersembahkan piala sang juara untuk orang tuanya. Semua yang dibayangkannya, Ia tulis dalam catatan harian. Kegiatan ini terus berlangsung setiap hari sesaat menjelang tidur malam.
Tiada hari yang dirasa menjemukan bila ikhlas bersanding dengan ketulusan. Pada pagi yang tak biasa, Ziya beranjak menuju gedung musabaqah. Final segera dimulai. Peserta akan dipanggil satu per satu sesuai urutan abjad nama masing-masing. Yang pasti Ziya berada di urutan terakhir. Sekali lagi, Ziya menambatkan niat dalam hati bahwa semua ini untuk sedikit membahagiakan orang tuanya.
Betapapun Ziya sangat bahagia untuk kesekian kalinya. Usahanya membuahkan hasil. Piala sang juara telah digenggamnya setelah panitia menyebut satu nama dalam penutupan musabaqah yang tak lain adalah nama Ziya.
Malam semakin tenteram seiring bulan dan bintang bersinar terang. Memadu kasih di sekitar langit yang kelam. Dingin pun mulai mencengkeram. Ziya memutuskan segera berwudu dan memasuki kamar. Tak seperti malam-malam sebelumnya, tiba-tiba Ziya merasakan kantuk yang dahsyat setelah menulis semua peristiwa hari ini dalam catatan hariannya. Ia lalu menarik selimut seraya berdoa.
“Bismikallahumma ahyaa wa bismika amuut,”
Lima belas menit kemudian Nisak menyusul Ziya, memasuki kamar. Pandangan Nisak tertuju pada catatan harian milik Ziya yang sedang dalam keadaan terbuka. Dalam hati Nisak, ada rasa ingin membacanya.
Probolinggo, 29 Juni 2016
Ribuan mimpi kuukir dengan kata. Bagiku, meski tak begitu indah dibaca, yang terpenting usahaku penuh makna. Tiada waktu yang kurasa indah bila ku tak bisa membahagiakan mereka, Ayah dan Ibuku. Aku pernah terjerembab dalam diam. Hingga suatu ketika diamku berbuah lamunan. Lamunan yang mengantarkanku meraih asa yang terpendam dalam dada. Sejak saat itu, aku mulai membuka mata, mengumpulkan kembali semangat yang dulu mereda, dan mantap dalam hati bahwa aku bisa. Hari ini piala sang juara telah kubawa. Aku sudah tak sabar menunggu hari esok, di mana aku akan meninggalkan kota ini dan kembali ke pondok. Besok pagi aku harus menelpon Ibu agar lusa segera sambang ke pondok. Lalu kan kuceritakan semua peristiwa yang kurahasiakan dari Ayah dan Ibu. Dan kupersembahkan pula piala dan hadiah uang ini untuk mereka. Meski nominalnya tak seberapa dibanding dengan apa yang sudah mereka berikan padaku, setidaknya dengan uang ini aku bisa sedikit meringankan beban mereka. Dan dengan piala ini, kuharap akan ada bahagia yang terlintas di raut wajah mereka. Hari ini adalah hari yang melelahkan. Aku sudah tak kuasa menahan kantuk. Aku harus istirahat sebab dinginnya malam membuat tubuhku seperti tersayat.
***
Sebelum subuh, Nisak bergegas mengemasi pakaian dan barang bawaannya. Agaknya Ia keheranan melihat Ziya yang masih tidur dengan pulas. Padahal, biasanya Ziya bangun lebih dulu daripada Nisak. Anehnya lagi, Ziya tidur dengan posisi yang sama seperti pada saat Nisak membaca catatan hariannya malam itu.
“Ziya, ayo bangun! Setelah shalat Subuh, kita harus berkumpul di halaman. Secepatnya pagi ini kita kembali ke pondok,” seru Nisak sembari menggoyang-goyangkan kaki Ziya agar segera bangun.
Berkali-kali Nisak mencoba membangunkan Ziya, namun tetap tak ada respon dari Ziya. Nisak mulai panik. Ia khawatir sesuatu terjadi pada Ziya. Sesegera mungkin Nisak menemui Ustadz Rosyad dan menceritakan keadaan Ziya pagi ini. Tanpa basa-basi, Ustadz Rosyad meminta Nisak untuk mengantarkannya melihat keadaan Ziya.
Ustadz Rosyad mencoba memeriksa denyut nadi tangan Ziya. Tiada reaksi. Nisak terkejut dan menangis seketika. Ustadz Rosyad langsung menghubungi panitia, pihak asatidz yang lain dan terutama orang tua Ziya.
“Mengapa teman sebaik Ziya begitu cepat meninggalkanku yang baru saja menyadari akan ketulusannya?” ucap Nisak dengan nada lirih sambil terisak.
“Sebab Allah sangat menyayanginya, Nisak,” sahut Ustadz Rosyad yang tanpa sengaja mendengar ucapan Nisak.
***
Sehari setelah pemakaman Ziya, Nisak meminta izin pada pihak keamanan pesantren untuk berkunjung ke rumah orang tua Ziya. Nisak menjelaskan maksud dan tujuannya. Dan pada akhirnya pihak keamanan dapat memahami penjelasan Nisak. Ia pun diizinkan.
Sesampai di rumah orang tua Ziya, Nisak menceritakan semua peristiwa yang dirahasiakan Ziya pada orang tuanya. Mulai dari terpilihnya Ziya dalam lomba membaca kitab se Kabupaten Gresik hingga perjuangan Ziya untuk mendapatkan piala dan uang ini demi membahagiakan orang tuanya. Tak lupa, Nisak juga menyerahkan sebuah catatan harian pada orang tua Ziya. Catatan harian yang mengungkap seluruh mimpi dan asa Ziya yang sekian lama terukir dengan kata dan terpendam dalam dada.
Penulis adalah Mahasiswa Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surabaya