Oleh: Mumtaz Nabilatul Ulfa*
Musim semi tiba di Arashiyama secara perlahan. Musim semi akhirnya menjamah tanah subur Arashima yang terletak di bagian barat prefektur Kyoto pagi itu. Pada suatu fajar di akhir minggu ketiga bulan Maret. Terlambat. Tentunya jika kau bandingkan dengan daerah-daerah di prefektur yang lebih selatan dari Kyoto, semisal Okinawa, atau Nara.
Tapi itu tidak penting. Musim semi akhirnya tiba dan menggeser musim dingin. Akhirnya membuatnya bisa menanggalkan segala aksesori wajib musim dingin, mulai dari sarung tangan, mantel tebal, serta syal rajut dari bahan wol, serta berbagai aksesori merepotkan lain yang menurutnya hanya membatasi ruang geraknya.
Musim semi musim favoritnya. Musim semi membuat tanah Arashiyama lebih lembab. Suhu menghangat seiring bergulirnya waktu. Salju mulai meleleh di dataran rendah. Namun sepertinya, naiknya temperature pergantian musim itu hampir mustahil mengusik wujud salju abadi di puncak Gunung Kinkakuji sana. Hujan sesekali turun. Tanah menjadi lembab, memaksa aromanya untuk menguar bebas ke angkasa. Aroma lembab tanah terhirup indera setiap makhluk. Tanaman mulai menghijau di sana-sini. Fauna tertentu mulai terjaga, satu demi satu, dari tidur semi-abadi mereka, atau istilah sainsnya, hibernasi. Pucuk-pucuk dahan sakura mulai tumbuh, orang-orang di jalanan atau di tempat-tempat perkumpulan dengan antusias membicarakan hanami[1] mereka tahun ini.
Musim semi musim favoritnya. Ia mencintai setiap detik dari musim yang menurutnya, paling ‘hidup’ ini. Musim ini menawarkan sebentuk harmoni dalam realita kehidupan yang kau, takkan mudah menemukannya di musim yang lain, sebentuk harmoni hampir sempurna yang diberi nama kehidupan.
Musim semi musim favoritnya, terutama untuk musim semi kali ini. Ia telah menunggu berbulan-bulan, untuk musim ini. Untuk musim ini. Untuk melihat rona sakura yang selalu dirindukannya. Untuk merasakan semilir angin sejuk yang mengikat udara hangat bertiup melewati ‘kastil’ keluarga Miyazaki-nya yang terkenal itu, jauh dari daerah selatan, yang membawa aroma rerumputan basah dan aroma laut yang asin bersama mereka selama perjalanan yang panjang menuju utara. Dan yang terakhir . . Namun justru yang terpenting . . Untuk mendengar . . Suaranya lagi. Suaranya.
Dia . . Bukan siapa-siapa. Hanya seorang kawan. Seorang sahabat. Yang selalu menjadi partner-nya dalam berbagi. Yang suaranya sangat dirindukannya. Suara teman masa kecilnya yang hanya bisa didengarnya secara langsung pada liburan musim panas tiap tahunnya, setidaknya selama tiga tahun terakhir. Suara sahabatnya yang menceritakan segala kemegahan universal di ‘luar sana’. Kemegahan universal yang ia, telah belasan tahun, ‘terasing’ darinya.
“Alice!”
Bisikan itu!
Gadis berambut brunette itu memalingkan kepalanya sedikit dari kesibukannya menata ikebana[2] di hadapannya demi melihat sebentuk wajah dengan mata biru yang berbinar menyembul sedikit dari pintu geser ruangan yang sedang ditempatinya.
“Aylen . .” tangan gadis yang dipanggil Alice itu terhenti seketika di udara. Ia terpana selama beberapa saat, namun suaranya tetap tenang dan terkendali penuh ketika bertanya pada sosok yang telah membuyarkan konsenterasinya hanya dengan sebuah bisikan itu, “Kau? Benarkah itu kau? How could . . It be?”
Yang ditanya diam saja. Ia hanya tersenyum simpul sambil memperbaiki posturnya. Ia menggeser pintu sedikit, membukanya lebih lebar, lalu membuat gerakan seolah-olah merapikan sedikit rambutnya, yang baru saja beberapa menit yang lalu, dengan tergesa-gesa, ia atur dengan model pigtails yang agak berantakan. Posturnya yang mungil untuk gadis seusianya membuatnya tetap terlihat kawaii[3] dengan model rambut seperti itu.
“Come on, Arisu-chan! Ganti yukata[4] itu dan temani aku jalan-jalan. Bagaimana?” gadis yang dipanggil Aylen itu malah mengacuhkan pertanyaan-pertanyaan yang jelas-jelas ditujukan padanya sambil tersenyum lebar.
Alice memiringkan kepalanya, sedikit. Menimang-nimang opsi yang dimilikinya. Ia kembali memusatkan pikirannya. Kedua tangannya kembali bergerak untuk mengatur objek di hadapannya selama beberapa detik, sebelum akhirnya mendarat sempurna di atas pangkuannya. Alice lalu menangkupkan kedua tangannya di depan wajahnya dan menutup matanya selama beberapa detik. “Aah, owarimasu![5]” putusnya kemudian sambil tersenyum kecil dan membuka matanya.
“Ahh, utsukushii naa[6], Arisu-chan memang hebat dalam hal seperti ini. Sejak dulu,” Aylen bergumam kecil sembari mengagumi karya kecil tangan terampil sahabatnya itu, ia kini telah bergabung di sampingnya.
“Eeh . . ?” Alice memutar bola matanya tidak sabar, “Kau ini! Sama saja. Tidak berubah,” ujarnya sambil meneliti gadis yang sedang duduk di sebelahnya. “Yah, however, arigatou gozaimasu[7],” jawab Alice akhirnya sambil mengalihkan pandangannya kembali pada objek di hadapannya itu.
Kedua gadis itu kembali saling membisu. Larut dalam pikiran dan batin masing-masing, setidaknya sebelum salah satu dari mereka berdiri dan berkata, “Nggak berubah, ya? Kau salah besar, aku jelas-jelas bertambah tinggi, 5 senti, setidaknya itu kata okaa–sama[8]. . . Dan yah, kau bohong kalau kau bilang tidak melihat secuil-pun yang berubah dari ini,” ujarnya dengan tangan kanan mengelus ujung rambut blonde-nya.
Alice berkacak pinggang sedikit seraya berdiri perlahan. “5 senti kau bilang? Sepertinya benar. Tinggi kita sama, setidaknya sekarang, Dan hei, kau kemana-kan rambut blonde sepunggung mu yang sebelumnya?” ujarnya lamat-lamat sambil berpikir sejenak dan meneliti Aylen yang juga sudah bangkit di depannya dan bersiap membuka mulutnya.
“Sudah, sudah. Biarkan aku berganti pakaian sebentar, lalu akan kutemani kau jalan-jalan. Kau berhutang banyak cerita padaku, kau tau!” putusnya cepat-cepat sambil tersenyum miring sebelum Aylen mendebatnya lebih lanjut, lalu bergegas meninggalkan ruangan luas tempat latihan membuat ikebana itu. Senyum bangganya atas ikebana yang berhasil diselesaikannya kali ini masih terlukis di wajah cantiknya.
Aylen hanya mengangkat bahunya sambil ikut tersenyum sedikit, lalu keluar dan menutup pintu geser ruangan itu, setelah sebelumnya melirik sekilas, untuk kesekian kalinya, pada ikebana yang masih tertata rapi di tengah ruangan besar itu. Sangat besar, malah, pikir Aylen, ruangan ini sangat besar, untuk ukuran ruangan yang hanya digunakan untuk latihan membuat rangkaian bunga..
Tapi Aylen tidak pernah heran lagi. Tidak. Aylen memang tidak pernah heran mengenai segala kemewahan, ataupun kemegahan, yang mengelilingi sahabatnya, Arisu, dan tentu saja, dirinya sendiri. Di usianya yang hampir 15, bagi Aylen, ini adalah tahun ke-12 ia mengenal seorang Miyazaki Arisu[9]. Putri tunggal dari sepasang orang tua pemilik salah satu perusahaan adidaya di Jepang, atau bahkan di Asia Timur, atau bahkan dunia. Perusahaan yang bergerak dalam berbagai bidang, mulai dari furo atau ofuro[10] dan kebudayaan tradisional lainnya, sampai bidang moneter.
“Hey! Day dreaming, again. Airene[11]-chan, aku hampir mencarimu ke separuh lantai satu, tahu?” ujar Arisu pada sosok yang sedari tadi dicari-carinya, menemukannya sedang duduk dengan tatapan kosong mengahadap taman kecil di sayap barat rumahnya itu.
Yang diomeli hanya tersenyum miring, seraya berdiri dan meneliti busana sosok yang berdiri di hadapannya. “Gomenasai[12] . . Kau juga tidak banyak berubah!” tuduh Aylen melihat pemandangan familiar di hadapannya. Selera fashion Alice memang seperti itu sejak dulu, terlihat simple, namun fashionable dan classy. Jelas. Alice pastinya mewarisi bakat seorang Harumi Ishida (atau Ishida Harumi, dengan ‘Ishida’ sebagai nama marga), seorang fashionista terkenal sekaligus nyonya besar keluarga Miyazaki yang sangat disegani. Rambut brunette Alice tidak lagi tergelung rapi seperti saat tadi, melainkan dibiarkan tergerai bebas sampai punggungnya, tanpa aksesori apapun, kecuali sebuah hiasan kecil yang ia jepitkan di atas telinga kirinya. Hiasan berbentuk rangkaian cherry blossom yang rumit. Hadiah ulang tahun ke-10-nya dulu dari mama Aylen.
“Ah kau ini bilang apa sih,” Alice memutar bola matanya lagi. Ia lalu diam kembali, hanya menatap mata biru Aylen dalam-dalam seolah meningatkannya akan suatu janji, menunggunya memenuhi janjinya itu
Mereka berdua sama-sama membisu lagi. Hanya saling tersenyum dan saling memandang dari mata ke mata. “Tadaima[13],” Aylen akhirnya memecah keheningan yang tercipta, senyum manisnyanya terkembang.
Suasana kembali hening. Alice balik tersenyum pada sahabatnya itu. Ia menepatinya! Akhirnya . . Setelah berapa yah? 3 tahun?, batin Alice bermain-main. Dibalasnya senyum manis Aylen dengan sebuah senyum lebar yang tulus, mata mereka masih saling bertatapan dalam, dalam diam.
Alice memandang sahabatnya itu dalam sisa perasaan rindu childish yang membuncah. Ah! Bagaimana aku bisa se-melankolis ini?! Padahal okaa-sama selalu mengajariku untuk tegar dan mengendalikan emosi di hadapan orang lain sebaik mungkin, batin Alice.
Alice berpikir, masih dalam diam. Aylen, sahabatnya yang lahir 2 bulan lebih awal daripadanya itu sekarang telah banyak berubah, secara fisik. Aylen telah banyak bertumbuh, tingginya menyamai Alice sekarang. Aylen terlihat lebih tinggi, gerak-geriknya terlihat lebih tenang dan dewasa, dan tentu saja lebih berwawasan.
Seorang Aylen Harold berpisah dengannya tepat sehari setelah kelulusan mereka dari JHS. Saat itu, Aylen dan seorang adiknya harus mengikuti kedua orang tua mereka berpidah-pindah ke berbagai negara selama 3 tahun terakhir. Saat itu mereka sedang mengembangkan bisnis perusahaan keluarga mereka.
Tahun pertama, Swiss. Baik Alice maupun Aylen tidak menangis sama sekali saat itu, namun semua orang tau, ada badai hebat dalam tatapan keduanya ketika Aylen berpamitan kepada Alice di ruang tamu keluarga Miyazaki. Tahun itu pertama kalinya Alice pergi ke festival musim panas tanpa Aylen karena sahabatnya itu hanya singgah untuk durasi yang sangat singkat musim panas tahun itu. Tahun kedua, Prancis. Tahun itu berlalu dengan baik, meski, seperti tahun sebelumnya, mereka hanya bertemu dalam liburan musim panas yang terlalu ‘singkat’. Tahun ketiga, keluarga Aylen berpindah-pindah lebih dari sekali, dari Canberra, Roma, Amsterdam, lalu akhirnya kembali ke Kyoto. Pulang.
“Okaerinasai,[14]” jawab Alice pada akhirnya, mamecah keheningan tak berujung itu, wajahnya yang cantik dihiasi senyum termanisnya yang ia suguhkan kepada sahabatnya. Akhirnya, selamat datang musim semi! Selamat datang masa SMA! Selamat datang kembali sahabatku!, batin Alice sambil terus memandang Aylen yang terlihat luar biasa di matanya, dengan latar belakang taman kecil di kompleks rumah utama keluarga Miyazaki itu. Angin musim semi tiba-tiba bertiup, membawa beberapa helai sakura masuk tanpa permisi ke dalam ‘kastil’ besar itu dan mengibarkan rambut kedua sahabat itu.
“Hei! Kau ini kenapa sih? Tadi katanya mau mengajakku jalan-jalan . .” protes Aylen sambil tersenyum, memecah keheningan.
“Ayo!” tanpa basa-basi lagi ia langsung saja dengan teganya merusak momen itu dengan menarik tangan Alice menuju pintu keluar utama. Senyum masih belum sirna dari wajah Alice, ia membiarkan Aylen menariknya menuju kebebasan di luar sana, persis seperti saat itu. Masa-masa indah akan segera tiba, dan, Alice percaya, kehadiran kembali Aylen akan membuat lembaran-lembaran baru itu jauh lebih berwarna lagi.
^^
*Anggota Sanggar Kepoedang (Komunitas Penulis Muda Tebuireng)
DETAILS *Ignore
Task Assigned – Thursday, 5th of May 2016
Task Processed – Saturday, 7th of May 2016
Task Finished – Monday, 9th of May 2016
Task Printed – Tuesday, 10th of May 2016
Task Collected – Thursday, 12th of May 2016
Task Revised – Saturday, 14th of May 2016
Task Sent (plan) – Sunday, 15th of May 2016 (delayed because of the NEF English Olympiad by UNISMA)
Task Sent (done) – Monday, 16th of May 2016
[1] Hanami or 花見is a Japanese traditional custom of enjoying the transient beauty of cherry blossom flowers in the spring.
[2] Ikebana or 生け花 is a Japanese art of flower arrangement.
[3] Cute.
[4] A yukata (浴衣) is a Japanese a casual summer kimono usually made of cotton or synthetic fabric, and unlined.
[5] Finish!
[6] How beautiful it is . .
[7] Thank you.
[8] Mother.
[9] Arisu is a Japanese form of Alice.
[10] Famous Japanese bath, using hot water.
[11] That’s how to wrote ‘Aylen’ as Japanese word.
[12] I’m sorry.
[13] I’m home.
[14] Welcome home.