ilustrasi: hukumonline.com

Pertanyaan tentang kapan akan menikah bisa memiliki dampak psikologis yang beragam pada anak, terutama tergantung pada bagaimana pertanyaan tersebut disampaikan dan bagaimana anak menghadapinya. Beberapa dampak yang mungkin terjadi termasuk:

Tekanan Emosional: Anak mungkin merasa tertekan atau cemas jika pertanyaan ini terus-menerus diajukan kepadanya. Ini bisa membuat mereka merasa tidak cukup atau gagal jika mereka belum memiliki rencana pernikahan dalam waktu yang diharapkan oleh orang lain.

Stres dan Kecemasan: Pertanyaan tentang kapan menikah dapat menciptakan stres tambahan pada anak, terutama jika mereka belum siap secara emosional atau finansial untuk memikirkan pernikahan.

Perasaan Tidak Diterima: Jika anak merasa pertanyaan ini mengacu pada ekspektasi tertentu dari keluarga atau masyarakat, mereka mungkin merasa tidak diterima atau tidak dihargai jika mereka belum mencapai milestone tersebut.

Kekhawatiran Identitas: Anak mungkin mulai meragukan diri sendiri atau merasa tidak yakin tentang identitas mereka jika pertanyaan ini sering diajukan, terutama jika mereka merasa tekanan untuk mencocokkan ekspektasi sosial atau budaya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Gangguan Hubungan: Pertanyaan tentang kapan akan menikah dapat mengganggu hubungan antara anak dan keluarga atau orang yang bertanya, terutama jika hal itu menjadi sumber konflik atau ketidaknyamanan yang berkelanjutan.

Bagi orang dewasa, terkadang pertanyaan seperti ini mungkin disampaikan tanpa maksud buruk, tetapi penting untuk mempertimbangkan bahwa dampak psikologis pada anak bisa signifikan. Komunikasi yang sensitif dan pengertian terhadap waktu dan tempat yang tepat dalam mengajukan pertanyaan ini dapat membantu mengurangi potensi dampak negatifnya pada anak.

Baca Juga: Pilih Mana, Nikah Cepat atau di Usia Tepat?

Ada beberapa hadis yang mengandung anjuran tentang pentingnya menikah serta bahaya ketidaksiapan dalam menikah. Berikut beberapa contohnya:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seseorang yang telah kamu ridhai agamanya dan akhlaknya datang kepadamu, maka nikahkanlah. Jika kamu tidak melakukannya, akan timbul kerusakan di muka bumi dan terjadi gangguan besar.” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini menunjukkan anjuran untuk menikahkan seseorang ketika mereka telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang membuat mereka layak untuk dinikahi.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu (menikah), maka hendaklah dia menikah, karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa dapat menjadi perisai baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menekankan pentingnya menikah bagi yang telah mampu secara finansial dan mental, karena menikah dapat membantu untuk menjaga diri dari perbuatan yang tidak senonoh.

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka nikahlah, karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa dapat menjadi perisai baginya.” (HR. Muslim)

Hadis ini juga menguatkan anjuran untuk menikah bagi yang telah mampu, serta menyarankan puasa bagi yang belum mampu menikah sebagai alternatif untuk menjaga diri dari godaan.

Dari beberapa hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa menikah adalah anjuran dalam agama Islam, terutama bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Ketidaksiapan untuk menikah bisa membawa dampak negatif, baik secara pribadi maupun sosial, yang sebaiknya dihindari dengan persiapan yang matang sebelum memasuki ikatan pernikahan.

Banyak dari orang tua yang sangat berharap menyaksikan pernikahan anaknya, berharap dengan menikah maka sang anak akan bahagia, namun itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Memang ada sebagian yang bahagia saat menikah entah itu dari hasil pacaran, atau hasil perjodohan, tapi tak memungkiri juga ada banyak sebagian yang lain mengalami keadaan yang berbeda 360°.

Kebanyakan kasus seperti itu barangkali dikarenakan pertanyaan-pertanyaan dari orang tua atau saudara yang membuat remaja itu sendiri menjadi tergesa-gesa dalam memilih pasangan hidup. Memang menikah adalah sunnah, tapi harus dijalankan karna itu bentuk Ta’at pada sang maha mencipta, akan tetapi di lingkungan sosial menikah seakan ajang kewajiban bagi seorang remaja apalagi yang sudah menginjak 20 ke atas, kewajiban menikah, kewajiban memiliki anak, kewajiban kaya, dan kewajiban mendapat calon cantik/ganteng.

Mengapa masyarakat sangat memaksakan hal itu padahal sudah jelas dalam Islam Rasulullah menjelaskan laki-laki maupun perempuan boleh melangsungkan perkawinan ketika sudah baligh dan mampu. Hal ini dijelaskan Rasulullah dalam hadits Muttafaq ‘alaih.

“Wahai pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu untuk menikah, maka menikahlah kamu. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Sementara bagi yang tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa karena sesungguhnya puasa itu dapat menjadi tameng baginya (melemahkan syahwat).”

Dari hadis di atas tidak menyebutkan usia untuk menikah, tetapi menekankan kemampuan untuk menikah. Para ulama mengartikan kata mampu dalam hadis di atas sebagai kemampuan untuk melakukan hubungan suami istri dan kemampuan untuk mencari nafkah.

Ya benar jadi itu ada hadistnya, jadi pembahasan sekarang mengapa masyarakat begitu heboh ketika ada tetangganya belum mendapatkan jodoh? Padahal secara jelas Allah sudah berfirman “aku menciptakan makhluk ku berpasang pasangan”. Sebenarnya, masalah umur, rejeki, jodoh, maut, tidak ada yang tau dan tidak ada yang berhak untuk mengatur karna itu semua sudah diatur oleh Allah.

Sebagai orang terdekat yakni orang tua, sudah seharusnya bisa membesarkan hati anak anaknya jika belum menemukan tambatan hati, harus bisa mengontrol emosi anaknya, harus bisa menjaga mental anaknya, bukan malah menambah beban pikiran yang sudah ditanggung oleh anak dari omongan para tetangga.

Baca Juga: Memaksa Perempuan Menikah dengan Orang yang Tidak Disukai

Orang tua adalah orang yang merawat anak dari masa bayi hingga sekarang, kalau hanya karna omongan tetangga kemudian orang tua merasa anaknya sebagai aib lantas kemana fitrah orang tua yang seharusnya malah menjadi pelindung? Banyak sekarang orang tua yang merasa terbebani karna anaknya belum laku (dikira dagangan?), merasa aib dan membuat malu keluarga, dan yang paling parah merasa gagal mengantar anaknya kepintu pernikahan.

Sebelum berkata seperti itu, apa benar yang mereka katakan itu akan terjadi? Bisa jadi Allah masih menyimpan kabar baik dikemudian hari, bisa jadi Allah akan memberikan dikala anak itu membutuhkan, bukan disaat menginginkan. Sebagai orang tua yang sudah paham agama, sudah mengerti sifat anaknya sudah seharusnya bisa untuk tidak semena mena berbicara seperti itu kepada anaknya.

Cukup doakan dan terus berpikir positif kepada Allah maka takdir anaknya pasti akan dipermudah, hempaskan semua perkataan tetangga yang membuat kecil hati dan minder, yakin bahwa Allah sudah menakdirkan yang terbaik untuk hambanya, tugas manusia, tugas anak, tugas orang tua hanya berusaha bukan mengejudge atau bahkan merasa takdir itu aib, padahal itu belum akhir sebuah cerita.



Penulis: Albii (Mahasiswa KPI Unhasy)