YAI KA’ : IS BORN NOT MADE !

Tentu, jika ukurannya melulu penguasan khazanah keilmuan klasik, pesantren Tebuireng memiliki stok cukup banyak. Namun kalau yang dijadikan parameternya bagaimana menghidangkan materi materi keagamaan itu menjadi terasa gurih, lezat dan nikmat. Yang pelik kemudian menjadi sangat mudah dipahami. Nah, di situlah supremasi Yai Ka’. Belum lagi, kecermatan beliau menemukan sejumlah kesalahan cetak dalam sejumlah kitab.

 Tak satu dua kali, terminologi “la’ala al-shawab, muncul sebagai koreksi dan buah kejeliannya. Selain, aroma wangi kharisma dari kepribadinya. Pun, pendiriannya yang lokoh, zahid, humanis dan egaliter. Ini semua yang menjadikan beliau sangat dicintai santri santrinya. Terus terang, sepanjang dekat dengan Yai Ka’, entah ketika di madradah atau di kamar, tak sekalipun saya menemukan raut penanda amarahnya.

Aneh, justru tertumbuk wajah rada masam beliau saat kalau kalah bermain sepakbola di lapangan PG Tjoekir (Ini nanti saya tulis khusus. Lumayan banyak memori di lapangan sepakbola bersamanya. Kebetulan saya pemain inti tim sepakbola pesantren Tebuireng, POPIT saat itu). Itulah sebabnya–lewat rupa rupa “maziyah” atau kelebihan beliau–Yai Ka’ itu “is born, not made”.

Tipologi Yai Ka’ tidak bisa by design, dibentuk dan direkayasa. Sosok seperti beliau itu “dari sononya”, nativistik, bawaan dan anugerahNya. Dus, sulit menirunya. Bahkan, tak berlaku teori empirisme atau tabularasa-nya John Locke. Yang menitahkan, kualitas seseorang itu semuanya bisa dibentuk melalui pendidikan (Bag VII).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online